Minggu, 03 Agustus 2008

Tan Malaka, Pejuang Kesepian

Arfi Bambani Amri - detikNews

Jakarta - Anak-anak muda sekarang pasti tidak banyak yang mengenal nama Tan Malaka. Padahal jika dipelajari sejarahnya, tak kalah besar dari pahlawan legendaris Kuba, Che Guevara.

Tan Malaka lahir 2 Juni 1887 di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, dengan nama Ibrahim. Setelah menghabiskan sekolah dasar dan menengah di Bukittinggi, Ibrahim kemudian mendapat gelar Datuk Tan Malaka sebagai tanda orang yang dituakan di kaumnya.

Tahun 1912, Tan Malaka yang kemudian hari mendirikan Partai Murba itu kemudian melanjutkan sekolah ke Belanda. Tan Malaka pun dikenang kawan-kawan sekolahnya di Harlem, Belanda, sebagai seorang yang cerdas.

Tahun 1919, Tan Malaka kembali ke Indonesia. Pada awalnya Tan Malaka menjadi guru mengajar tulis menulis di sebuah perkebunan di Deli, Sumatera Utara.

Di perkebunan itulah semangat radikal dan anti kolonialisme Tan Malaka bersemi. Ketimpangan nasib buruh perkebunan yang didominasi warga pribumi dengan tuan tanah yang warga asing menghibakan hatinya.

"Pergilah ia ke Yogyakarta menemui sahabatnya Ki Hadjar Dewantara. Mereka berdua berpikir bagaimana melakukan pendidikan kepada rakyat," ungkap Ketua Umum Partai Murba Hadidjojo Nitimihardja dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (14/8/2007).

Berdua Bapak Pendidikan Nasional itu, Tan Malaka membuat semacam proposal sekolah bagi pribumi. Rancangan sekolah itu dikirimkan ke berbagai tokoh-tokoh pribumi termasuk Semaun yang kemudian hari mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Semaun bilang Tan Malaka untuk pindah ke Semarang saja. Berangkatlah Tan Malaka ke Semarang untuk mendirikan sekolah rakyat bersama Semaun," kata Hadidjojo.

"Jadi awalnya Tan Malaka itu seorang pendidik, bukan politisi," imbuh Hadidjojo.

Ketika PKI berkongres 24-25 Desember 1921 di Semarang, Tan Malaka terpilih menjadi pimpinan partai. Sepak terjangnya mulai diperhatikan pemerintah kolonial Belanda saat itu.

Tak butuh waktu lama, Januari 1922, Tan Malaka ditangkap dan dibuang ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Maret tahun yang sama, Tan Malaka diusir ke luar Indonesia.

Mulailah petualangan Tan Malaka dari satu negara ke negara lain. Dari Berlin (Jerman), Moskow (Uni Soviet), Belanda, Shanghai (Cina), Thailand, dan Filipina.

Tan Malaka ditunjuk Komunis Internasional (Komintern) untuk menjadi wakil khusus yang bertugas menjelaskan strategi-taktik Komintern ke berbagai negara termasuk Indonesia. Sebuah jabatan yang bahkan Bapak Revolusi Cina sendiri, Mao Tse Tung, tak pernah mendapatkannya.

Tahun 1925, keluarlah sebuah buku putih revolusi Indonesia yang ditulis Tan Malaka. Judulnya 'Naar de Republiek Indonesia' atau 'Menuju Republik Indonesia.

Dari judulnya saja sudah menunjukkan sikap politik Tan Malaka untuk membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan mendirikan sebuah negara republik, negara yang bersendi pada kedaulatan rakyat.

"Kalau anda baca 'Naar de Republiek', lalu baca teks Indonesia Raya, anda bisa lihat benang merahnya. Wage Rudolf Supratman terinspirasi dari buku itu saat membuat 'Indonesia Raya'," jelas Hadidjojo.

