Rabu, 27 Februari 2008

Suharto dan Pulau Buru

Saat mendengar kabar mangkatnya almarhum Pak Harto lewat RRI saat itu, naluri historisku langsung menyangkutpautkannya dengan bahan bacaan pada saat itu. Aku tidak terlalu bersimpati. Maklumlah saat itu, ketika aku menyetel frekuensi RRI di radio yang kugantung di dinding kamarku sekedar mencari-cari lintasan warta radio, kebetulan baru saja lewat dua jam dari hembusan nafas mantan Jenderal Besar Penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu, saat itu aku sedang serius dalam melafal bait-bait buku karangan pak Hersri Setiawan. Apa lagi kalau bukan Memoar Pulau Buru. Buku yang berisi catatan-catatan pengalaman Pak Hersri semasa menjadi tahanan politik (tapol) Pemerintahan Jenderal Besar soeharto dengan ideologi Pancasila itu. Pak Hersri ditahan sebagai tapol eks G30S/PKI 1965 dan dipenjarakan di RTC (Rumah Tahanan Civil) Salemba dan RTC Tangerang sebelum diperbudakkan di Pulau Buru, sebuah pulau yang kini telah bernama Kabupaten Buru di Provinsi Maluku. Kembali ke Pak Harto. Sore itu komat-kamit reporter RRI mengerubingi gendang telingaku dengan berderet prestasi sang almarhum, terus dan seperti tanpa diimbangi dengan jejak prestasi buruknya. Saat kepalaku masih segar dalam petualangan berempati atas nasib ribuan tapol yang digerayangi tanpa ampun seluruh hak kemanusiaannya, saat itu aku diajak berempati terhadap sang jenderal.

Selama masa kediktatoran militeristik kapitalistik pasca kepemimpinan NASAKOM-nya Bung Karno, Indonesia jatuh ditalang limbah kemelaratan, tangis kepiluan dan sayatan sadis pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atas rakyat-rakyat penghuni gugusan pulau berkekayaan melimpah ruah. 32 tahun selama menjabat, kebijakan sang raja jawa ini sangat bertentangan dengan asas hukum tertinggi negara, UUD 1945, khususnya distribusi kesejahteraan sosial dan aspek keadilan sosial (pasal 33 UUD 1945). Kekayaan bangsa dilego pengelolaannya kepada pihak asing. Puluhan perusahan multinasional eksprorasi dan eksploitasi minyak dan gas alam dan mineral berharga lainnya, seperti Shell, Exxon Mobile, Freeport, British Petroleum, Newmont dan lain-lain diberi kemudahan mengeruk lahan ekonomis milik hajat hidup bangsa. Tercatat lebih dari 90% kepemilikan saham atas nama Freeport untuk penambangan mineral berharga di Papua barat. Sementara pemerintah kita hanya berhak atas setoran royalti yang sangat sedikit serta dari hasil investasi saham yang hanya sekitar 9% itu. Terlampau kecil untuk ukuran lahan eksplorasi tambang sekaya Papua. Ini tidak adil dan betul-betul membuktikan ciutnya nyali pemerintah kita, terutama bapak pembangunan itu di hadapan Amerika Serikat sebagai negara tempat bigboss Freeport bersarang di New Orleans. Gila. Kegilaan ini ditambah lagi dengan pengecutnya pemerintahan SBY-JK yang memberikan (gratis) eksplorasi ladang gas alam di blok Natuna kepada Exxon Mobile, dimana pada Desember 2006, ketika George Bush(hett) mau berkunjung ke istana Bogor, sehari sebelum itu SBY sebagai 'anak manis' terbang tergopoh-gopoh ke Natuna untuk mempertegas kontrak gratis pengelolaan blok kekayaan pasal 33 UUD 1945 kepada pihak Exxon Mobile. Alhasil, posisi saham pemerintah di sana hanya nol persen, artinya 100% hasil eksplorasi gas alam yang melimpah itu seluruhnya terhisap percuma bagi kaum TNCs kapitalis asing Amerika Serikat, sedangkan bangsa ini hanya kebagian limbah saja. Sekali lagi, GILA...!!! Ini belum terhitung kebobrokan pemerintah saat Exxon Mobile mengeliminir posisi Pertamina dalam mengeksplorasi ladang minyak di blok Cepu, dekat Blora (Jawa Tengah) dan Bojonegoro (Jawa Timur). Dengan dalih inefisiensi manajemen internal, Pertamina tidak diperbolehkan mengebor minyak, namun Exxon Mobil-lah yang harus diistimewakan. Akhirnya konspirasi minyak ini ujung-ujungnya adalah privatisasi, liberalisasi menuju agenda globalisasi neoliberal menjiplak anjing-anjing WTO, IMF, World Bank dan USA dan kawan-kawannya. Negeri ini telah digadaikan oleh pemimpin-pemimpinnya yang ternyata mereka adalah komprador modal alias cecunguk Amerika Serikat. Pecundang dan pengecut sekalian. Melawan Amerika Serikat saja takut. Ketakutan pemerintahan SBY-JK terhadap penguasa negeri Paman Sam itu terlihat saat George Bush(het) mampir sebentar di Bogor. Betapa sibuknya pemerintah sampai menyiapkan hellipad dan pembenahan istana yang biayanya miliaran rupiah. Tak pernah dalam sejarah kepemimpinan bangsa ini yang bermental budak seperti kali ini. Sangat memalukan. Kita sebagai kaum muda harus marah, oleh karena presiden adalah jabatan simbolik politis dari nation kita. Perilakunya adalah representasi kita semua. Sikap blo'onnya akan memalukan kita semua. Harga diri bangsa kita tercederai di tangan seorang presiden yang bermental cecunguk. Cecunguk itu istilah para tapol Buru di tahun 70-an bagi mereka yang suka menjilat penguasa.

