Selasa, 13 Mei 2008

Pemindahan Ibukota Indonesia dari Jakarta

Pertama-tama
kita harus sadar bahwa pemindahan ibukota dari satu kota ke kota lain
adalah hal yang biasa dan pernah dilakukan. Sebagai contoh, Amerika
Serikat pernah memindahkan ibukota mereka dari New York ke Washington
DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, sementara Brazil memindahkan ibukotanya
dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Indonesia sendiri pernah memindahkan
ibukotanya dari Jakarta ke Yogyakarta.

Saat
ini Jepang dan Korea Selatan tengah merencanakan pemindahan ibukota
negara mereka. Jadi pemindahan ibukota bukanlah hal yang tabu dan
sulit. Soeharto sendiri sebelum lengser sempat merencanakan pemindahan
ibukota Jakarta ke Jonggol.

Kenapa kita harus memindahkan ibukota dari Jakarta? Apa
tidak repot? Apa biayanya tidak terlalu besar? Jawaban dari pertanyaan
ini harus benar-benar tepat dan beralasan. Jika tidak, hanya
buang-buang waktu, tenaga, dan biaya.

Pertama
kita harus sadar bahwa ibukota Jakarta di mana lebih dari 80% uang yang
ada di Indonesia beredar di sini merupakan magnet yang menarik penduduk
seluruh dari Indonesia untuk mencari uang di Jakarta. Arus urbanisasi
dari daerah ke Jakarta begitu tinggi. Akibatnya jika penduduk Jakarta
pada zaman Ali Sadikin tahun 1975-an hanya sekitar 3,5 juta jiwa, saat
ini jumlahnya sekitar 10 juta jiwa. Pada hari kerja dengan pekerja dari
wilayah Jabotabek, penduduk Jakarta menjadi 12 juta jiwa.

Jumlah
penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diperkirakan
sekitar 30 juta jiwa. Padahal tahun 1986 jumlahnya hanya sekitar 14,6
juta jiwa (MS Encarta). Jika Jakarta terus dibiarkan jadi ibukota, maka
jumlah ini akan terus membengkak dan membengkak. Akibatnya kemacetan
semakin merajalela. Jumlah kendaraan bertambah. Asap kendaraan dan
polusi meningkat sehingga udara Jakarta sudah tidak layak hirup lagi.
Pohon-pohon, lapangan rumput, dan tanah serapan akan semakin berkurang
diganti oleh aspal dan lantai beton perumahan, gedung perkantoran dan
pabrik. Sebagai contoh berbagai hutan kota atau tanah lapang di kawasan
Senayan, Kelapa Gading, Pulomas, dan sebagainya saat ini sudah
menghilang diganti dengan Mall, gedung perkantoran dan perumahan.

Hal-hal di atas akan mengakibatkan:
Jakarta akan jadi kota yang sangat macetDengan
banyaknya orang bekerja di Jakarta padahal rumah mereka ada di
pinggiran Jabotabek, akan mengakibatkan pemborosan BBM. Paling tidak
ada sekitar 6,5 milyar liter BBM dengan nilai sekitar Rp 30 trilyun
yang dihabiskan oleh 2 juta pelaju ke Jakarta setiap tahun.Dengan
kemacetan dan jauhnya jarak perjalanan, orang menghabiskan waktu 3
hingga 5 jam per hari hanya untuk perjalanan kerja.Stress meningkat akibat kemacetan di jalan.Penyakit
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) juga meningkat karena orang
berada lama di jalan dan menghisap asap knalpot kendaraanBanjir dan kekeringan akan semakin meningkat karena daerah resapan air terus berkurang.Jumlah
penduduk Indonesia akan terpusat di wilayah Jabodetabek. Saat ini saja
sekitar 30 juta dari 200 juta penduduk Indonesia menempati area 1500
km2 di Jabodetabek. Atau 15% penduduk menempati kurang dari 1% wilayah
Indonesia.Pembangunan
akan semakin tidak merata karena kegiatan pemerintahan, bisnis, seni,
budaya, industri semua terpusat di Jakarta dan sekitarnya.
Untuk
itu diperlukan penyebaran pusat kegiatan di berbagai kota di Indonesia.
Sebagai contoh, di AS pusat pemerintahan ada di Washington DC yang
jumlah penduduknya hanya 563 ribu jiwa. Sementara pusat bisnis ada di
New York dengan populasi 8,1 juta. Pusat
kebudayaan ada di Los Angeles dengan populasi 3,9 juta. Pusat Industri
otomotif ada di Detroit dengan jumlah penduduk 911.000 jiwa.

Di AS kegiatan tersebar di beberapa kota. Tidak tertumpuk di satu kota. Sehingga pembangunan bisa lebih merata.

Indonesia
juga harus begitu. Semua kegiatan jangan terpusat di Jakarta. Jika
tidak, maka jumlah penduduk kota Jakarta akan terus membengkak. Dalam
10-20 tahun, Jakarta akan jadi kota yang mati/semrawut karena jumlah
penduduk yang terlampau banyak (saat ini saja kemacetan sudah luar
biasa).

Biarlah Jakarta cukup menjadi pusat bisnis. Untuk pusat pemerintahan, sebaiknya dipindahkan ke Kalimantan Tengah.

Kenapa Kalimantan Tengah? Kenapa tidak di Jawa, Sulawesi, atau Sumatra?

Pertama
Jawa adalah pulau kecil yang sudah terlampau padat penduduknya. Luas
pulau Jawa hanya 134.000 km2 sementara jumlah penduduknya sekitar 135
juta jiwa. Kepadatannya sudah mencapai lebih dari 1.000 jiwa per km2.
Apalagi pulau Jawa yang subur dengan persawahan yang sudah mapan
seharusnya dipertahankan tetap jadi lahan pertanian untuk mencukupi
kebutuhan pangan di Indonesia. Selama ibukota tetap di Jawa, pulau Jawa
akan semakin padat dan pembangunan tidak tersebar ke seluruh Indonesia.

Ada pun pulau Sumatera letaknya relatif agak di Barat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 42 juta, pembangunan di Sumatera sudah cukup lumayan.

Sulawesi
dengan luas 189.000 km2 dan jumlah penduduk sekitar 15 juta jiwa masih
terlalu kecil wilayahnya. Sumatera dan Sulawesi adalah pulau yang subur
dan cocok untuk pertanian. Jadi sayang jika pertumbuhan jumlah penduduk
dipusatkan di situ. Belum lagi kedua wilayah ini rawan dengan gempa
bumi dan tsunami.

Ada
pun Kalimantan luasnya 540.000 km2 dengan jumlah penduduk hanya 12 juta
jiwa. Pulau Kalimantan jauh lebih luas dibanding pulau Jawa, Sumatera,
dan Sulawesi dan jumlah penduduknya justru paling sedikit.

Di
pulau Kalimantan juga tidak ada gunung berapi dan tidak ada gempa.
Sementara di pesisir Kalimantan Tengah yang berbatasan dengan Laut Jawa
juga ombak relatif tenang dan aman dari Tsunami. Ini cocok untuk jadi
tempat ibukota Indonesia yang baru.

Jika iya, apakah ibukota memakai kota yang sudah ada seperti Palangkaraya atau membuat kota baru sama sekali?

Jika
membuat ibukota dari kota yang sudah ada seperti Palangkaraya, ini akan
menimbulkan 2 kendala besar. Pertama perencanaan pembangunan jadi tidak
fleksibel. Sulit untuk merencanakan tata ruang baru karena ruang yang
ada sudah terpakai. Sebagai contoh, sulit untuk membuat jalan protokol
selebar jalan Thamrin dan Sudirman karena jalan yang sudah ada
ukurannya kecil. Jika dipaksakan, harus menggusur gedung-gedung di
sekelilingnya. Ini jumlahnya banyak sekali dan biayanya juga tentu
sangat besar.

Kedua,
karena tanah yang diperlukan sudah ada yang memiliki, akan ada banyak
spekulan tanah yang menjual tanahnya dengan harga yang sangat tinggi.
Per meter persegi bisa 2-3 juta lebih. Biaya pembangunan ibukota bisa
meroket dengan tinggi. Untuk pelebaran jalan, gedung pemerintahan dan
rumah dinas seluas total 50 km2 saja bisa mencapai Rp 500 trilyun
rupiah lebih.

Oleh
karena itu lebih mudah dan lebih murah membangun ibukota baru dari
tanah kosong milik negara. Idealnya ibukota baru ini memakai lahan
bekas HPH yang sudah gundul dan terletak di pinggir sungai. Jarak ke
pantai sebaiknya tidak lebih dari 50 km sehingga bisa jadi pusat
pelabuhan.

Dengancara ini, seandainya harus ada pembebasan lahan, biayanya tak lebihdari 10 ribu / m2. Jadi seandainya lahan yang diperlukan 500 km2, makabiaya pembebasan lahan hanya Rp 5 trilyun.

Apakah negara akan rugi karena biaya pembangunan ibukota sangat tinggi?

Pembangunan
ibukota biayanya memang cukup tinggi. Tapi akan lebih tinggi lagi
biayanya baik dari segi kesehatan mau pun biaya jika kita tetap memakai
Jakarta sebagai ibukota. Selain itu pemerintah bisa memakai pembangunan
ibukota baru sebagai sarana untuk mendapatkan uang. Bagaimana caranya?

Dari
500 km2 luas ibukota baru, tidak semuanya dipakai pemerintah.
Pemerintah hanya memakai 50 km2 untuk jalan, gedung pemerintah, dan
rumah dinas. 100
km2 bisa dipakai untuk hutan dan taman kota. Sisanya 350 km2 bisa
dijual untuk bisnis dan umum dengan harga Rp 500.000-1.000.000 /m2.
Paling tidak pemerintah bisa mendapat 175 hingga 350 trilyun rupiah
dari penjualan lahan. Ini bisa dilakukan secara bertahap. Beberapa kota
swasta seperti Lippo City, Lippo Karawaci, dan juga BSD sudah
menerapkan hal ini. Pemerintah dengan dukungan dana APBN seharusnya
juga bisa. Jadi dari sisi dana seharusnya tidak masalah.