Tahun 1926, pecahlah pemberontakan rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda di berbagai daerah. Tan Malaka yang sedang berada di luar negeri menilai pemberontakan ini terlalu dini dikobarkan oleh PKI. Mulailah Tan
Malaka pecah dengan PKI.

Tahun 1927, Tan Malaka terang-terangan keluar dari PKI dan mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari). Komintern yang sebelumnya sudah gerah dengan Tan Malaka yang lunak terhadap gerakan Islam segera memecat Tan Malaka.

Sejak itu, mulailah Tan Malaka dikejar-kejar bukan hanya oleh pemerintah kolonial Belanda tapi juga oleh mantan sekutunya di Komintern dan PKI. Tan Malaka seakan menjadi revolusioner yang sendirian, bersembunyi dan menyamar sembari terus menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan.

Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, barulah Tan Malaka diperkirakan kembali ke Indonesia. Antara tahun 1942 sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 itulah, sembari menyamar, Tan Malaka menyelesaikan magnum opus-nya 'Madilog' yang merupakan singkatan dari 'Materialisme, Dialektika dan Logika'.

Bahkan dikabarkan juga, beberapa tokoh muda yang menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok merupakan orang-orang suruhan Tan Malaka. Soekarno-Hatta diculik ke Rengasdengklok untuk didesak segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Setelah proklamasi, sempat dikabarkan Tan Malaka bertemu dengan beberapa tokoh nasional termasuk Soekarno. Soekarno pun kabarnya sampai kaget bertemu dengan tokoh yang sudah menjadi legenda itu.

Namun proklamasi kemerdekaan itu belum cukup bagi Tan Malaka karena Belanda masih berusaha bercokol di luar Jawa dan Madura melalui jalur-jalur diplomasi. Kabinet saat itu yang dikuasai Sjahrir menerima diplomasi itu.

Tan Malaka bersama Persatuan Perjuangan yang digalangnya kemudian terus bergerilya menuntut kemerdekaan penuh. Bersama beberapa tokoh Persatuan Perjuangan, Tan Malaka dipenjarakan oleh Sjahrir.

Tahun 1948 pecahlah peristiwa Madiun yang menyeret PKI sebagai biang kekacauan. Tan Malaka dilepaskan dan kemudian pada 7 November 1948 mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba).

Murba kemudian menjalankan Gerpolek (Gerilya Politik dan Ekonomi). Nah, Jenderal Sudirman merupakan salah satu orang yang sepakat melakukan gerilya ini untuk melawan invasi militer Belanda kedua.

Namun, perpecahan di tingkat elit politik membuat Tan Malaka dikejar-kejar bukan hanya oleh Belanda tapi juga oleh militer Indonesia yang pro Sjahrir dan Hatta.

21 Februari 1949, Tan Malaka pun lenyap untuk selamanya di kaki gunung Wilis, Kediri. Tan Malaka tewas dalam kesendirian, tanpa nisan, tanpa kuburan yang layak. Tan Malaka, pejuang yang kesepian. (aba/bal)

Makam Tan Malaka Diklaim Ditemukan di Kediri

Kediri - Makam Tan Malaka ditemukan di Kediri. Makam tokoh sosialis beraliran keras ini ditemukan warga yang mengetahui eksekusi Ibrahim alias Tan Malaka.

Penemuan ini setelah beberapa warga Desa Selopangggung, Kecamatan Semen, berhasil menemukan makam salah satu pahlawan yang selama ini dianggap beraliran keras, Datuk Ibrahim atau biasa dikenal dengan nama Tan Malaka.

Penemuan ini disertai keterangan saksi sejarah yang mengetahui secara detail peristiwa kematian Tan Malaka yang dipercaya dibunuh pada tahun 1949 silam.