Kemelaratan secara meluas di negeri ini haruslah dipungkasi sesegera oleh putra bangsa sendiri dengan jalan mengambil kembali (nasionalisasi) hak milik, hak kelola dan hak distribusi profit atas seluruh industri mineral (minyak, gas alam, tembaga, nikel dll), kehutanan dan indutri eksplorasi sumberdaya alam lainnya yang tersebar 'liar' di negeri ini, dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah harus bercermin kepada Evo Morales yang ketika terpilih menjadi presiden Bolivia pada 2006 lalu, kurang dari sembilan bulan telah terjadi perubahan-perubahan cukup besar yang signifikan bagi transformasi kesejahteraan yang timpang dalam waktu lama serta distribusi keadilan bagi rakyat Bolivia yang mayoritas suku asli Indian. Selang beberapa pekan setelah Morales dilantik, presiden yang semasa mudanya sampai detik-detik mau dilantik itu adalah seorang aktivis sosial pembela hak-hak petani koka yang menjadi tanaman tradisional sejak dahulu nenek moyang bangsa Indian, jauh sebelum kedatangan kolonialis Spanyol pada abd ke-16, seluruh industri tambang yang mengeklsplorasi mineral-mineral berharga di negeri yang masuk kategori termiskin di Amerika Latin itu langsung dinasionalisasikan dengan tegas dan memberikan ancaman pengusiran kepada kapitalis-kapitalis asing itu apabila menolak. Sukses Morales mengambil alih industri tambang milik Bolivia itu dan ditambah dengan kebijakan-kebijakan populis lainnya seperti alokasi setengah gaji presiden untuk sektor pendidikan dan kesehatan yang diikuti oleh para menteri kabinet dan anggota parlemen serta Land Reform, membawa Bolivia ke tampuk perbaikan nasib rakyat. Morales tidak sekedar berretorika. Dia berpihak langsung kepada rakyatnya yang telah lama dirundung penghisapan perusahan-perusahan transnasional dan akumulasi lahan pertanian di tangan beberapa elite penguasa dan kelas kapitalis. Moralis tak tanggung-tanggung menantang Amerika Serikat dengan penguatan politik berintegrasi memperkuat blok perlawanan bersama beberapa negara sosialis di Amerika Latin. Sikap Morales ini sangat terbalik dengan presiden kita yang masih saja takut kepada Amerika Serikat padahal seorang jenderal tentara. Parlemen Bolivia 180 derajat di atas parlemen kita yang beberapa waktu lalu meminta kenaikan tunjangan kinerja Rp. 10 juta di saat harga BBM melambung tinggi di tahun 2005.