Total
pembangunan gedung pemerintah sendiri paling hanya sekitar Rp 20
trilyun. Ini cukup untuk 200 gedung @ Rp 100 milyar. Total biaya
diperkirakan mencapai Rp 150 trilyun. Jika dilakukan secara bertahap
dalam 5 tahun maka biayanya Rp 30 trilyun per tahun atau kurang dari 4%
jumlah APBN yang mencapai sekitar Rp 800 trilyun. Biaya ini bisa
ditutup nantinya dengan dana dari hasil penjualan lahan senilai Rp
175-350 trilyun.

Ibukota
baru ini sebaiknya berjarak tidak lebih dari 200 km dari kota yang
sudah ada, sehingga bisa mendapat dukungan logistik dari kota tersebut
selama ibukota masih dalam pembangunan. Ibukota baru ini juga akan
menghidupkan kota-kota di sekelilingnya.

Usulan Lokasi Ibukota Baru

Usulansaran saya ibukota baru ini dinamakan Kota Merdeka dengan letak 30 kmdari kota Pangkalanbun dan terletak di tepi sungai yang lebarnya 1-2 km(lihat peta) dan berjarak 40 km dari laut. Jadi kota inibisa jadi kota pelabuhan, aman dari tsunami. Selain itu dengan sungaiyang lebar akan ada pemandangan River View ala kota-kota Eropa, AS, danAustralia, di mana kapal-kapal besar bisa masuk melewati sungai.

Kota
ini jaraknya 670 km dari Jakarta. Jadi kurang lebih sama dengan jarak
kota Surabaya-Jakarta. Dengan pesawat terbang dapat ditempuh kurang
dari satu jam.

Diharapkan
dengan adanya ibukota baru ini, Jakarta tetap menjadi pusat bisnis,
sementara kota yang baru (Kota Merdeka?) menjadi pusat pemerintahan
pembangunan dan penyebaran penduduk di Indonesia lebih merata.
Memang
pemindahan ibukota tidak harus dilakukan sekarang. Tapi dalam 10 tahun
ke depan mau tidak mau harus pindah. Jadi harus dipikirkan dan
direncanakan mulai dari sekarang.

Berikut berbagai artikel tentang pemindahan ibukota negara:

http://www.guardian.co.uk/world/2004/aug/12/northkorea
South Korea to move capital 100 miles south
This article appeared in the Guardian on Thursday August 12 2004 . It was last updated at 23:49 on August 11 2004.
The
South Korean government confirmed yesterday that it is to create a new
capital in what will be one of Asia's biggest ever construction
projects.

Under
the £26bn scheme, a site in the sleepy region of Gongju-Yongi 100 miles
south of Seoul will replace it as the seat of parliament and government
by 2020. Despite sharp divisions among the public and the mixed results
of similarly ambitious projects by other states, president Roh Moo-hyun
insists relocation is necessary to ease chronic overcrowding in Seoul,
redistribute the state's wealth, and lessen the danger of a bombardment
by North Korea.

· In 1956 Brazil's capital moved from lively, crowded Rio to remote Brasilia. But spectacular buildings alone failed to attract the crowds

·
Australia's government decided to build Canberra in 1908. A functional,
elegant city was created, though many residents escape to Sydney for
nights out

· In a symbolic gesture, the German government moved from Bonn to Berlin in 1991. But resources are still split between the two cities

http://geography.about.com/library/weekly/aa101199.htm

Japan to Relocate Capital from Tokyo
Dateline: 10/11/99

In
1990, the Diet (Japan's parliament) passed a resolution to investigate
moving Japan's capital city out of Tokyo. Within a few weeks, a
committee will present their choice for the location of a brand-new
capital city to the Prime Minister.

The
idea for moving the capital in Japan was first proposed and discussed
when Tokyo hosted the 1964 Olympic Games. Now, the Diet wants to move
the capital out of Tokyo to alleviate the "excessive concentration" of
political and economic functions in the world's largest megalopolis of
33 million people. In addition, the possible breakdown of government
functions in the event of a major earthquake striking Tokyo further led
the Diet to legislate the move.

In
1868, with the Meiji Restoration, the Japanese imperial capital moved
from Kyoto to the town of Edo (which had served as a quasi-capital
since 1603) and Edo was was renamed Tokyo. Tokyo is the worlds most
populous urban area and houses 26% of the country's population. In a
recent study, Japanese researchers found that the cost of housing in
Tokyo is over four times the cost of similar housing in Paris and well
over three times the cost of similar housing in New York City.

Memindahkan Ibukota, Membangun Indonesia
http://eddysatriya.blogspot.com/2007/11/memindahkan-ibukota-membangun...

Memindahkan Ibukota dari Jakarta?
Kalau
memang ada niat untuk memindahkan ibukota, maka ada dua pilihan:
memanfaatkan kota yang sudah ada, atau merancang daerah khusus ibukota
sejak awal. Wikipedia mencatat ada beberapa ibukota negara yang
dirancang khusus sebagai daerah ibukota, misalnya Brasilia, New Delhi,
Canberra dan Washington, DC. Kelebihan kota-kota ini adalah bahwa
kota-kota ini didesain khusus dari awal sebagai daerah ibukota, tidak
seperti Jakarta yang terbentuk akibat urbanisasi.

Selain
itu, beberapa negara memiliki lebih dari satu ibukota. Sebagai contoh
Malaysia memiliki dua kota yang berfungsi sebagai ibukota: Kuala Lumpur
dan Putrajaya, atau Belanda yang memiliki Amsterdam dan Den Haag.
Bahkan Afrika Selatan memiliki tiga buah ibukota sekaligus: Pretoria,
Cape Town dan Bloemfontein.
http://priyadi.net/archives/2006/09/29/memindahkan-ibukota-dari-jakarta/

Memindahkan Pusat Pemerintahan, Lalu Memindahkan Ibu Kota
http://andrinof.wordpress.com/2007/05/31/memindahkan-pusat-pemerintahan/

Memindahkan Ibukota Negarahttp://beritasore.com/2008/02/09/memindahkan-ibukota-negara/

Seputar Wacana Memindahkan Ibukota NegaraPemindahan ibukota negara dari Jakarta sebenarnya bukanlah hal yang baru. Ibukota
Republik Indonesia pernah beberapa kali pindah antara tahun 1945-1950,
yakni dari Jakarta ke DI Yogyakarta, lalu ke Bukittinggi, Sumatera
Barat, sebelum dipindahkan lagi ke Jakarta. Pada
masa penjajahan Belanda dulu, Bogor juga pernah menjadi tempat gubernur
jenderal dan Batavia (sekarang Jakarta) menjadi pusat dagang. Sejumlah negara pun pernah memindahkan ibukotanya dengan berbagai alasan. Beberapa
negara juga memisahkan pusat pemerintahan dengan pusat bisnis. Pusat
pemerintahan AS berada di Washington, dengan pusat bisnis di New York,
sedangkan pusat pemerintahan Malaysia berada di Putrajaya, dengan pusat
bisnis di Kuala Lumpur. (*)
A Nizami