Ditemukanya makam Tan Malaka yang tertembak dalam pelariannya pada tangga 21 Februari 1949 tersebut berdasarkan cerita salah satu saksi sejarah yang menyebutkan kronologis terjadinya catatan sejarah ini, yaitu Tolu (69), warga Desa Selopanggung.

Tolu menyebutkan, pada kisaran tahun 1948 hingga 1949, ada sekitar 50 orang yang datang dari luar daerah ke Desa Selopanggung, yang belakangan diketahui sebagai pasukan dari Brigade Sikatan yang bertugas memburu dan melakukan eksekusi terhadap Tan Malaka.

Pada saat itu, rombongan menginap di rumah orangtua Tolu. Kedatangan mereka dilengkapi dengan persenjataan lengkap.

"Ada sekitar 50 orang, yang saya kenal antara lain Letkol Surahmat, Sukoco, Dayat, Prapto, Abdul Syukur dan beberapa lainya saya tidak kenal," cerita Tolu, Selasa (14/8/2007)

Tolu juga menceritakan kedatangan orang-orang tersebut juga melakukan pemusnahan beberapa arsip dan buku yang diyakini sebagai milik Tan Malaka mengenai pemikiran aliran kiri.

"Jumlahnya banyak sekali, bahkan dibakar selama satu minggu apinya belum padam," lanjut Tolu.

Warga di sekitar lokasi terjadinya sejarah, baru menyadari jika di desa tempat tinggal meraka sebagai tempat terbunuhnya tokoh penggerak kemerdekaan nasional, ketika sepuluh tahun dan lima tahun yang lalu, ada seorang warga negara Belanda, yang diketahui bernama Harry A Poeze, berusaha mencari jejak Tan Malaka.

Selama satu bulan melakukan penelitian, akhirnya Poeze menyimpulkan di Desa Selopanggung merupakan tempat singgah terakhir Tan Malaka sebelum akhirnya menghilang tanpa ada jejaknya lagi.

"Orang Belanda itu menyimpulkan di sini tempat Tan Malaka hilang," kata Samsuri (45), mantan Kepala Desa Selopanggung, sambil menunjukkan papan petunjuk tempat hilangnya Tan Malaka yang dibuat oleh Harry A Poeze.

Semua bukti kebearadaan Tan Malaka juga disebutkan oleh Sukoto (75), yang saat terjadinya penembakan Tan Malaka bekerja sebagai kurir dari Brigade Sikatan.

Dia bercerita pernah mendengar penembakan orang di malam hari, tanpa diketahuinya siapa korban yang ditembak. Namun Sukoto menyebutkan, setelah rombongan Brigade Sikatan meninggalkan Desa Selopanggung, ada makam baru bernisankan pohon di pemakaman desa.

"Saya dulu tukang kirim surat dari rombongan orang luar itu, dan saya tahu kejadian pada saat itu," cerita Sukoto.

Mengenai keyakinan warga Desa Selopanggung yang menyebutkan, makam bernisankan pohon yang diyakini sebagai makam Tan Malaka. Hal itu berdasarkan cerita orang-orang tua yang menyebutkan makam tua tersebut telah ada sebelum tahun 1948.

"Kata orang-orang tua, makam ini ada sejak tahun 1948. Waktu itu hanya ada 1 makam yaitu makam sesepuh Desa Selopanggung. Tapi setelah tahun 1949 tepatnya setelah rombongan tentara pergi ada makam baru bernisan pohon yang tidak dikenali warga," cerita Samsuri.

Dalam catatan sejarah, Tan Malaka dikenal sebagai pejuang yang beraliran kiri. Dia terbunuh pada tanggal 21 Februari 1949 di Kediri. Tan Malaka diyakini terpaksa ditembak karena semasa hidupnya pernah mempelajari sosialisme dan komunisme, dan dikhawatirkan akan mengancam kedaulatan NKRI.