Kembali ke pak Harto dan Pulau Buru. Oleh karena prioritas kestabilan politik dan keamanan, maka seperti diulas oleh DR. Asvi Marwan Adam bahwa tapol yang mendapat giliran Pulau Buru adalah tapol tipe B, dimana tipe ini dibelenggu tanpa pengadilan, karena asumsi penguasa ORBA yang ketika itu kendali urusan proyek Pancasilaisasi pulau Buru diserahkan atas kendali Jaksa Agung saat itu, tapol-tapol tipe B adalah mereka yang bukan gembong utama dan pokoknya yang terindikasi Gestapu, Gestok atau PKI. Mereka tidak diadili, namun akan direhabilitasi menjadi insan-insan Pancasilais. Pulau Buru tempatnya. Tapol tipe A dihukum mati, seperti DN. Aidit, Njoto dan lain-lain. Dengan mem-Burukan ribuan tapol 'merah', potensi instabilitas dalam negeri dapat dikikis, prasyarat masuknya investasi asing untuk proyek besar pembangunanisasi dan jawanisasi ala burung garuda. Era 1970-an adalah etape penancapan pondasi pembangunan dengan agenda periodik REPELITA yang diusung di bawah platform trilogi pembangunan. Kebijakan pembangunan ala Soeharto membuka keran investasi asing besar-besaran dengan mengintegrasikan dengan desain paradigma modal. Akhirnya selama Repelita itu banyak dana dikucurkan sebagai bantuan pembangunan yang kemudian hanya menjadi objek korupsi penguasa, keluarga, kroni, konco dan coro-cecunguk ORBA. Trickle Down Effect sebagai strategi pembangunan ternyata gagal memulihkan kemsikinan jutaan rakya. Lebih banyak dari kebijakan pemerintah adalah mengikuti logika pasar bebas dengan salah satunya meratifikasi konsensus Washington pada 1980 tentang liberalisasi keuangan, perdagangan, deregulasi perdagangan dan impor dan lain-lain. Ada segelintir elite di negeri ini yang kekayaannya menggunung, sementara jutaan rakyat tertindih beban kemiskinan. Banyak problem menimpa rakyat, mulai dari kemiskinan, pengangguran, sekolah mahal, biaya berobat mahal, harga BBM mahal, kegagalan panen, efek negatif pupuk, insektisida dan herbisida sintesisi, degradasi ekologis akibat efek global warming , illegal logging, kekeringan, banjir, busung lapar, keracunan limbah pabrik, tergusur akibat pembangunan mall, properti kaum pemodal dan berjuta masalah lainnya. Ini semua adalah tetesan emisi kebijakan jahiliyah dari pemerintah negeri ini yang tidak memihak kepada rakyatnya. Kembali lagi ke Pulau Buru. Ribuan tapol dikangkangi dimensi kemanusiaannya pada dekade 1970-an. Mereka diposisikan bukan sebagai manusia, namun sebagai masing-masing nomor kode yang tercetak di baju dan celana. Waktu berlalu sambil bersaksi atas tontonan perbudakan yang menyata. Akhirnya atas desakan internasional (menurut Asvi M) dan pergeseran konstelasi politik nasional saat itu, tapol-tapol ini dipulaujawakan pada penghujung 1970-an namun dengan luka yang teramat dalam. Mereka masih mendapat stigma eks-PKI. KTP mereka ada kode ET (eks tapol). Haru biru dan sadisme tak terperi yang dialami ribuan tapol rakyat Indonesia yang sempat dulu berafiliasi kepada salah satu partai politik yang sah, PKI, kini berlalu menyisakan kisah duka yang sungguh ironi dengan visi kemanusiaan pembukaan UUD 1945. Ratusan tapol telah tekubur di pulau itu sebagai korban penganiayaan dan pembunuhan yang direstui penguasa. Pada akhirnya jualah sejarah akan selalu menyulam kanvasnya dengan darah para martir dan syuhada. Hormatku buat segenap kerabat tapol yang berduka di tepian sejarah.

# posted by Rus'an Latuconsina

in memoriam...

Tidak, saya tidak sedang menulis tribute untuk Soeharto yang kemarin (26/01) meninggal dunia setelah mengalami sakit parah beberapa waktu. Ide tulisan ini memang datang karena wafatnya Soeharto. Tapi bukan dia yang ingin saya kenang.

Sejak Soeharto dirawat di rumah sakit bulan lalu, saya selalu terbayang akan hari-hari terakhir Bung Karno yang penuh kesulitan dan penderitaan dalam karantina politik, serta kesehatan yang (sengaja dibuat?) kian merosot. Ketika Soeharto meninggal kemarin, saya serta-merta membayangkan seperti apa kira-kira suasana hati saya andai telah cukup dewasa pada tanggal 21 Juni 1970, saat Bung Karno wafat. Saya membayangkan bagaimana perasaan hati andai yang saya dengar kemarin adalah kabar wafatnya pahlawan yang saya sangat kagumi itu. Hal ini memberi ’suasana berkabung’ yang cukup kuat di hati saya.

Salah satu catatan yang sangat mengesankan tentang meninggalnya Bung Karno saya temukan di buku karya Bambang Wijanarko, Sewindu Dekat Bung Karno. Dalam salah satu bab buku ini, Bambang Wijanarko menceritakan saat-saat ia mendengarkabar meninggalnya BK, dan mengantarkan jenzahnya ke Blitar sesuai dengan perintah Jenderal Soeharto kala itu.

Kebetulan pagi ini saya membaca tulisan Dr. Asvi Warman Adam di Jawa Pos tentang perbedaan pemakaman Bung Karno dan Pak Harto. Tulisan yang kebetulan cukup mewakili suasana hati saya ini, dikutip selengkapnya di sini:

Senin, 28 Jan 2008,
Beda Pemakaman Pak Harto dan BK
Oleh Asvi Warman Adam*

Pada 27 Januari 2008 pukul 13.10, mantan Presiden Soeharto wafat. Jenazahnya disemayamkan di kediamannya, Jalan Cendana, dan dilayat pejabat tinggi negara, mulai presiden, wakil presiden, sampai para menteri. Masyarakat umum berjubel di sepanjang Jalan Cendana menonton para tetamu.