http://infoindonesia.wordpress.com

Sabtu, 10 Mei 2008

History Of Inter Milan


Football Club Internazionale Milan Inter Milan Nama lengkap F.C. Internazionale Milano S.p.A Julukan Nerazzurri Didirikan 9 Maret 1908 Lapangan Giuseppe Meazza, San Siro Milano, Italia Kapasitas 85.700 Ketua Massimo Moratti Manajer Roberto Mancini Football Club Internazionale Milano S.p.A atau lebih dikenal dengan nama Inter Milan atau yg mempunyai julukan il Nerazurri (si biru hitam), il Biscone (si ular besar), dan juga La Beneamata (yang tersayang) adalah sebuah klub sepakbola Italia, bermain di Seri A (divisi pertama). Sejarah Klub ini didirikan pada 9 Maret 1908 mengikuti pecahnya dari Klub Kriket dan Sepak bola Milan (Milan Criket and Football Club), yang sekarang lebih dikenal dengan nama AC Milan. Sebuah grup terdiri dari orang-orang Italia dan Swiss tidak terlalu suka akan dominasi orang-orang Inggris & Italia di AC Milan dan mereka memutuskan untuk memecahkan diri dari AC Milan. Nama Internazionale diambil dari keinginan pendiri-pendirinya untuk membuat satu klub yang terdiri dari banyak pemain dari negara-negara luar. Klub ini memenangkan juaranya di tahun 1910 dan yang kedua di tahun 1920. Selama waktu perang, klub ini dipaksa untuk mengganti namanya menjadi Ambrosiana-Inter untuk menyesuaikan diri dengan kepemimpinan Benito Mussolini. Walaupun demikian, Inter masih tetap bisa memenangkan trofi ketiga mereka di tahun 1930. Mengikuti itu, trofi keempat dimenangkan di tahun 1938, Inter pertama kali memenangkan Copa Italia (Piala Italia) di tahun 1940 dan di tahun yang sama, mereka memenangkan trofi kelima mereka. Sejak tahun 1942 sampai sekarang, nama Ambrosiana-Inter tidak pernah dipakai lagi dan mereka memakai nama asli mereka, Internazionale Milano. Setelah masa perang, Inter memenangi gelar Seri A lagi pada tahun 1953 dan yang ketujuh di tahun 1954. Setelah memenangi beberapa trofi ini, Inter memasuki masa keemasan mereka yang disebut La Grande Inter. Selama masa keemasan mereka, Inter memenangkan tiga trofi di tahun 1963, 1965, dan 1966. Pada waktu ini, Inter juga terkenal dengan kemenangan Piala Eropa dua kali berturut-turut. Di tahun 1963, Inter memenangkan trofi Piala Eropa mereka setelah mengalahkan klub terkenal Real Madrid. Musim selanjutnya, bermain di kandang mereka sendiri, Inter memenangkan trofi Piala Eropa untuk kedua kalinya setelah mengalahkan klub dari Portugal, Benfica. Setelah masa keemasan di tahun 1960, Inter berhasil untuk memenangkan gelar mereka kesebelas kalinya di tahun 1971 dan kedua belas kalinya di tahun 1980. Pada tahun 1970 dan 1980, Inter juga memenangi dua trofi Piala Italia di tahun 1978 dan 1982. Inter berhasil meraih gelar scudetto mereka yg ke tigabelas kali pada tahun 1989 dan membutuhkan waktu yg sangat panjang hingga 17 tahun hingga mereka dapat memenanginya lagi pada tahun 2006, tetapi melalui cara yg lain dari biasa atau yg mereka sebut dengan "Scudetto of Honesty" (juara dari kejujuran), karena mereka tidak terbukti bersalah dalam skandal "calciopoli" yg ikut menyeret beberapa klub besar italia yg terbukti bersalah dan mendapat penalti pengurangan poin juga pencopotan gelar bagi juara sebelumnya. Baru pada tahun selanjutnya atau 2007 Inter berhasil menjadi juara bertahan, sekaligus menorehkan rekor dengan 17 kemenangan beruntun di kompetisi lokal. Gelar ini membuat Inter dengan 15 kali juara di peringkat ketiga dalam jumlah gelar kompetisi Seri A, di bawah Juventus dengan 27 kali dan AC Milan dengan 17 kali. Biarpun begitu Inter adalah satu-satunya tim Seri A yg belum pernah terdegradasi terhitung dari sejak Seri A bergulir, karena itu di dalam lagu kebangsaan nya yg berjudul C'e solo l'Inter (hanya ada Inter satu-satunya) disebutkan bahwa Inter mempunyai gen Seri A dan tidak mengenal Seri lainnya. Internazionale juga memenangi Piala UEFA mereka tiga kali. Pertama di musim 1990/1991 melawan AS Roma/ Di musim 1993/1994, Inter meraih gelar Piala UEFA dengan mengalahkan klub Austria Casino Salzburg. Di kemenangan Piala UEFA mereka untuk ketiga kalinya, Inter mengalahkan SS Lazio di Parc des Princes, Paris. Presiden Klub 1908 - 1909 = Giovanni Paramithiotti 1909 - 1910 = Ettore Strauss 1910 - 19112 = Carlo De Medici 1912 - 1914 = Emilio Hirzel 1914 - 1914 = Luigi Ansbacher 1914 - 1919 = Giuseppe Visconti Di Modrone 1919 - 1920 = Giorgio Hulss 1920 - 19223 = Francesco Mauro 1923 - 1926 = Enrico Olivetti 1926 - 1929 = Senatore Borletti 1929 - 1930 = Ernesto Torrusio 1930 - 1932 = Oreste Simonotti 1932 - 1942 = Ferdinando Pozzani 1942 - ? Mei 1955 = Carlo Masseroni 28 Mei 1955 - 1968 = Angelo Moratti 1968 - 1984 = Ivanoe Fraizzoli 1984 - ? Februari 1995 = Ernesto Pellegrini 18 Februari 1995 - 30 Januari 2004 = Massimo Moratti 30 Januari 2004 - 4 September 2006 = Giacinto Facchetti 2006-kini = Massimo Moratti Stadion Stadion tim saat ini adalah Stadion Giuseppe Meazza yang berkapasitas 85.000 orang. Stadion ini juga dikenal dengan nama San Siro. Stadion ini dibuka dengan Pertandingan Derby antara AC.Milan melawan Inter, yang dimana laga itu dimenangkan oleh Inter dengan skor 6 - 3. Stadion ini digunakan bersama dengan AC Milan ("AC Milan"), klub besar lain di Milan. Suporter AC Milan menggunakan "San Siro" untuk menyebut stadion itu karena dulunya Giuseppe Meazza merupakan seorang pemain bintang bagi Inter dan mereka tidak begitu menyukai satu sama lain. Jauh sebelum menggunakan Stadio Giuseppe Meazza, Inter selalu menggunakan Stadio Arena. Rekor Inter menjadi satu-satunya klub di Seri A yang tidak pernah turun ke Seri B, karena klub Juventus harus turun ke Seri B pada musim 2006/2007 terkait dengan kasus Calciopoli atau pengaturan skor pertandingan. Nomor punggung yang diabadikan 3 Giacinto Facchetti Gelar Seri A 15 1909/10 1919/20 1929/30 1937/38 1939/40 1952/53 1953/54 1962/63 1964/65 1965/66 1970/71 1979/80 1988/89 2005/06(1) 2006/07 (1) FIGC menyatakan Internazionale sebagai Juara Seri A setelah Juventus terbukti terlibat dalam Calciopoli. Piala/Liga Champions 2 1963/64 1964/65 Piala Italia 5 1938/39 1977/78 1981/82 2004/05 2005/06 Piala UEFA 3 1990/91 1993/94 1997/98 Piala Interkontinental 2 1964 1965 Piala Super Italia 3 1989 2005 2006 Copa Presidente De La Republica 1 1982 Copa Santiago Bernabeu 1 2001 Coppa Dell'Amicizia Italo-Francese 1 1959 Coppa Pirelli 7 1996 1997 2000 2001 2002 2003 2005 Coppa Sky 1 2004 Coppa Sud Tirol 2 2003 2005 Memorial Giorgio Ghezzi 1 1992 Memorial Luigi Campedelli 1 1993 Mohamed V Trophy 1 1962 Torneo Natale Milano 1 1934 Torneo Milano 1 1993 Trofeo Valle D'Aosta 1 1998 Trofeo Birra Moretti 2 2001 2002 Trofeo Ciudad De Vigo 1 1996 Trofeo Vincenzo Spagnolo 1 1998 Triangolare Bolzano 1 2005 Final Piala/Liga Champions 2 1966/67 1971/72 Piala UEFA 1 1996/97 Piala Eropa Tengah (Central Europe Cup) atau (Piala Mitropa) 1 1933 (Dahulu Piala Mitropa mempunyai kedudukan yang sama dengan Piala/Liga Champions pada masa sekarang) Piala Italia 5 1958/59 1964/65 1976/77 1999/00 2006–07

Jumat, 09 Mei 2008

Karet Gelang Sipatugelang

Karet Gelang Sipatugelang

karet gelang

Tak jelas sejak kapan barang ini ada. Kayaknya sih begitu saya mengenal barang, karet gelang sudah ada. Siapa yang menemukan, eh menciptakan?

Penyebutan “karet gelang” pun menarik. Karet ini bisa dijadikan gelang, setidaknya untuk sementara sampai kemudian terpakai. Kalau dipakai terlalu lama, apalagi diameter karetnya ngepas, maka akan menggigit pergelangan kita.

Waktu saya masih kecil, dikenal dua macam karet gelang. Yang pertama berbahan kasar, mirip karet betulan, warnanya cenderung kusam. Yang kedua lebih liat, berwarna bening, sehingga orang-orang menyebutnya sebagai “karet pentil”.

Baca “pèn-til”. Kalau “pêntil” (Jawa: pên-thil), itu berarti puting atau nipple. Pentil adalah katup selongsong untuk dop ban sepeda. Biasanya memang berbahan karet bening.

Nah karet gelang ini, kalau direndam dalam minyak tanah, akan melar. Saya pernah melakukannya, sekadar mengikuti anjuran teman-teman. Apa manfaatnya? Nggak ada.

Anda pasti membutuhkan karet gelang untuk mengikat bungkus atau menggabungkan benda. Tapi kapankah terakhir kali Anda membelinya? Harga sekantong karet gelang, entah berapa isinya, sekitar Rp 5.000. Saya belum menimbangnya. :D

Ini jenis barang yang tak perlu kita beli. Kalau hanya butuh satu-dua meminta tetangga atau warung pun akan diberikan. Selebihnya kita akan menyimpan karet gelang yang kita dapatkan saat membeli barang, kemudian kita simpan, lalu kita pakai lagi. Praktis. Hemat.

Entahlah apakah anak-anak sekarang masih bermain karet gelang. Dulu bocah-bocah bermain “ganjilan” (Jawa), dengan melemparkan setumpuk karet gelang ke sebuah bidang sempit, misalnya sudut bawah pilar bangunan sekolah.

Anak-anak perempuan dulu juga sering bermain “springen” dengan jalinan karet gelang yang menyerupai rantai. Ukuran ketinggian untuk anak-anak perempuan di Jawa Tengah antara lain “sak-dheng” (”sakdhengkul“, sedengkul, selutut), “sak-ud” (sakudel, setinggi pusar) dan… “sak-tem” (maaf… “saktempik“, setinggi kemaluan perempuan).

Kebanyakan orangtua tak menganggap ukuran macam itu saru atau jorok. Cowok-cowok juga menganganggapnya wajar, dan tak perlu bikin tandingan ketinggian, nyuwun sewu, “sak-kon“.

kantong karet gelang


Bualan Tentang Kartu Remi

Las Vegas Goceng

paket kartu remi dan daduKartu, dadu, dan Las Vegas. Itu jelas mencitrakan perjudian. Nah, ketiga hal itu dipaketkan seharga Rp 5.000. Saya mendapatkannya di toko serba-satu-harga Okedoku di Plaza Blok M, Jakarta Selatan.

Maka dengan uang segitu saya dapat satu set kartu dan enam buah dadu. Las Vegasnya mana? Ada pada kemasan: Las Vegas Style. Tapi tak jelas apa maksudnya.

Kartu bermerek A dengan seri 555 (banyak merek yang pakai nomor sakti tiga digit) ini tak terlalu istimewa. Dek maupun As sekop biasa saja.

Joker? Boleh juga, rada beda dari yang biasa tapi saya terkesan. Di situ ekspresi badut tak sepenuhnya riang. Seperti ada sejumput kesedihan. Mungkin karena arah luar garis alis yang miring ke bawah.


Bukankah itu seperi mewakili banyak badut? Mereka harus tampak lucu dan menghibur padahal hatinya muram. Hanya topeng atau rias wajah yang bisa menyembunyikannya.

Beberapa kali saya mendapati badut panggilan yang sedang beristirahat, dalam gerah dan lelah, padahal acara berlangsung di mal yang berpenyejuk udara. Serampung acara mereka mengemasi peralatannya, berjalan menuju parkiran — ada juga yang menunggu taksi — dengan wajah kusut.

Mungkinkah bekas cubitan dan pukulan gemas anak-anak kecil masih tersisa? Anak-anak orang lain terhibur oleh badut di pesta pusat perbelanjaan, sementara anak-anak si badut menunggu di rumah. Badut mereka adalah ayahnya sendiri, yang di rumah hanya bersinglet dan bersarung, tanpa atraksi.

Ah, lupakan saja. Itu fiktif. Saya belum mengikuti badut itu sampai ke rumahnya. Tapi pernah suatu kali saya menyusuri perkampungan padat kumuh di Jakarta Utara. Di loteng rumah petak berdinding tripleks tampak pakaian badut sedang dijemur. Tak ada gebyar semarak di situ.