Pada tahun 1963 nama Tan Malaka pernah tercatat sebagai pahlawan revolusi, namun gelar tersebut dicabut pada masa pemerintahan orde baru.
Samsul Hadi - detikNews - Selasa, 14/08/07

Sabtu, 02 Agustus 2008

Surat Kepada Golput

Konon ada peribahasa “Zwijgen is goud…” atau “diam itu emas”.

Golongan putih atau Golput populer sekitar sepuluh tahun silam oleh orang-orang yang memandang partai politik dalam pemilihan umum tidak menyuarakan keinginan rakyat. Di antara mereka ada Arief Budiaman dan kawan-kawan. Tapi yang pasti, golput itu tidak jatuh dari langit. Sebutan itu barangkali oleh yang sedang mapan, berwenang dan kaya mirip dengan pemerintah kolonial dahulu. Lantaran orang “inlander” yang menentang atau menyanggah penjajahan, ada yang memakai pici. Maka, yang memakai pici disebut Kiri.

Ada kejadian di AMS (Algemeene Middelbarc School), setingkat Sekolah Menengah Umum. Seorang murid yang masuk kelas duduk dan memakai pici. Kontan gurunya yang bule itu menghardik: “Der af of der uit” , dalam bahasa Indonesia: “tanggalkan atau keluar!”. Dengan tenang si murid melenggang keluar dari kelas. Ada yang mengatakan si murid itu aktivis IM atau Indonesia Muda yang dilahirkan oleh Kongres Pemuda 28 Oktober 1928--yang melahirkan “Sumpah Pemuda” dan mengukuhkan kita menjadi Bangsa Indonesia.

Baru-baru ini ditayangkan di layar televisi, dua orang yang sekian tahun lalu duduk berdampingan lalu berpidato, muatannya terkesan seiring dan searah, sekarang duduk berhadapan dan bicaranya “linea-recta” , berlawanan. Nah, itulah kandungan dari yang disebut proses. Rasanya tidak ada yang menyuruh untuk seperti itu, entahlah kalau yang mengajari.

Ada sebuah lagu gubahan Ismail Marzuki. Begini penggalan liriknya: “Pilihlah aku…”, dan berulangkali masyarakat bangsa diatur supaya memilih. Nyatanya yang terpilih dia lagi, dia lagi, sampai dia malu sendiri dan mundur sendiri. Itu dulu.

Sekarang “Pilihlah aku…” berulang lagi ditambah dengan macam-macam pembenaran, ada yang disebut “payung hukum”, “sistem” dan entah apalagi. Sayangnya tak ada yang menegaskan untuk dengan sungguh-sungguh, secara lurus dan dan benar, konsisten tanpa selingkuh melaksanakan dan menjalankan Undang-Undang Dasar 1945.

Bacalah mukadimah Undang-Undang 1945, si situ dengan jelas diamanatkan untuk apa dan siapa Pemerintah Negara Indonesia dibentuk dan diadakan. Yang mengingkari dan menyalahgunakannya apapun dalih dan pembenarannya, tidak disukai oleh masyarakat dan bangsa adalah akonstitusional.

Konstitusi kita yaitu Undang-Undang 1945 mengamanatkan dan menghendaki Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa.

Selama ini yang terjadi “jauh panggang dari api”. Dan itu dirasakan oleh masyarakat-bangsa.

Masyarakat-bangsa adalah mayoritas. Tidak bisa ngomong bareng. Paduan suara saja tidak ada yang ratusan apalagi ribuan. Penyatuan kehendak dan kepentingan tidak bisa diwujudkan lewat doktrin-doktrin, apalagi lewat akal-akalan.

Selama ini masyarakat-bangsa sepertinya mau saja nurut diajak dan disuruh memilih setelah diberi janji-janji, visi-visi, misi-misi dan entah si si si lainnya atau apalagi.