Senin pagi, 28 Januari 2008, ini jenazah mantan orang nomor satu RI itu diterbangkan ke pemakaman keluarga di Astana Giribangun. Ketua DPR Agung Laksono akan bertindak secara resmi dalam pelepasan jenazah di Jalan Cendana, Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin pelepasan di Halim Perdanakusumah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi inspektur upacara di Astana Giribangun.

Astana Giribangun yang diperuntukkan keluarga Nyonya Suhartinah Soeharto didirikan di Gunung Bangun yang tingginya 666 meter di atas permukaan laut. Cangkulan pertama dilakukan Tien Soeharto Rabu Kliwon, 13 Dulkangidah Jemakir 1905, bertepatan dengan 27 November 1974.

Dengan menggunakan 700 pekerja, bangunan yang merupakan gunung yang dipangkas tersebut diselesaikan dan diresmikan pada Jumat Wage, 23 Juli 1976. Jadi 30 tahun sebelum meninggal, Soeharto telah mempersiapkan tempat peristirahatan yang terakhir. Hal itu dilakukan Soeharto agar “tidak menyusahkan orang lain”.

Soeharto memperoleh hak dan fasilitas sebagai seorang mantan kepala negara. Namun, hal yang berbeda dialami mantan Presiden Soekarno. Sewaktu mengalami semacam tahanan rumah di Wisma Yaso (sekarang Gedung Museum Satria Mandala Pusat Sejarah TNI) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Soekarno tidak boleh dikunjungi masyarakat umum.

Pangdam Siliwangi H.R. Dharsono mengeluarkan perintah melarang rakyat Jawa Barat untuk mengunjungi dan dikunjungi mantan Presiden Soekarno. Kita ketahui, H.R. Dharsono kemudian juga menjadi kelompok Petisi 50 dan meminta maaf kepada keluarga Bung Karno atas perlakuannya pada masa lalu itu.

Putrinya sendiri, Rachmawati, hanya boleh besuk pada jam tertentu. Pada 21 Juni 1970, Bung Karno wafat setelah beberapa hari dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Beberapa waktu sebelumnya, Rachmawati menanyakan kepada Brigjen Rubiono Kertapati, dokter kepresidenan, kalau Soekarno menderita gagal ginjal, kenapa tidak dilakukan cuci darah? Jawabannya, alat itu sedang diupayakan untuk dipesan ke Inggris.

Itu jelas sangat ironis. Pada masa revolusi pasca kemerdekaan, Jenderal Sudirman menderita penyakit TBC. Ketika itu, obatnya baru ditemukan di luar negeri, yakni streptomycin. Pemerintah Indonesia dalam keadaan yang sangat terbatas dan berperang menghadapi Belanda berusaha mendapatkan obat tersebut ke mancanegara, tetapi nyawa Panglima Sudirman tidak tertolong lagi. Hal itu tidak dilakukan terhadap Ir Soekarno.

Bung Karno dibaringkan di Wisma Yaso setelah wafat di RSPAD Gatot Subroto dan di situ pula dia dilepas Presiden Soeharto dan Nyonya Tien Soeharto. Situasi saat itu memang sangat tidak kondusif bagi Soekarno dan keluarganya. Beberapa hari sebelumnya, yakni 1 Juni 1970, Pangkopkamtib mengeluarkan larangan peringatan hari lahirnya Pancasila setiap 1 Juni. Soekarno sedang diperiksa atas tuduhan terlibat dalam percobaan kudeta untuk menggulingkan dirinya sendiri. Pemeriksaan tersebut dihentikan setelah sakit Bung Karno semakin parah.

Pada 22 Juni 1970, jenazah sang proklamator dibawa ke Halim Perdanakusumah menuju Malang. Di Malang disediakan mobil jenazah yang sudah tua milik Angkatan Darat, demikian pengamatan Rachmawati Soekarnoputri (di dalam buku Bapakku Ibuku, 1984) yang membawanya ke Blitar.

Sepanjang jalan Malang-Blitar, rakyat melepas kepergian sang proklamator di pinggir jalan. Di sini Soekarno dimakamkan dengan Inspektur Upacara Panglima ABRI Jenderal Panggabean pada sore hari. Sambutan dibacakan sangat singkat.

Soekarno hanya dimakamkan di pemakaman umum di samping ibunya. Seusai acara resmi, rakyat ikut menabur bunga. Karena banyaknya tanaman itu, sampai terbentuk gunung kecil di atas pusara Sang Putra Fajar tersebut. Namun tak lama kemudian, rakyat yang tidak kunjung beranjak dari makam kemudian mengambil bunga-bunga itu sebagai kenangan-kenangan. Dalam tempo singkat, makam Bung Karno kembali rata sama dengan tanah.