Diperoleh: 10 Desember 2006 * Kontributor: sendiri * Asal kartu: RRC * Pembuat: tidak diketahui, hanya “Made in China” * Bahan: art carton * Ukuran: 57 x 81 mm * Cetak: offset

Ngeblog buat Apa dan Siapa?

Rabu, 22 Agustus 2007 @ 02:35 | Ngeblog, Personal

KITA HIDUP DALAM DALAM BELANTARA TEKS.

kronologger

Ini pertanyaan untuk diri saya. Bukan untuk Anda. Tampaknya saya ngeblog untuk saya sendiri, tapi sambil cari perhatian berupa tanggapan. Alasan pembenar tentu ada. Manusia adalah makhluk sosial sehingga perlu berkomunikasi dan bergaul dengan manusia lain. Ada lagi: manusia butuh pengakuan.

Ah, terlalu jujur. Nggak asyik. Kurang keren. Nggak ada unsur sok visioner atau apalah gitu yang pokoknya gagah lagi terpelajar.

Lantas apa dong? Oh ya, sok altruistik juga sih. Yaitu berbagi. Ya berbagi pengalaman, lamunan, impian, harapan, kekecewaan, dan opini. Kayaknya ini alasan yang lebih bertanggung jawab.

Uh, kuno. Standar. Bilang aja mau pamer. Jadi, intinya, ngeblog untuk menyalurkan kecenderungan eksibisionistik. Ya kan? Jangan menelanjangi orang dong. Malu saya.

Saya kembali menanya diri sendiri setelah ikut bermain di Kronologger. Di sana saya juga meledek diri sendiri untuk menunjukkan kebingungan dan sekaligus keasyikan saya mengarungi dunia blog.

kronologgerKemarin di Kronologger Orehikari bertanya: apakah ini berguna?

Blog, dan kemudian mobile blogging, tanpa gambar saja sudah menjadikan dunia ini hiruk pikuk oleh informasi.

Dunia siapa? Dunia di otak kita. Dunia berupa jalinan antarkomputer yang sebetulnya tak gaduh.

Kita hidup dalam belantara teks. Semua orang bikin. Ada yang untuk dibaca sendiri, ada yang boleh dibaca oleh orang lain, ada juga yang peduli amat pokoknya nulis, syukur kalau ada server yang mau menyimpannya. Jangan-jangan saya ini gabungan dari semuanya.

Lantas untuk apa semua itu? Sehari tetap 24 jam, waktu kita makin terbatas, sementara kapasitas otak kita (tepatnya: saya) belum meningkat — baik daya simpan maupun daya olah.

Ujung-ujungnya adalah seleksi. Bagaimana menyeleksi, mungkin intuisilah yang bekerja, mungkin pula mesin yang membantu kita menjadwalkannya bahkan mengunduhkannya.

Tentu tautan emosional dan personal juga terlibat. Saya membaca — meski belum tentu berkunjung dan mengomentari — blog orang tertentu. Minimal judul dan paragraf awalnya.

Kalau semua orang ngeblog, lengkap dengan gambar, bahkan gambar hidup, bagaimanakah kita akan mengarungi kehidupan?

Ujung perjalanan blog tampaknya menarik untuk disimak dan kalau perlu diwarnai bersama.

Apa tadi, ujung? Adakah ujungnya? Di mana alamatnya? Siapa yang jaga? Berhadiah permen atau payung?

Saya tulis post semaunya ini di sebuah kedai. Tiba-tiba saya ge-er, merasa garpu yang barusan terjatuh lalu tergeletak di samping selop milik tumit halus kemerahan di sofa seberang itu berkata kepada saya, “Lha mbok sudah to. Ngeblog ya ngeblog. Gitu aja kok repot.”

Mungkin si garpu itu temannya Gus Dur. Kalau dia besok tahu bahwa blog itu menantang penjelajahan kemungkinan, maka dia temannya Budi. Kalau dia bilang bahwa blog cuma tren yang gimana gitu, berarti dia belum jadi blogger — tapi suka ngintip blog orang.

Hemat Energi (Kalau Bayar Sendiri)

LEBIH KUAT MANA: KAMPANYE ATAU MENGALAMI SENDIRI?

meteran listrik

Hemat energi, hemat biaya. Itu kata kampanye. Semua orang mengamini dalam lingkup pengetahuan umum. Soal praktik, itu lain perkara. Lha iya, wong bergantung pada siapa yang menanggung biaya.

Seorang suami selama bertahun-tahun berkewajiban membayar biaya air minum, telepon, dan listrik. Keluhan bahwa tagihan cenderung naik, bukan hanya karena tarif tetapi juga konsumsi di keluarganya, selalu ditanggapi si nyonya dengan, “Oh ya? Masa sih, Pa? Habis gimana lagi dong, Pa…”

Suatu kali sang suami disekolahkan ke negeri lain. Segala tagihan rutin diurus nyonya. Konsumsi telepon dan terutama listrik turun, tinggal 70 persen dari biasanya.

Tanggapan suami ketika dilapori istri — dengan menirukan “Oh ya? Masa sih, Ma?” — berbuah cubitan karena dianggap meledek.

Ada cerita lain. Di sebuah perusahaan, seorang kepala unit yang beberapa kali pindah lokasi gedung dianggap rewel oleh bagian teknik. Penyebabnya, dia selalu minta penambahan saklar.

Dengan begitu, lampu di ruang rapat yang tak terpakai, dan juga di ruang lain, dapat dipadamkan. Sebelumnya semua panel saklar ditaruh terpusat. Dua meja butuh terang, yang menyala seluruh ruang.

Tak pernah terukur seberapa banyak penghematan yang telah dicapai, karena tagihan setiap bulan tetap, angkanya konstan, ditentukan oleh anggaran tahunan.

Mas Tespen Bawatang bilang, “Buat apa kita irit tapi selisih hasil penghematan nggak jadi duit buat kita?”

Mestinya dia menanya bagian keuangan, supaya tahu bahwa bonus dan THR lancar karena penghematan. :D

Mas Karyawanto Sesukahati bilang, “Mau boros mau ngirit, tagihan juga tetap, lagian bukan kita yang bayar kan, Bos?”

Kalau mendengar itu, orang keuangan mungkin akan bilang, “Mulai besok gaji sampeyan dipotong buat bayar listrik. Mau?” Lha iyalah, lebih gampang menyunat gaji ketimbang kasih kompensasi.

Maka lihatlah, yang namanya penghematan hanya kentara kalau ada kampanye dan imbauan — apalagi ada rencana pengawas konsumsi energi di setiap instansi.

Setelah itu semuanya kembali kepada kebiasaan. Kalau merasa tak ikut bayar, buat apa mematikan lampu dan AC yang tak terpakai?

Tapi Mas Opisboi sebuah kantor pernah kebablasan. Setiap menjelang pulang dan mengunci kantor dia cabut colokan kulkas dan dispenser, lalu mematikan AC di ruang dokumentasi foto (plus server).

Bukan salah dia. Tak ada prajurit bodoh, begitu kabar dari tangsi. Yang ada hanyalah komandan yang bego.

Sang komandan pun membela diri, “Bukan bego! Kurang ajar kamu ya! Cuma nggak sempet aja ngurusin remeh-temeh gituan. Tau?”

mobil toyota tanpa bbm

© Foto gerobak: entah. | © Foto meteran listrik: blogombal.org

Atas Nama Rakyat

APAKAH DEMOKRASI BERARTI MAYORITAS BOLEH APA SAJA?

Mobil yang keren. Modifikasinya bolehlah. Tema visualnya sangat Hanura. Mungkin bukan milik partai tetapi kepunyaan seorang kadernya. Tentu inilah mobil untuk rakyat. “Hanumpaki rakyat,” kata sobat saya yang wong Yoja.

Memang makin terasa ancang-ancang untuk pemilu tahun depan kian kencang. Datanglah ke beberapa tempat layanan digital yang bagus. Ada saja order untuk partai. Itu baru yang tampak, karena ada di hilir. Saya tak tahu apa yang ada di hulu, yaitu anggaran.

Entahlah berapa anggaran untuk bikin partai terutama biaya operasional lima tahun pertama. Kalau cuma bikin sih mungkin cukup ke notaris lalu mendaftar ke pemerintah.

Apa pun nama partainya, dari cap gurem sampai cap dinosaurus, sebagai mesin politik mereka butuh bahan bakar dan pelumas yang bernama uang.

Di satu sisi, kemarakan partai ini menyenangkan. Tersedia banyak pilihan. Bahwa ternyata kalau semakin banyak akan semakin riuh, sehingga pemenang pemilihan apapun tak menang mutlak, karena kalau lawan bersatu akan jadi mayoritas, yah itu apa boleh bikin. Sekolah hidup bernama demokrasi kadang menyebalkan.

Lebih menyebalkan lagi ketika partai-partai itu, atas nama rakyat, melalui wakilnya di parlemen, akhirnya hanya menyandera kepentingan banyak orang. Pakai main suap dan peras pula. Hayah.

Situasi macam itu bisa melahirkan keputusasaan sehingga muncullah kerinduan akan hadirnya diktator berhati malaikat, yang tidak demokratis tapi menyenangkan, bisa menjamin pangan dan bahan bakar tetap terbeli. Revolusi tangsi atau revolusi embuh, itu tak penting. Impian lebih utama ketimbang cara?

Dengan segala kesontoloyoannya, partai-partai itu tetap kita butuhkan. Demokratisasi, sebagai proses, memang melelahkan, bikin gondok, tapi yah jalan itu harus kita lalui. Kalau ada yang tak beres ya kita teriak (dan semoga didengar). Selebihnya, kalau masih gusar, kita boikot saja.

Ehm, itu tadi memang pikiran naif. Yah hak sayalah untuk naif. :D

Itu sebabnya saya, yang bukan warga Bandung, mendukung langkah Adinoto yang pengin jadi walikota. Salah satu alasan adalah karena dia bukan orang partai.

Bahwa perjuangan dia berat, kalah start pula, bagi saya yang lebih penting adalah spiritnya, untuk tidak memasrahkan diri kepada partai. Penyebaran spirit itulah yang lebih utama.

Tentu bisa ada hipotesis muram, yang bukan merujuk ke Adinoto, yaitu: bagaimana jika calon independen yang kuat ternyata adalah kekuatan yang antidemokrasi (misalnya sektarian, tidak memberi hak hidup kepada minoritas) tetapi menang melalui jalan demokratis, dengan pembenar utama vox populi vox dei yang kadang tak lebih dari tirani mayoritas?