Orang arif akan mengerti bahwa masyarakat-bangsa nampak bodoh dan bahkan mengaku “Tidak bisa apa-apa, saya ini orang kecil”. Sebenarnya mereka berpikir juga. Dan berpikirnya lurus dan benar tanpa selingkuh. Sebab, mereka berangkat dari apa yang dirasakan dan dihadapinya. Bukan dari buku-buku atau masa lalu. Tapi dari yang sudah dan sedang dijalani dan dialaminya.

Dari perigi itulah menggema kehendak enggan memilih lagi. Sebab merasa dibohongi berulangkali. Berulangkali.

Kesabaran masyarakat-bangsa nyatanya memberi waktu dan peluang untuk secuil orang berhati kelam dan berpikiran kumuh untuk menyenangkan diri dan keluarganya sampai kerabatnya, seraya atau sambil mengempit mandat yang diraihnya dari masyarakat-bangsa. Rumah huniannya milyaran harganya, mobilnya ada yang lebih dari 1000 juta harganya, makanannya ratusan ribu rupiah sepiring, kopinya puluhan ribu secangkir. Idem ditto para pemimpin partai, jika toh beda, tidak seberapa. Lihat saja kantor-kantornya.

Yah…, apa mau dikata, demikianlah terjadi dan nyata, kasat mata. Begitu juga yang kehilangan. Dan masyarakat-bangsa, si orang kecil yang jumlahnya mayoritas itu sepertinya merasakan itu. Dan kiranya kesamaan inilah yang membuat mereka menjadi seperti apa yang disebut “Golput”. Sebagai “orang kecil” mereka sungguh-sungguh tahu berterimakasih. Diberi tidak sampai seharga sepiring makanan para elit, berterimakasih seraya berurai airmata menyukuri pemberian itu. Itulah si “orang kecil” yang lurus dan tidak selingkuh dan sebenarnya merekalah manusia-manusia penghasil produksi dengan tenaga dan kerjanya.

Maka, dari potret kenyataan-kenyataan itu mengerucutlah sebuah kehendak, tanpa diskusi, tanpa lokakarya, tanpa seminar, tanpa kesepakatan, tergelarlah sebuah kesamaan yang amat sederhana itu: tidak mau dibohongi atau dibodohi lagi. Untuk sekarang sampai di situlah yang mereka bisa. Entah nanti jika kehidupan mereka tidak juga berangsur membaik.

Akhirnya, kepada sekalian Golput saya menyeru dan meminta, jika di antara kalian masuk ke jajaran pemerintahan; eksekutif, legislatif dan judikatif serta aparat dan birokrasinya bersikukuhlah untuk dengan sungguh-sungguh secara lurus dan benar serta konsisten menjalankan konstitusi negara; Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga pemerintah benar-benar berfungsi dan aktif melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang untuk itu ada pasal-pasalnya dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.

Dan saya percaya, walaupun tanpa tergesa-gesa dan berjenjang, Golput akan mendapat figur-figurnya, kendati bisa saja akan ada yang tergerus oleh kehidupan dan kesesatan. Tak usah dirisaukan, biarlah itu terjadi. Toh, pada akhirnya akan ditemukan pemimpin sejati yang sungguh-sungguh setia pada proklamasi secara konsisten dan sama konsistennya dalam melaksanakan dan menjalankan Undang-Undang Dasar 1945 secara lurus dan benar.

Itulah hari depan masyarakat-bangsa Indonesia.

Samsir Mohamad, bekas anggota Konstituante, kontributor Mediabersama.com.

Jumat, 01 Agustus 2008

GERAKAN PETANI: Mereka yang tak mau tunduk

”Sebelum PT Semen Gresik membangun pabrik semen, mereka harus bisa menjelaskan dulu hakikat kesejahteraan karena kami merasa saat ini sudah sejahtera tanpa ada pabrik,” kata Gunretno, petani dari Dusun Bombong, Desa Batureo, Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah.