Pemakaman di Blitar itu berdasar Keputusan Presiden RI No 44/1970 tertanggal 21 Juni 1970. Keputusan tersebut diambil dengan berkonsultasi bersama pelbagai tokoh masyarakat. Padahal, Masagung dalam buku Wasiat Bung Karno (yang baru terbit pada 1998) mengungkapkan bahwa sebetulnya Soekarno telah menulis semacam wasiat masing-masing dua kali kepada Hartini (16 September 1964 dan 24 Mei 1965) dan Ratna Sari Dewi (20 Maret 1961 dan 6 Juni 1962). Di dalam salah satu wasiat itu dicantumkan tempat makam Bung Karno, yakni di bawah kebun nan rindang di Kebun Raya Bogor.

Di dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan bahwa sebelum memutuskan tempat pemakaman Soekarno, dirinya mengundang pemimpin partai. Jelas Soeharto menganggap itu masalah politik yang cukup pelik. Jadi, pemakaman tidak ditentukan keluarga, tetapi melalui pertimbangan elite politik.

Kemudian, Soeharto melalui keputusan presiden menetapkan pemakaman di Blitar konon dengan alasan tidak ada kesepakatan di antara keluarga. Apakah betul demikian? Sebab, pendapat lain mengatakan bahwa hal itu dilakukan Soeharto demi pertimbangan keamanan. Jika dikuburkan di Kebun Raya, pendukung Bung Karno akan berdatangan ke sana dalam rombongan yang sangat banyak, sedangkan jarak Bogor dengan ibu kota Jakarta tidak begitu jauh. Hal tersebut dianggap berbahaya, apalagi saat itu menjelang Pemilu 1971.

Pemugaran makam Bung Karno juga penuh kontroversi. Pemugaran dilakukan pada 1978 dengan memindahkan makam-makam orang lain itu. Menurut Ali Murtopo di depan kader PDI se-Jawa Timur, ide tersebut berasal dari Presiden Soeharto. Masyarakat tentu bisa menduga bahwa itu dilakukan dalam rangka mengambil hati para pendukung Bung Karno menjelang pemilu. Dalam pemugaran tersebut, keluarga tidak diajak ikut serta. Bahkan, dalam peresmian pemugaran itu, putra-putri Soekarno tidak hadir.

Dalam prosesi pemakaman di Blitar, Megawati tidak hadir karena sedang berada di luar negeri. Namun, kabarnya putra tertua Bung Karno, Guntur Sukarno Putra, mewakili keluarga mantan Presiden Soekarno akan datang ke Astana Giribangun. Ketika Soeharto di Rumah Sakit Pertamina, Guruh juga berkunjung. Ini suatu pelajaran sejarah berharga bagi bangsa kita. Jangan lagi kesalahan masa lalu diulang dan marilah kita berjiwa besar.

* Dr Asvi Warman Adam, sejarawan, ahli peneliti utama LIPI

Jumat, 01 Februari 2008

Negeri Akar Rumput

(an Ode for Munir and Human Rights)

Siapa akar rumput yang kau maksud?
Kami? Ya, mungkin kau benar
Kami memang rumput dan akar yang jadi permadani negeri ini
Jumlah kami besar, menyebar di segala penjuru, merambah ke setiap selokan
Tempat kau membuang muntahan makan malammu dari hak kami yang kau curi

Pernahkah kau berpikir, bahwa seharusnya kami bisa jadi beringin
Kalau kau tak meneguk sendiri susu ibu yang kita peras bersama...Kau rakus!
Kau habiskan nyaris semua, membuat kami kurang gizi hingga jadi kerdil seperti ini
Herannya, perut buncitmu tak juga pecah kendati kulitnya sudah setipis rasa malumu
Entah terbuat dari apa kulitmu, mungkin dari nurani yang sudah membatu

Berkali-kali ibu marah melihat ulahmu
Dia kibaskan permadani hingga kau tergelincir, jatuh berdebam
Dasar bebal, kau tak juga sadar
Kau menangis sebentar, berdusta di depan tetangga seakan kaulah yang paling terluka
Tapi sebentar kemudian kau kembali jadi pencuri, mengutili susu yang jadi jatah kami

Kau bersuka ria di atas tubuh kami, akar rumput yang tak juga mati
Beberapa dari kami adalah rumput berduri yang sesekali menancap di telapakmu
Kau naik pitam jika ada onak menusuk dan dengan kalap mematikannya
Kau pikir masalah selesai saat duri kau cerai dari dagingmu yang berlemak
Nyatanya, seribu duri muncul lagi setelah yang satu pergi