Demokrasi, Saodara. Demokrasi. Memang pelajaran tiada henti. Inilah eksperimen sejumlah orang yang menjanjikan kemerdekaan.

Sayang, yang sering terlewat dari pendidikan ini adalah kemerdekaan yang mencukupkan pangan-sandang-papan itu mestinya tak mengganggu dan tak merugikan kemerdekaan orang lain.

Utopis? Barangkali utopia adalah candu yang membuat kita berani menjalani kehidupan.

Salam gombal, Sodaraku.

© Foto: blogombal.org

Kamis, 08 Mei 2008

Susuri Jalanan Jakarta, Harapkan Pekerjaan

JALAN KAKI SEJAUH 60 KM LEBIH. SETIAP HARI.

mencari kerjaDari kejauhan saya menyangkanya seorang mahasiswa yang sedang diplonco. Namun dalam sekejap saya ingat, sekarang belum musim inisiasi akademis. Ketika jarak saya makin dekat, terbacalah tulisan di punggungnya itu: “Saya sedang mencari kerja.”

Namanya Jero. Usianya 35. Lajang. Kulitnya menggelap terpanggang Mentari. Wajahnya berkilat oleh keringat. Bibirnya kering menahan haus.

Sudah hampir sebulan dia saban hari menyusuri jalanan Jakarta. Tadi saya melihatnya selagi dia menyusuri Jalan Radio Dalam dari arah Pondok Indah.

Saban pagi, pukul enam, dia berangkat dari rumahnya di Jatibening, Bekasi, dekat jalan tol. Melintasi Kalimalang, dan seterusnya, lantas tinggal memilih arah.

Rute hari ini adalah Cawang - Jalan M.T. Haryono - Jalan Gatot Subroto - Semanggi - Jalan Jenderal Sudirman - Pejompongan - Jalan Sultan Iskandar Muda, dan sampailah Pondok Indah.

Selama hampir sebulan dia berjalan, baru dua kali disapa orang. Pertama adalah kemarin. Si pengendara mobil menanyakan ijazah terakhirnya karena dia butuh tamatan SMA. “Tapi saya hanya sampai kelas lima SD,” kata Jero.

Penyapa kedua adalah orang yang merasa senasib dengannya, hanya tongkrongannya tampak lebih beruntung, padahal sama-sama tak punya pekerjaan.

Jero tak punya pengalaman bekerja selain membantu orangtuanya berjualan di warung kecil. Ayahnya menyediakan beras, ibunya menyediakan sayur. Tugas Jerolah untuk berbelanja, kulakan.

Setelah kedua orangtuanya tiada, Jero mencoba meneruskan usahanya di rumah kontrakan. Berjualan beras. Modal menipis, padahal harganya kian menanjak, “Akhirnya beras jadi nasi, saya makan sendiri.”

Maka dia putuskan untuk mengiklankan diri, dengan berjalan kaki, “Soalnya nggak ada ongkos naik angkot.”

Kita bisa berjarak karena itu bukan urusan kita. Kita juga boleh tak percaya kisah hidupnya. Tapi berpenat diri untuk mengais lowongan pekerjaan itu bisa menimpa siapa pun.

Jakarta yang panas dan gerah, tadi siang masih menyisakan sedikit keramahan. Jero diajak singgah di sebuah rumah, tempat pria penyapa kedua itu biasa mampir untuk numpang makan siang. Tuan rumah langsung paham, tak banyak tanya, hanya mempersilakan dia bersantap.

mencari kerja

Ketika perut kenyang dan segelas tambahan air dingin kembali mempersegar tubuh, Jero bersiap mengayun langkah. Bengong dan bahagia ketika lelaki penyapa tak bernama itu mencabut dompetnya, lalu membukanya.

Hanya ada dua lembar lima puluh ribuan. “Kita bagi dua. Uang saya hari ini tinggal ini. Lima puluh buat kamu, lima puluh buat saya.”

Bukankah Matahari dan ayun langkah masih menyisakan rezeki, baik untuk Jero maupun si pemberi?

Komedi Ponsel ala Benny & Mice

ITULAH POTRET KITA BERSAMA BENDA AJAIB.

buku ponsel benny & micePonsel itu barang mewah atau murah? Ya mewah, ya murah.

Mewah, jika untuk membelinya harus berpuasa ini dan itu sekian lama.

Murah, jika mendapatkannya tanpa tangis — syukur itu barang temuan atau hadiah (bisa juga hibah).

Pada penutup abad lalu dan pembuka abad ini tampaknya tak ada benda yang sefenomenal ponsel. Dari segi fungsi jelas penting, untuk komunikasi. Dari sisi gaya, nah ini dia bedanya ponsel dengan barang lain. Dia gemenggam eh handy, model dan fiturnya terus bertambah (kadang melebihi kebutuhan pemakainya), dan yang lebih penting lagi bisa dipamerkan.

Arloji mungkin bisa begitu, sebagai penunjuk waktu sekaligus barang fashion. Tapi secara umum arloji tidak bisa dipakai untuk berasyik-asyik sendiri — kecuali arloji digital yang ada macam-macamnya.

Ponsel bisa menjadi teman di kala kesepian atau bete di tengah antrean. Bisa buat nge-game, bisa but SMS, bisa juga buat menelepon layanan pelanggan yang bebas pulsa, lalu ngoceh belagu padahal di sana yang menerima mesin.

buku ponsel benny & mice

Sebagai barang handy, ponsel adalah produk yang mengalami penjejalan fungsi. Jika memungkinkan maka setrika dan penanak nasi, dan bahkan mesin cuci, pun mungkin akan dibenamkan ke dalamnya.

Sekarang, bagi sebagian kalangan, mudik hari raya yang setahun sekali harus disertai ponsel anyar. Akan aneh jika dari tahun ke tahun ponsel tak berganti, tapi arloji tak pernah ganti malah mengundang puji.

Nah, segala komedi tentang pemilikan ponsel itu dikemas oleh Benny dan Mice (sejoli jomblo sekelamin, tapi mengincar wanita) secara kartunal. Sebagian besar adalah isu lama, bahkan mungkin abadi, misalnya pasal gengsi, fakir pulsa, dan sejenisnya. Tapi, nah ini, mereka berdua berhasil banget merekam sketsa sosial ini dalam gambar. Detil, itulah salah satu kelebihan meraka.

Lantas isinya apa saja? Nggak seru kalau saya ceritakan ulang. Sebaiknya Anda membeli buku ini sebagai sebuah dokumen sosiologis kota besar Indonesia (maksud saya Jakarta). Kayaknya buku-buku Benny dan Mice (kecuali yang busway) itu layak untuk tambahan materi kelas bahasa Indonesia bagi orang asing.

buku ponsel benny & mice

JUDUL: Talk about Hape • PENULIS & PENGGAMBAR: Benny Rachmadi & Muh. “Mice” Misrad • PENERBIT: Nalar (Jakarta, 2008) • UKURAN: 15 cm x 21 cm • TEBAL: vi + 106 halaman • HARGA: Rp 30.000

(di sadur dari : blogombal.org)

Minggu, 04 Mei 2008

Samsir Mohamad: “I love People and My Country”

Samsir Mohamad | Foto: Melly

“Panggil aku Samsir saja,” kata lelaki tua itu ketika seorang anak muda menyapanya. “Ini memang terdengar aneh, tapi kita harus membiaskan bersikap egaliter.” Sore itu hujan membasahi tembok-tembok Ultimus, toko buku yang pernah dituding memfasilitasi aktivisme kaum sosialis. Di sana, biasanya Samsir membunuh waktu. Samsir suka sekali ngobrol. Siang atau malam, asalkan tersedia kopi aroma hitam kental dan rokok kretek.
Di masa tua, ia memilih menyingkir ke lereng Burangrang. Sesekali ia turun gunung untuk menyapa zaman dan memberi petuah politik.

Ini bukan kisah seorang pahlawan. Ia hanya seorang prajurit yang berusaha tetap lurus, meski para pemimpinnya ingkar terhadap cita-cita perjuangan kemerdekaan. Semula cita-cita itu adalah melindungi dan mencerdaskan segenap bangsa Indonesia.

“Panggil aku Samsir saja,” kata lelaki tua itu ketika seorang anak muda menyapanya. “Ini memang terdengar aneh, tapi kita harus membiaskan bersikap egaliter.” Sore itu hujan membasahi tembok-tembok Ultimus, toko buku yang pernah dituding memfasilitasi aktivisme kaum sosialis. Di sana, biasanya Samsir membunuh waktu. Samsir suka sekali ngobrol. Siang atau malam, asalkan tersedia kopi aroma hitam kental dan rokok kretek.

Tubuhnya ringkih, berkacamata bulat tebal, sebagian rambutnya sudah rontok di bagian depan. Sering tampil dengan kemeja, lengkap dengan ikat pinggang dan celana katun. Tongkat setinggi pinggangnya setia menyanggah kedua kakinya yang merapuh.

Untuk ukuran orang yang berusia 81 tahun, dia tergolong kuat. Pergi kemana-mana sendiri menggunakan kendaraan umum. Keluhan penyakitnya hanya satu, nyeri otot di pangkal paha.

Samsir Muhammad, seorang aktivis kemerdekaan. Ia pernah duduk di Konstituante dan MPRS merancang Undang-Undang Negara Indonesia, sebelum kemudian disingkirkan oleh Soekarno. Setelah kekuatan politiknya sirna, Samsir menyusuri sunyi dari penjara ke penjara dan terakhir dibuang Soeharto ke Pulau Buru.

Samsir dibuang setelah pecah konflik politik di tahun 1965, yang acap disebut Gerakan 30 September (G 0 S). Ia dianggap berdosa lantaran aktivitasnya di dalam tubuh Barisan Tani Indonesia, sebuah organisasi yang berafiliansi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Saya tidak akan menuntut atas apa yang saya alami,” katanya lirih. “Saya terjun ke dalam pergolakan proklamasi dan ambil bagian mengangkat senjata melawan Belanda untuk sebuah Indonesia yang berdaulat seperti yang diamanatkan UUD 45 dan tidak berhasil. Kalau berhasil kan tidak begini Indonesia. Ini adalah konsekuensi dari proses yang dikelirukan oleh para pemimpin.” ***

Di lereng gunung Burangrang, utara kota Cimahi, Samsir tinggal. Keadaan sekeliling terlihat asri. Ada jalan setapak menuju rumahnya, sekira 500 meter dari jalan raya. “Saya ini homeless, kamu gak tahu ya? Sungai Cikapundung aja tau kalo saya homeless,” guraunya. Rumah itu milik seorang teman Samsir yang telah meninggal dunia. Ukurannya hampir sama dengan tipe 36 perumahan umum. Ventilasinya minim.