Gunretno adalah salah satu tokoh muda Sedulur Sikep atau yang oleh orang luar biasa disebut masyarakat Samin—mengacu pada tokoh gerakan ini, Samin Surontiko—yang memelopori gerakan pembangkangan melawan feodalisme birokrasi Jawa dan penjajahan Belanda pada tahun 1890-an.

”Dari dulu warga Sedulur Sikep tidak pernah kelaparan. Kami tidak miskin. Pemerintah saja yang selalu salah tanggap, menganggap kami miskin sehingga kami dimasukkan ke dalam kelompok masyarakat adat tertinggal sehingga harus diberi bantuan. Padahal, kami tidak pernah meminta bantuan,” kata dia.

Dalam perspektif masyarakat Sedulur Sikep, kesejahteraan bukan semata dihitung dengan berapa banyak nilai uang yang dihasilkan, melainkan kemandirian berusaha sebagai petani. Itu artinya, faktor produksi yang mendukung pertanian, seperti sumber air dan lahan, harus terus dipelihara.

Anyaman gerakan

Gunretno, sebagaimana Sedulur Sikep lainnya, tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah formal. Namun, dia tak bodoh dan tak mudah dibodohi. Dia fasih membaca, berhitung, dan ke mana-mana menenteng laptop. Pergaulannya luas, dari dalam maupun luar negeri.

Ketika PT Semen Gresik membawa rombongan pejabat dan anggota dewan di Kabupaten Pati, tokoh masyarakat, dan wartawan ke sekitar pabrik semen di Tuban, Jawa Timur, Gunretno membawa 50 warga Sukolilo bergerilya ke daerah yang sama dengan biaya sendiri.

Mereka tak mau tunduk dengan penjejalan informasi yang ingin dilakukan oleh PT Semen Gresik melalui studi banding itu. Mereka ingin melihat sendiri apa yang terjadi di sana melalui pintu belakang yang selama ini ditutup rapat-rapat.

Minggu, 20 April 2008, sebanyak 50 warga Sukolilo menyewa bus ke Tuban. Mereka bertemu muka dan melihat sendiri kehidupan warga yang digembar-gemborkan PT Semen Gresik menjadi sejahtera setelah dibangunnya pabrik. Hasil perjalanan warga itu didokumentasikan warga menggunakan kamera video dan catatan tertulis.

Hasil studi banding yang diprakarsai PT Semen Gresik menghasilkan laporan ”cerita sukses” dari penambangan, misalnya tentang iming-iming peningkatan pendapatan asli daerah Tuban dan janji-janji kemakmuran warga lokal. ”Cerita sukses” itu kemudian dirilis di media-media massa.

Narasi yang berbeda muncul dari rekaman video, yang diedarkan warga dalam keping compact disk (CD) ataupun rekaman memori kolektif warga desa. ”Setelah kami datang sendiri dan berbicara dengan warga sekitar pabrik Semen Gresik di Tuban, kami semakin menolak rencana pembangunan pabrik semen di Sukolilo,” kata Sapari, warga Sukolilo.

Di Tuban, Sapari dan puluhan warga Sukolilo lainnya menemukan kenyataan, warga sekitar pabrik semakin miskin setelah tanah-tanah mereka dibeli pabrik. Sebagian warga pada waktu itu mengaku dipaksa menjual lahan.

Lingkungan menjadi rusak, debu dari pabrik beterbangan, bunyi ledakan bukit-bukit kapur merontokkan genteng, dan air mengering. Lapangan kerja di pabrik juga sulit dimasuki. Suasana itu terekam dalam CD yang diedarkan warga untuk warga, menjadi semacam sarana penyampaian pesan yang efektif.

Tak bisa padam

Perlawanan petani Sukolilo, yang dimotori oleh Sedulur Sikep, semakin menguatkan fakta bahwa gerakan petani di Indonesia tidak benar-benar padam. Bentuk-bentuk perlawanan petani, baik bersifat individual, kolektif, maupun pemberontakan, terus terjadi di Indonesia.