Sajak Tanah Merah (Boven Digul)

Kawan bukankah kita mahasiswa?
Pemilik jiwa yang hidup untuk sesaat
Jiwa yang tidak dimiliki oleh kaum lain
Idealisme

Kawan, bukankah kita mahasiswa?
Telah terpatri amanat itu
Amanat penderitaan rakyat
Pada nisan pejuang yang telah mangkat
Pada dinding-dinding tembok pengasingan
Dan pada pohon kayu di boven digul

Kawan, bukankah kita mahasiswa
Dengan congkak kau khianati!
Kau kencingi makam para pejuang dengan tuak yang selalu kau banggakan!
Tuak modernisme

Merah putih sudah berkibar kawan
Pertanda tidak ada lagi penindasan
Pengkhianatan
Pembodohan

Kawan, kita adalah sepotong kayu dalam api pergerakan
Yang nantinya akan menyulut keberanian
Yang nantinya akan menjilat ketidakadilan
Berkobar-kobar

Bukan, bukan kawan
Bukan dengan diam
Bukan pula dengan slogan-slogan kosong
Tapi dengan pembebasan!

Tidak ada menang dan kalah, kawan
Karena menang dan kalah hanyalah gelembung sabun
Karena tidak kekal
Karena kita adalah sama
Karena kita (memang) mahasiswa

(Jati Nantiasa)

Orang-orang Asing

Mbah Simar menunduk, tangannya dingin, diletakkan begitu saja dipundakku, menunggu apa yang akan dikatakan oleh Romo. Hening. Tangan Romo mengelus kepalaku, lalu menatap Mbah Simar. “Pergilah, jaga dia baik-baik. Kelak kita akan berkumpul lagi.”

Aku tak ingin berkata-kata, sekalipun aku tahu, ini adalah sebuah perpisahan dengan orang yang begitu kucintai. Mungkin tak akan pernah ada pertemuan lagi. Tapi, biarlah wajah sepi ini yang selalu tersimpan di hati Romo. Biar bulir air mata yang belah kering wajahku bercerita tentang segala cinta di kedalaman jiwaku, tentang kenangan bocah yang utuh mencintai Romonya sebagai ayah juga ibunya sekaligus.

Hari ini, hari ketika kutemui Romo di penjara, adalah hari terakhir aku di tanah tercinta, tanah yang menyimpan segala kisah dan perjuangan; hari setelah beberapa waktu lalu kami menerima uang penggantian tanah ’sepantasnya’ untuk bekal hidup di tanah yang tak kami tahu sama sekali. Hari setelah beberapa waktu lalu kami meminta doa dan maaf kepada saudara-saudara Romo yang sangat mendukung kepergian kami, dan sempat menanyakan adakah kelebihan uang penggantian tanah. Juga hari ketika kami bercucur airmata, tanpa diperkenankan menoleh kepada sesuatu yang pernah kami miliki. Hari yang menjadikan kami sebagai orang-orang asing dimanapun kami berada.

Sesungguhnya, kami ingin meminta bantuan pada saudara-saudara Romo agar dicarikan tanah dekat-dekat mereka, agar tak usah ikut transmigrasi. Tapi, alih-alih mendapat bantuan, malah mendapat sumpah serapah, karena dianggap warga negara yang tak tahu diuntung. Masih kata mereka, di luar Jawa, kami akan mendapat tanah yang luas, akan lebih sejahtera. Ya, mereka semua pegawai negeri, pendukung mati-matian program pemerintah.

* * *

Pilihan Romo untuk berkesenian secara total dan berbagi kepada orang-orang yang tak ‘berkelas’ adalah awal dari kecaman keluarga besar Romo yang berstatus ningrat. Saudara-saudara Romo berusaha menutup semua akses Romo dari apapun milik keluarga. Eyang, yang aku tahu, masih sedikit menyisakan kasihnya. Tanah dan rumah yang kami tempati diperkenankan menjadi milik kami. Itu saja, tak ada yang lain.

Dalam situasi seperti apapun Romo sangat tenang, bahkan saat-saat mengenang sebuah luka. Sekali-sekali, demi mengajariku tentang cinta dan kasih, Romo menceritakan begitu menderitanya Ibu ketika melahirkanku.

“Sebelum meninggal, Ibumu menggodaku, kalau aku tak belajar mengatur emosiku, ibumu mengancam mau jadi hantu”, Romo tersenyum kecil. Ya, tapi disudut matanya menggenang air mata yang siap tertumpah.

Mbah simar dan istrinya. Aku memanggilnya simbok. Dia yang mengasuhku dan mengurusi kebutuhan keseharian kami. Padepokan seni milik Romo cukup banyak anggotanya. Ada buruh, petani, pengangguran, siapapun, asalkan berniat untuk belajar kesenian bersama. Romo mengajari banyak tarian, tembang-tembang Jawa, juga bermain ketoprak.