Sebuah kamar ukuran 2 x 3 meter didiami Samsir. Ada banyak buku di sana dan sebuah mesin tik manual di meja tuanya. Suara duet Dewi Yul dan Broery Pesolima mengisi ruangan itu. “Di sini airnya jernih ya, bung” kata saya, sekadar membuka percakapan.

“Iya, tapi harus beli,” jawabnya.

“Lho ini kan lereng gunung?”lanjut saya.

“Kamu lupa ya di negara mana kamu hidup. Padahal dalam undang-Undang Dasar, sudah jelas. Kau baca pasal 33. Makanya pelajari lah undang-undang 45 itu.”

Samsir adalah benih tunggal dari pasangan yang menikah karena tuntutan adat Bukit Tinggi. Ia lahir di Kampung Sungai Puar pada 30 Mei 1926. Ibunya bernama Sadian. Ayahnya bernama Muhammad. Pasangan ini menikah karena dijodohkan oleh orang tua. Samsir tidak pernah tahu apa pekerjaan ayahnya, sebab, ketika ia berumur 3 tahun, orang tuanya bercerai dan Samsir dibawa oleh sang ibu ke tanah Jawa. Sadian lantas menikah lagi dengan Beram Sutan Rumah Panjang, seorang antiekereij (ahli barang-barang antik).

Dialah sosok ayah yang Samsir kenal. Mereka tinggal di Bandung. Lalu pindah ke Jakarta, pindah lagi ke Bandung dan menetap hingga kini. Dari Beram, Sadian memiliki dua orang anak laki-laki dan perempuan bernama Muchlis dan Tuti. Muclis sangat mengidolakan Samsir. Kemana Samsir pergi, diam-diam Muchlis mengikutinya. Ia sangat ingin menjadi seperti kakaknya. Sedangkan Tuti cacat fisik dan mental sejak lahir. Kelak, ketika Samsir dibuang ke Pulau Buru, Muhclis sangat tertekan. Mentalnya kacau, sehingga ibunya terpaksa mengirimya ke Rumah sakit Jiwa di Cimahi. Samsir kecil mengenal pendidikan formal di Holands Indlansche School (HIS) di Bandung.

Sekolah tingkat dasar yang didirikan tahun 1914 oleh pemerintah kolonial untuk pribumi. Sekolah ini mengajarkan ilmu pengetahuan dan bahasa Belanda. Samsir sering pindah-pindah sekolah jika tak senang dengan gurunya. Ia tak melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya. Tapi pernah mendapat ajaran pesantren di Tasikmalaya.

“Saat itu, balatentara Jepang berhasil menaklukan pemerintah Belanda, dan berbuat lebih kejam kepada rakyat. Itulah sebabnya saya tidak mau disekolahkan di sekolah yang diadakan oleh Jepang.”

Samsir mulai mengendus politik ketika usianya 17 tahun. Ia sering bertandang ke pertemuan-pertemuan partai politik. Saat itu Soekarno sedang gencar-gencarnya melakukan penyadaran politik anti kolonial kepada pribumi melalui Partai Nasional Indonesia (PNI). Samsir diam-diam berada di antara orang-orang itu dan menyimak pidato-pidato Soekarno, seorang aktivis pergerakan yang kelak menjadi presiden pertama Republik Indonesia.

Keyakinannya melawan kolonialisme, diperkukuh oleh wejangan-wejangan sang ibu.

“Raja adil, raja disembah, raja lalim, raja disanggah,” demikian kata sang ibu yang dituturkan kembali oleh Samsir.

Kesadaran para pemuda untuk memerdekakan diri dari penjajahan saat itu sudah mengalir deras. Organisasi-organisasi pelajar seperti Baperpi (Badan Perwakilan Pelajar Indonesia) dan PPP (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) bersatu dan terbentuklah asrama Menteng 31 pada penghujung tahun 1942.

Para penggeraknya yakni Sukarni, Chaerul Saleh, A.M Hanafi, Ismail Wijaya, Soekarno, Moch.Hatta, Muhammad Yamin, Iwa Kusumasumantri, Amir Syarifudin dan Moch. Djembek. Dari pihak Jepang yang membantu adalah Prof. Beki H Shimizu. Mereka melakukan agitasi, memberi masyarakat pelajaran-pelajaran politik dan agama. Dari kawasan Menteng inilah sperma proklamasi mengkristal.

Meski hanya berumur satu tahun, namun gerakan ini banyak memberi perubahan dan penyadaran terhadap kaum muda. Samsir salah satu pemuda itu. Samsir gemar membaca buku. Saat itu peredaran buku di tanah air sangat bebas. Pemerintah kolonial tidak membatasi apalagi melarang peredaran buku-buku apapun. Sejak di sekolah dasar, murid-murid pribumi diwajibkan mengunjungi perpustakaan oleh guru-guru dari Belanda. Das Kapital karangan Karl Marx misalnya, Samsir temukan di musieum.

Banyak cara mendapatkan buku. Pekerjaan ayah yang seorang ahli barang antik itu, sangat menguntungkan Samsir. Sang ayah, biasa membeli perabotan orang-orang Belanda yang akan pulang ke negerinya setelah berpuluh-puluh tahun hidup di Indonesia. Nah, di antara barang-barang itu, buku termasuk barang yang dijual. Namun, Samsir tangkas mengamankan buku-buku itu sebelum dijual lagi oleh sang ayah. ***

Proklamasi tinggal menanti hari. Sejumlah tokoh pemuda merumuskan dan memandatkan pembacan proklamasi kepada Soekarno dan Hatta. Samsir pengangum dua tokoh ini. Bersama pemuda lainnya, ia terus mendesak proklamasi. Kepercayaan lalu berubah menjadi kekecewaan ketika Soekarno dan Hatta sebagai presiden Republik Indonesia dan wakilnya berkompromi dengan Belanda. Perjanjian itu disebut dengan perjanjian Linggarjati. Ditandatangani 1946, satu tahun setelah proklamasi kemerdekaan. Semua partai mendukung keputusan Soekarno dan Hatta termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI). “Dua tokoh itu pantas dihargai dan dihormati atas perjuangannya melawan kolonial. Tapi rupanya mereka tergelincir justru pada saat memegang kekuasan,” kata Samsir. Perjanjian ini dinilai menghianati proklamasi. Bagi Samsir, proklamasi bukan hanya memerdekaan Jawa, Madura dan Sumatera seperti yang disepakati dalam perjanjian Linggarjati. Proklamasi itu adalah kemerdekaan bangsa-bangsa yang dijajah oleh Belanda. Dari kekecewaan itu, lahirlah sebuah kelompok dimana Samsir bergabung. Kelompok itu awalnya bernama Laskar Rakyat Jakarta Raya. Lalu berganti nama menjadi Laskar Rakyat Jawa Barat yang berpusat di Cirebon. Chaerul Saleh yang nantinya menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) termasuk dalam kelompok ini. Kelompok ini mempublikasikan sebuah media yang terbit setiap minggu, bernama Godam Jelata. Salah satu artikel yang dimuatnya berjudul “Anti Linggarjati sampai Mati.”

Soekarno rupanya tidak senang. Mereka dijadikan target operasi penangkapan. Mereka tetap utuh menjadi kelompok yang menentang Linggarjati. Lari ke gunung dan hutan-hutan di Jawa Barat menghindari sergapan pasukan Soekarno. Ternyata Belanda ingkar terhadap perjanjian itu dengan melakukan agresi militer. Lagi-lagi Soekarno dan Hatta melakukan kompromi melalui perjanjian Renville. Berbeda dengan Linggarjati yang menimbulkan pro dan kontra, perjanjian Renville umumnya ditentang oleh rakyat Indonesia dan partai-partai politik. PNI dan partai Masyumi tegas menolak perjanjian itu.

Anti Renville memicu keras terbentuknya Negara Islam Indonesia di abwah kepemimpinan Kartosuwirjo, pentolan Masyumi. Januari 1948, lebih dari seratus orang perwakilan organisasi Islam yang ada di Jawa Barat mengadakan konferensi di Pangwedusan, Cisayong, Tasikmalaya. Mereka melihat kekosongan kekuasaan di wilayah itu. Kasman, komandan teritorial Sabilillah, mempertimbangkan kekutan besar antara blok Barat dan blok Timur.

Kasman mengusulkan pendirian Negara Islam. “Kalau mengikuti Rusia, kita akan digempur Amerika. Begitu pula sebaliknya. Karena itu kita harus mendirikan negara baru, yaitu negara Islam. Berdirinya negara Islam akan menyelamatkan negeri ini,”kata Kasman, sebagaimana dikutip Kholid O Santosa dalam bukunya Jejak-Jejak Sang Pejuang Pemberontak. Pemerintah RI yang berpusat di Yogyakarta, sudah semakin gawat. Belanda menudukkan kota itu hanya dalam waktu enam jam saja. Soekarno dan Hatta ditangkap lalu dibuang ke Bangka.

Agar terhindar dari kekosongan kekuasaan, Soekarno dan Hatta memberi perintah kepada Menteri Kemakmuran, Sjarifuddin Prawiranegara, untuk membentuk pemerintahan di Sumatera. Berdirilah kemudian Pemerintah Darurat Revolusi Indonesia (PDRI). Melihat kondisi kacau ini, Kartosoewirjo menyerukan perang suci melawan Belanda kepada seluruh umat Islam Indonesia.

Rakyat bangkit melawan Belanda, seperti yang terjadi di Jawa Barat. Mereka berkelompok di hutan hutan dan desa-desa. Seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API), Laskar Tanah Merah, Laskar Wanita Indonesia atau Laswi yang kini dijadikan nama sebuah jalan di kota Bandung. “Rakyat di Bandung, berbondong bondong mengungsi ke arah selatan kota. Mereka meninggalkan rumah dan harta bendanya karena tak sudi diam di tempat yang sudah dikuasai Belanda.”