”Gerakan rakyat dari dulu ada dan tak pernah bisa dipadamkan,” kata Hendro Sangkoyo dari School of Democratic Economy, gerakan itu terus berakumulasi.

Pemberontakan petani Banten, Ciomas, Cimareme, dan gerakan rakyat Samin serta berbagai peristiwa yang memperlihatkan gerakan resistensi petani tak pernah putus. Sejarawan Onghokham (1994) mencatat, sejak tahun 1830, seusai Perang Diponegoro hingga awal abad ke-20, sekitar tahun 1908, terjadi lebih dari 100 aksi resistensi petani, dari bentuk yang paling lunak sampai pemberontakan.

Dalam pengamatan Hendro, gerakan petani di Sukolilo memiliki akar sejarah yang panjang dalam rangkaian perlawanan petani Indonesia. Gerakan ini adalah gerakan sejati yang digerakkan oleh kesadaran paling dalam terhadap lingkungan sekitar mereka.

Gerakan hampir serupa saat ini makin marak terjadi di tempat lain, misalnya gerakan perlawanan petani Kulonprogo, Yogyakarta, terhadap rencana pembangunan industri pengolahan pasir besi. Ciri gerakan ini adalah motor penggeraknya berasal warga lokal, yang berangkat dari kesadaran untuk menegakkan kedaulatan bertani.

Mereka juga tidak membutuhkan ”pihak luar” untuk ”memberdayakan” karena mereka sendiri sebenarnya yang lebih menguasai permasalahan. Pihak luar, dari kalangan organisasi nonpemerintah ataupun kalangan akademisi, biasanya akan dipanggil hanya jika mereka merasa membutuhkan.

”Beberapa waktu lalu, warga yang menolak pembangunan pabrik semen dipanggil polisi. Akhirnya, kami laporkan masalah itu ke LBH. Pemanggilan itu sepertinya tidak diteruskan lagi,” kata Sapari. Masyarakat seakan menggunakan LBH sebagai kawan untuk meningkatkan posisi tawar mereka di hadapan penguasa.

”Banyak LSM dan akademisi yang datang ke sini. Kami terima sebagai kawan untuk menguatkan. Tapi, kami tidak bergantung pada mereka,” kata Gunretno.

Petani yang selama ini dicitrakan sebagai kelompok ”pasif”, sehingga harus ”diberdayakan”, mesti dibongkar. ”Gerakan petani di Sukolilo menunjukkan, rakyat memiliki kemampuan melawan kerusakan dan sanggup memulihkannya sendiri. Mereka juga sanggup membangun jaringan sendiri,” ujar Hendro.

Karena itu, di mata Hendro, aktivis gerakan sosial, yang tidak peka dengan perkembangan gerakan baru ini dan masih menggunakan pendekatan lama yang memandang rendah kemampuan petani pasti akan ditinggalkan petani.

Sayangnya, gerak yang sangat dinamis di bawah itu tidak terkejar oleh pendekatan-pendekatan yang dilakukan pemerintah. Jadi, selalu saja, gerakan rakyat dicurigai ada dalangnya, yang biasanya diasosiasikan berasal dari kalangan organisasi nonpemerintah ataupun kelompok politik tertentu. ”Orang-orang yang menolak pabrik semen dituduh menerima uang dari LSM. Padahal, ini murni gerakan petani. Untuk pergi ke Tuban, kami juga iuran,” kata Gunretno.

Gerakan petani Sukolilo, yang dimotori Sedulur Sikep, seperti masih akan panjang karena atas nama pendapatan asli daerah, pemerintah telah menutup mata terhadap hakikat kesejahteraan sebagaimana digugat oleh warganya sendiri....

Jumat, 1 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Oleh Ahmad Arif dan Sri Hartati Samhadi

 
Template by : Boedy Template | copyright@2011 | Design by : Boedy Acoy