Sepertinya semua sudah mafhum dengan sikulus kehidupan kesenian tradisional. Jika beruntung akan mengalami keemasan, meski hany sebentar saja. Sebagai tanda bahwa Tuhan menghargai usaha-usaha kaum tertindas. Setelah itu perlahan tapi pasti menuju kebangkrutan. Dan yang dapat bertahan hidup hanyalah kesenian-kesenian yang berorientasi jiwa, bukan profit. Perhitungan pahala, bukan uang. Dengan berkesenian, bukan harapan untuk kenyang, tapi ketenangan jiwa dan bertambahnya iman. Romo mencoba menanamkan hal itu. Tapi malang, stigma sebagai penyebar aliran sesat yang ia dapatkan. Lalu bisa apa aku, bocah ingusan ini.

* * *

Berada di mana dan apa nama sebuah tempat, menjadi tak penting bagi kami, sebab kami adalah orang-orang asing dimanapun kami berada. Hanya beberapa yang kuingat dari salah seorang pengawal rombongan kami. Mereka berbadan tegap, kekar dan berseragam. “Kalian tak usah khawatir, ini tempat aman. Belum ada yang memiliki”.

Ritus yang kemudian mengisi hari-hari kami adalah membaca dan mempelajari tanda-tanda kehidupan. Memohon pada penguasa jagad raya agar diberikan perlindungan. Mengubur kisah-kisah lalu yang bahkan menoleh padanya saja terlarang bagi kami. Melakukan yang bisa menumbuhkan cinta dan memulai kisah yang semoga tak membuat kami menjadi orang-orang asing. Dan aku adalah satu dari sekian yang ingin mempunyai kisah baru, meski sama sekali tak akan melupakan kisah lama, kisah yang menyimpan tokoh berarti dalam kehidupanku, yang tak henti-hentinya mengajariku bagaimana semestinya hidup, bagaimana semestinya tak menyalahkan situasi, bagaimana mencintai keindahan. Ya, keindahan.

Aku pengagum keindahan. Aku gila padanya. Hanya itu. Semoga saja bisa menghiburku di tanah yang menjadikanku sebagai orang asing. Bersama Romo, dulu, aku mencintai keindahan. Romo, terimakasih. Dirimu adalah keindahan yang selalu kusimpan di ruang-ruang jiwaku.

Air, tanah, langit, bagian-bagiannya selalu kukagumi. Aku selalu mencarinya, mengejarnya. Air, pertemuannya antara tawar dan asin adalah tempat yang banyak menyita waktuku.

Bulan yang begitu kasmaran dengan matahari. tergesa muncul ketika senja belum utuh. Sedang matahari terus menggodanya dengan kemerahannya yang tak menyilaukan.

Ya, jelang malam yang selalu kuingat. Dari jauh, tanah yang menghijau dengan sesuatu yang tumbuh diatasnya adalah kedirian yang bukan main-main. Sebab hujan seperti apapun tak menggetarkannya. Erat sekali akar-akar tadi berpelukan dengan tanah, yang tak akan habis kekuatannya, kecuali jika salah satu mati. Aku mengejar keindahan dan tak akan pernah berhenti.

Aku membaui, menyentuh dan merasa setiap jengkal kehidupan baru pada pagi, sore dan malamnya. Sepotong luka, sepotong nyeri dan remah-remah darah menjadi elegi yang kian lama menggetarkan jiwa; menjadi sepasang mata yang kian tajam menusuk-nusuk kebisuanku. Sepasang mata dari sosok bercahaya sesekali berkelebat dari celah dedaunan, yang dari waktu ke waktu memendam kebencian, amarah tiada tara.

Romo, siapa sesungguhnya dia? Kenapa dia selalu mengada dalam keberadaanku? Bagaimana aku bisa berbicara dengan sosok bermata tajam itu? Samakah dia seperti kami, orang-orang asing di belantara Sumatera ini?

Tak usah gusar,nak, hati nurani tak pernah berdusta. Diam bukan berarti tak bicara, untuk didengar tak harus berteriak. Ceritakan apa yang ingin kau ceritakan pada pemilik mata itu. Kejujuran dan keikhlasanmu, semoga menjadi mata air yang meredam api membara di hatinya.

Terimakasih, Romo, aku akan mencobanya. Aku memejamkan mata, manunggal pada keheningan jagad raya:

Saat ini, dan sejak kami terusir dari tanah milik kami.

Kami hanyalah orang-orang asing yang mengubur masa lalu dan begitu berhati-hati dengan masa yang akan datang. Kami sangat takut menyakiti, sebab begitu paham rasa sakit. Katakanlah, bahwa kau bukan bagian yang menakutkan, yang tak sengaja tersakiti oleh kami.