“Itulah pengorbanan rakyat, yang tak pernah dihargai oleh para pemimpinnya. Siapa yang mengingat pengorbanan mereka?,” ujar Samsir. “Dan melupakan mereka adalah sebuah dosa.”

Di mana Samsir saat itu? Ia bergabung dengan TNI, dan diangkat menjadi kepala staf divisi Bambu Runcing. Ia bergerilya di pedalaman hutan Jawa Barat. Ketika lari ke Garut, Samsir bertemu dengan seorang gadis bernama Rosmiati yang kelak menjadi istrinya.

Pertemuan ini berawal dari penyamaran Samsir di rumah orang tua Rosmiati. Samsir berpura-pura menjadi pengungsi yang kehilangan orang tuanya. Samsir terpaksa berlindung di rumah warga, karena menderita demam tinggi. Saat itu, siapa saja yang ketahuan menyembunyikan anggota TNI, terancam dibunuh oleh serdadu Belanda. Samsir sekuat tenaga menyusun skenario, agar sandiwaranya berjalan mulus hingga badannya pulih dari demam. Tapi, sandiwara Samsir gagal sebelum usai.

Rosmiati menemukan dokumen-dokumen soal pengangkatan Samsir sebagai perwira TNI di bawah lipatan kasur tempat Samsir berbaring. “Sedang cari orang tua ya,” tanya Rosmiati kepada Samsir, menyindir. Samsir mengangguk gugup, sambil memastikan apa maksud pertanyaan gadis itu. Rosmiati memperlihatkan dokumen itu, tanpa perkataan lebih lanjut.

“Tolong jangan bocorkan hal kepada siapapun. Aku tak ingin keluargamu mendapat susah gara-gara keberadaanku.” Rosmiati hanya berlalu.

Tapi gadis itu benar-benar menjaganya. Kejadian itu awal dari berseminya kecambah-kecambah cinta di antara mereka. Pertemuan selanjutnya terjadi di Bandung, namun kedua orang tua mereka tak merestui hubungan itu. Diam-diam, mereka sering melakukan pertemuan.

Orang tua si perempuan mengetahui hubungan mereka. Rosmiati dipindahkan dari Univesitas Padjajaran ke Universitas Indonesia di Jakarta. Padahal Rosmiati harus menyelesaikan dua studi, hukum dan ekonomi. Ketika mengetahui Samsir juga dipindah tugaskan ke Jakarta, Rosmiati dipindahkan lagi ke Bandung. Delapan tahun menjalin hubungan rahasia, akhirnya pasangan ini bisa menikah atas restu orang tua.

“Kalau kau bersedia menikah denganku, kau harus siap miskin!,”kata Samsir kepada gadis itu.Lalu gadis itu menjawab, “Makan singkong juga hidup.” ***

“Aku maunya jadi TNI bukan tentara RIS,” kata Samsir kepada Chaerul Saleh. Ketika itu pasukan TNI disarankan bergabung dengan tentara RIS atau Republik Indonesia Serikat. Dalam Konferensi Meja Bundar, pihak Indonesia menyepakati pembentukan RIS.

Samsir menanggalkan semua lencana TNI demi pendiriannya yang tak sudi mengakui negara RIS. Sedangkan teman-temannya bergabung dengan tentara RIS. Samsir manfaatkan masa vakum dalam pemerintahan untuk mengorganisasikan kaum tani. Ia mendirikan Sarikat Tani Indonesia atau Sakti, bersama Burhan, Sidiq Kertapati, Soedjono, Sasongko dan Abdul Salam. Markasnya di Cisarua.

Awalnya organisasi ini bersebrangan dengan Barisan Tani Indonesia atau BTI, sebuah organisasi yang berafiliansi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). BTI mempunyai tujuan nasionalisasi tanah, sedangkan Sakti tujuannya mengadakan tanah untuk kaum tani. Namun, belakangan BTI mengubah haluan organisasinya dengan apa yang diperjuangkan oleh Sakti. Keputusan ini setelah pemimpin PKI, D.N Aidit mengeluarkan pernyataan yang berjudul Hari Depan Gerakan Tani. Kedua oraganisasi ini melebur dalam satu bendera BTI.

Ada pengalaman menarik. Waktu itu tahun 1962. Samsir mendapat undangan dari organisasi tani Kuba untuk hadir pada sebuah pertemuan. Samsir sudah menjabat sebagai Sekretaris umum BTI. Dari Jakarta pesawat membawa Samsir ke Praha. Di sana ia harus menunggu pesawat yang terbang ke Havana.

Samsir tak pegang uang satu dolar pun. Ketika tiba di Havana, ia diboyong ke hotel Leviera, sebuah hotel yang berdiri di tepi pantai. Tak tahan ingin merokok, ia memungut puntung dari tong sampah yang biasanya berdiri depan lift. Malam kedua, seseorang mengejutkannya pada tengah malam buta.

“Che bisa bertemu malam ini,” ujar panitia itu dalam bahasa Inggris.

Saat itu Che Guevara menjabat sebagai menteri pembangunan. Samsir dan semua peserta pertemuan, bergegas menuju gedung yang disiapkan untuk pertemuan. Dari arah pintu aula yang membelakangi forum, Che muncul dengan baju militer dan pistol di pinggangnya. Sehelai handuk kecil sengaja dilipat di pundaknya.

“Dia memang gagah sekali. Sebelum menyapa kami, dia mencuci mukanya di westafel di samping pintu,” kata Samsir mengenang.

“Selamat pagi,” sapa Che.

“Revolusi Kuba adalah revolusi rakyat,” kata-kata pertama Che di depan forum dalam bahasa Spanyol. Samsir mengisahkannya kembali.

“Ketika masih bertempur dengan Batista, apa yang paling diperlukan?” tanya Samsir kepada Che dalam bahasa Spanyol campur Inggris.

Che terbahak dan menjawab singkat dalam bahasa Spanyol. “Sapatos,” katanya.

Dalam bahasa Indonesia berarti sepatu.

“Meski pegang senjata, tanpa bersepatu kakimu akan tertusuk pohon tebu dan tidak akan bisa menembak,” ujar Che. Samsir tertawa mengenangnya.

“Saya kira jawabannya sesuatu yang bersifat ideologis, eh ternyata sepatu.”

Kuba adalah daerah monokultur. Sebagian besar lahan perkebunannya ditanami tebu. Samsir bertanya lagi. “Kenapa di Kuba orang bebas pegang senjata. Apakah tidak khawatir timbul kerusuhan?” “Kekhawatiran itu hanya ada di kepala borjuis,” jawab Che.

“Jika hanya tentara yang memegang senjata, maka jika tentara besar kepala, rakyat tak bisa apa-apa. Tapi jika rakyat pegang senjata, rakyat akan mengecilkan kepala tentara yang besar kepala.”

Saat berpisah, Che membagi-bagikan cerutu kepada semua peserta pertemuan dan berkata: “Teman-teman, rakyat akan menang.”

Samsir sangat senang menerima cerutu itu, apalagi sudah beberapa hari tak merokok. Sebelum ke Kuba, Samsir hadir dalam konferensi perdamaian Asi Pasifik di Tiongkok. Di sana Mao Tze Tung berkata kepada Samsir bahwa tani itu sangat penting. Lalu Samsir diundang dalam perayaan revolusi Oktober di Moskow. Stalin menjadi bintang dalam perayaan itu. Masa itu, PKI sedang berjaya di bawah pimpinan Aidit. PKI menjadi partai komunis terbesar di dunia setelah Partai Komunis Tiongkok dan Partai Komusnis Uni Soviet.

BTI sebagai salah satu organisasi di bawah naungan PKI, memegang peranan penting dalam soal pengaturan kepemilikan tanah dan pertanian. Mewakili BTI, Samsir duduk di Konstituante, lembaga yang bertujuan merumuskan Undang-Undang Negara Indonesia.

Ia ditunjuk sebagai salah satu perumus Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA. Ada 11 orang dalam tim ini yang mewakili organisasi tani plus perwakilan dari Departemen Agraria.

“Rujukan UUPA adalah UUD 1945 pasal 33, di mana amat jelas bahwa negara itu bukan pemilik tanah dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, tapi negara menguasai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar Samsir.

Dalam undang-undang itu batas kepemilikan tanah sawah lima hektar. Lebih dari itu kelebihannya diambil oleh negara dan dibagikan kepada petani miskin. Sosialisasi undang-undang ini disusul dengan pembentukan pengadilan Land Reform di setiap daerah.

“Aku juga bodoh, ketika undang-undang itu dibuat, tidak berpikir bagaimana dan siapa yang akan menjalankan.”

“Karena kalau melimpahkan tugas itu kepada pemerintah daerah, sama saja bohong. Pemerintah derah kebanyakan adalah para pemilik tanah. Tentu mereka tak ingin kehilangan tanahnya.” “Baru kepikiran sekarang,” katanya. ***

Ketika pagi merenggut malam 30 September 1965, Samsir menjenguk mertua di Bandung. Ia tak tahu kejadian semalam. Kota tiba-tiba senyap. Hujan turun dengan lembut. Tentara mondar-mandir tak karuan. Dari suara radio yang merana berkumandang pidato. Kabinet didemisionerkan, lalu berita tentang pembentukan dewan revolusi. Samsir mencari-cari tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Ia tandangi gedung MPRS yang dulu bermarkas di Gedung Merdeka, Bandung. Lalu markas BTI di Jalan Pasirkaliki. Tapi jawabannya sama. Kosong. Saat-saat mengerikan telah terjadi. Beberapa jenderal terbunuh, yang kemudian disusul oleh pembersihan terhadap eksponen PKI. Sampai saat ini belum diketahui pasti siapa sesungguhnya aktor dibalik pembunuhan para jendral di malam 30 September itu. Soeharto menyeting isu bahwa PKI lah yang bersalah.

Satu bulan berikutnya. Di sebuah rumah teman ketika percakapan baru saja dimulai dan cangkir kopi belum mendingin. Segerombol tentara mendobrak pintu. Samsir tak bisa meloloskan diri.

“Dasar komunis. Komunis. Pembunuh. Penghianat. Tukang congkel mata orang.” kata-kata itu serta merta mengiringi siksaan demi siksaan.

“Bagaimana bisa terjadi? PKI itu kan massanya banyak. Uangnya juga banyak. Kok bisa habis? Pasti ada yang salah,” kata Samsir.