* * *

Sungguh, setiap kali kupaksakan rasa dendam yang berdentam-dentam di sepasang mataku untuk kalian selalu tak bertahan lama. Aku rasakan hawa lain yang membuat aku tak tahan, sehingga aku berlalu sambil terkikis sedikit demi sedikit kebencian itu. Aku berhemat, ini adalah alamat bahwa kalian bukan orang-orang yang membumihanguskan tanah dan orang-orang tercintaku. Bibit kebencian yang mereka semai di antara kita bukan apa-apa bagi nurani yang tak pernah berdusta. Merekalah orang-orang asing yang tersesat, bukan kita.

***

Purwokerto, September 2005

Bagimu sepasang mata di belantara Sumatera
Imam Antasalam
gerak kakiku darat
air darahku hangat
bisik udara dingin
tubuh terangkat segalanya berat
Romo, terimakasih. Dirimu adalah keindahan yang selalu kusimpan di ruang-ruang jiwaku

Lelaki yang pergi melaut

Lelaki itu berusia akhir enam puluhan. Masa kanakku banyak kuhabiskan bersamanya. Di masa mudanya ia mengisi waktu luangnya dengan melaut, dan menghabiskan masa kerjanya sebagai pegawai pos daerah. Kulitnya gelap dan pekat karena seringnya menghabiskan waktu di laut atau jika berkerja sebagai pegawai pos, ia kerap mengayuh sepeda kumbangnya di tengah terik mentari sekalipun demi untuk mengirimkan berbagai paket dan surat kepada warga setempat. Konon, dari tutur nenekku, lelaki itu adalah seorang Betawi yang kemudian mengembara ke pulau kecil di bagian selatan Sumatera. Di masa kecilnya, ia dibesarkan oleh Resident keturunan Belanda yang kemudian meninggal karena jatuh sakit. Sejak itu ia mengembara dan hidup sebatang kara di pulau kecil tempat dimana aku dilahirkan, juga dibesarkan. Ia belajar melempar jaring ikan dan melaut dari orang-orang Bugis di perkampungan Bugis tak jauh dari tempat tinggalnya. Bila ia menatap, matanya setajam elang memata-matai mangsa. Bila ia berbicara, suaranya terdengar seperti gelegar petir seperti hendak menghujam indra siapa saja. Tetapi garis wajahnya menyiratkan kelembutan dan kesantunan, juga kesetiaan. Tubuhnya kurus tapi berotot dan berlengan kokoh. Sekokoh tangan tiga raksasa, demikian aku membayangkannya dimasa kanakku.


Kenanganku bersamanya yang paling kuingat adalah ia kerap membawaku ke pasar tradisional dengan bersepeda. Ia membelikanku mainan baling-baling kayu yang di sisinya terdapat figur seorang laki-laki yang mengayuh sepeda. Bila baling-baling itu berputar maka figur laki-laki itu semakin cepat mengayuh sepedanya. Di mata kanakku, senang sekali rasanya melihat mainan itu. Suaranya pun menderu-deru seperti suara angin yang berputar-putar hendak menarik benang layang-layang. Dengan galah sepanjang lima meter, Ia menancapkan baling-baling kayu itu di belakang rumahnya dan membiarkan hilir angin menerpa mainan baling-baling itu yang membuat putaran dengan kecepatan tertentu. Kami berdua menatap baling-baling itu hingga senja larut dan aku tertidur di atas pangkuannya. Ada perasaan damai saat malam hari mencium aroma rokok kretek yang dihisapnya melalui pipa yang terbuat dari tanduk kerbau. Perasaan ini terus kubawa hingga aku dewasa bila mencium aroma rokok kretek yang khas.


Pada suatu senja di musim panas awal tahun delapan puluhan. Suara-suara derap sepatu lars memasuki pelataran rumahnya. Langkah-langkah tegap berseragam militer merengkuh lengannya dengan paksa saat ia hendak meraih sepedanya hendak pergi melaut. Ia diseret dalam ketidaktahuan dan kebimbangan ke dalam truk diikuti oleh lengan-lengan kokoh berseragam militer itu. Mata-mata penduduk kampung menjadikannya tontotan seperti hiburan yang menggembirakan yang juga diikuti oleh bisik-bisik jalang yang meludahnya dengan sebutan komunis haram jadah. Sejak saat itu ia tak pernah kembali. Seolah kepergiannya adalah sebuah ketiadaan yang hendak dilupakan oleh masa dan massa. Senja itu adalah terakhir kalinya aku menatap baling-baling kayu yang dibelinya di pasar tradisional, mengingat sosoknya kembali, membawanya ke dalam bilik kenangan hingga aku dewasa. Lelaki itu adalah kakekku.

(D. Jayadikarta ; rumahkiri.net)

 
Template by : Boedy Template | copyright@2011 | Design by : Boedy Acoy