Kedua matanya membulat. Penjara riuh saat Samsir mengerang sakit di sudut kamar bertelali. Luka lebam di sekujur tubuhnya, membuatnya roboh, ambruk, tak berdaya. Tiga lapis gelondongan karet timbaan menghantam tubuhnya bertubi-tubi. Samsir dipenjara di markas Kepolisian Daerah Jawa Barat di Bandung. Ia ditempatkan secara khusus terpisah dari narapidana lainnya. Tapi pada saat bergulat dengan maut, gara-gara disiksa itu, Bandi seorang napi pencuri, memboyong Samsir ke kamar mandi lalu ditenggelamkan beberapa kali ke dalam sebuah bak besar.

“Entahlah, justru setelah ditenggelamkan itu, badanku terasa lebih bugar,”kenang Samsir. Mulutnya menggernyit .

Setelah beberapa bulan, ia dipindah ke Kebon Waru, lalu ke Nusakambangan dan terakhir diasingkan ke Pulau Buru. Samsir meninggalkan orang tua, adik, istri dan seorang anak perempuan yang masih balita. Anak itu tak sempat mengenali Samsir, karena ketika ia lahir, Samsir sudah dipenjara. Rosmiati merawat putrinya dengan baik. Ibu dan anak ini menyewa sebuah rumah kecil di gang sempit di Jakarta. Setiap hari Rosmiati bekerja menjadi penerjemah di kantor berita Rusia di Jakarta.

Beberapa tahun kemudian ia menjadi jurnalis di kantor berita yang sama. Profesinya ini memungkinkan Rosmiati berupaya mencari tahu tentang nasib suami dan ribuan tapol lainnya. “Saya pernah dibawa mama ke Kebon Waru, tapi mama gak bilang kalau papa dipenjara,” kata Dian Sari intanti, putri Samsir yang kini berusia 42 tahun. ***

Awal tahun 1979. Pertemuan yang mengharukan. Seorang gadis berlari dari samping ibunya. Loncat dan merangkul sang ayah yang asing. Ribuan tahanan politik dipulangkan dari Pulau Buru. Dian Intanti sudah tumbuh remaja. Sudah pasti, rumor mengenai sang ayah sudah mampir ditelinganya. Entah baik. Entah buruk. “Papa itu orangnya asik, gak kolot. Tapi saya tak kenal sosok papa. Kaget, tiba-tiba ada orang di rumah selain mama dan saya yang berlama-lama.” Setelah pertemuan itu, sikapnya berubah. Ia membuka jarak. Tapi Samsir tak berusaha menjelaskan apapun. “Suatu kesadaran yang diterima dari orang lain, akan berbeda dengan kesadaran yang timbul dari diri sendiri,” katanya. Tapi Samsir punya tekad kuat. Ia ingin membahagiakan istri, anak dan orang tua.

“Saya berikrar lima tahun saja kesempatan membahagiakan mereka. Selama ini saya ini gak pernah ngasih uang.”

Ini bentuk kompromi bagi Samsir.

Bagi para mantan tapol, belum ada kebebasan yang sesungguhnya. Mereka dibatasi dalam berbagai hal. Pekerjaan, aktivitas, semuanya harus serba lapor. Sampai suatu ketika Samsir bertemu dengan seorang kawan lama bernama Isman. Dia adalah salah satu pendiri organisasi kepemudaan, Kosgoro. Isaman memberi kepercayaan kepada Samsir untuk mengelola percetakan. Mula-mula percetakan itu kecil, hanya mengerjakan beberapa order. Tapi Samsir terus belajar dan bekerja keras. Ia yang membersihkan mesin-mesin dekil dan tua. Menurut Samsir tugas seorang manager adalah bukan profit making, tapi sebaliknya. Perusahaan harus menguntungkan orang lain. Sehingga perusahaan dibutuhkan oleh orang lain atau konsumen. Prinsip itu membawa Samsir pada keuntungan melimpah. Hanya dalam beberapa tahun saja penghasilannya mencapai 26 juta. Kemampuan berbisnis banyak disukai orang. tender-tender besar diraih. Perusahaan-perusahaan lain meminang Samsir sebagai direkturnya.

“Dari pengalaman ini, saya berpikir bahwa tidak ada manusia satu pun di dunia ini yang mampu melihat dirinya sendiri. Kita membutuhkan cermin, dan Isman adalah cermin bagi aku.”

Sesuai janji, ia membelikan sebuah rumah untuk ibu dan istri. Selera dan ukuran diserahkan kepada masing-masing. Istrinya memilih rumah di Tegalega-Bandung. Luas tanahnya 4.500 m2. Terdapat air terjun buatan di belakang rumah, yang disekat dengan dinding kaca dari ruang makan. Furniturnya terbuat dari kayu Jepara, sesuai dengan selera sang istri. Sebuah ruangan disediakan khusus untuk menyimpan koleksi lukisan dan patung. Kehidupan Samsir benar-benar mewah. Batik keris, parfum, mobil, kian akrab dengan anak dan istrinya. “Orang-orang eks PKI bilang aku ini borjuis,” kenang Samsir. Lima tahun target Samsir sudah tercapai. Tak ada alasan lagi terus-terusan mengeruk uang. Tahun 1985, Samsir mundur dari jabatan direktur perusahaan. Berhenti dari kehidupan elit. Semuanya ia tanggalkan, gaya hidup mewah, jabatan dan gaji. Ia hanya mempersiapkan deposito secukupnya. Sedangkan istrinya masih setia pada dunia bahasa.

Ketidaksukaan putrinya menjadi-jadi setelah mengetahui Samsir berhenti jadi direktur.

“Papa bodoh,” katanya.

Sepuluh tahun kemudian, Samsir dan istri sepakat menjual rumah mewah itu, setelah putrinya beranjak ke Universitas Indonesia. Harganya 200 juta, sebagian diberikan kepada anaknya, sebagian lagi dibelikan rumah mungil di Cimahi. Tak lama dari itu, pada 1996, istri tercinta meninggal dunia. Satu persatu keluarganya meninggal. Rumah terakhirnya pun dijual. Tinggalah putri satu-satunya. Ada tiga cucu, buah putrinya dengan seorang pilot. Mereka hidup di Jakarta, sementara Samsir menghabiskan masa tuanya di Lereng Burangrang, di sebuah rumah kawan lama.

Kenapa memilih miskin?
Because I love people and my country,”air matanya berderai.
Sumber: www.mulyanihasan.wordpress.com
disadur dari www.mediabersama.com

Mengenal sekilas Mereka yang ada di Kiri Jalan

Sepanjang pengetahuanku, orangtuaku tidak pernah ikut gerakan kiri di masa muda mereka. Sepanjang pengetahuanku, tidak ada paman dan bibi langsung yang pernah ikut gerakan kiri di masa muda mereka. Tolong dicatat, paman dan bibi langsung. Maklum, sebagai seorang batak, hubungan perkerabatan bisa menjadi sangat luas, karena itu, aku merasa perlu membatasi hubungan perkerabatan. Kalau ada kerabat jauh yang terlibat gerakan kiri, bisa saja ditemukan. Sepanjang pengetahuanku, orangtuaku tidak pernah ikut gerakan kiri di masa muda mereka. Sepanjang pengetahuanku, tidak ada paman dan bibi langsung yang pernah ikut gerakan kiri di masa muda mereka. Tolong dicatat, paman dan bibi langsung. Maklum, sebagai seorang batak, hubungan perkerabatan bisa menjadi sangat luas, karena itu, aku merasa perlu membatasi hubungan perkerabatan. Kalau ada kerabat jauh yang terlibat gerakan kiri, bisa saja ditemukan. Walaupun, untuk itu aku ragu. Hal-hal semacam ini umum disembunyikan rapat-rapat dari pihak luar.

Ketika itu memang bisa dirahasiakan.

Kesulitan selalu menghadang bukan saja orang yang langsung terlibat dalam Partat Komunis Indonesia (PKI), tetapi garis keturunan orang PKI. Tidak ada kehidupan mapan, yang ada kerja paksa. Tidak ada hidup tenang di hari tua, bayangan buruk masa lalu selalu menghantui. Tidak ada promosi jabatan, bahkan memperoleh pekerjaan layakpun sulit.

Bahaya laten komunis. Tiga kata yang menjadi slogan untuk menjauhi komunisme. Jawaban untuk pertanyaan mengapa harus dijauhi. Tanpa ada jawaban bagi pertanyaan apa itu komunisme.

Pembunuh. Biadab. Ateis. Tiga kata identik dengan komunis. Setidaknya, bagi aku.

Film itu selalu ditayangkan setiap tanggal 30 September. Film yang bercerita tentang peristiwa di tahun 1965. Pembunuhan para jenderal. Aku tidak pernah menonton. Resume yang harus dibuat untuk keperluan sekolah, tidak pernah aku kumpulkan. Aku hanya tidak suka melihat film yang begitu semangat menceritakan pembunuhan yang digambarkan begitu sadis. Darah di layar kaca, jelas menjadi sesuatu yang selalu aku hindari.

Perjalanan ke museum Lubang Buaya, adalah ingatan yang samar. Aku bahkan tidak ingat, kapan itu dilakukan. Maklum, aku hanya berdiri di luar bangunan. Diam. Bosan. Kesal. Aku sempat mengintip sedikit isi museum. Cukup sekerlingan mata, aku tahu, aku akan segera pusing kepala dan mual. Aku memutuskan untuk diam di satu tempat. Melupakan tugas dari guru, dan tidak perduli dengan nilai yang akan aku peroleh dari kunjungan tersebut. Darah di dalam sebuah fotopun, cukup menjadi alasan untuk pergi.

Buku PSPB – Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa, penuh dengan coretan spidol hitam. Foto-foto peristiwa 30 September yang ditutup. Lagi-lagi, aku memilih memperoleh nilai jelek karena tidak bisa membaca tulisan yang tertera di balik foto-foto itu, ketimbang harus tanpa sengaja memandangi foto yang membuat aku terpaksa ke WC sekolah karena mual. Itupun, tetap membuat aku tahu, komunisme harus dijauhkan. Hati-hati. Bahaya laten komunis.

Siang itu, aku diperkenalkan dengan teman-teman sekelasku. Nadya Nikolaeva, Rusia. Pawel Zimnicki, Polandia. Norbert Pretnicki, Polandia. Joseph Durbak, Slovakia. Dessilava Kirril, Bulgaria. Anna-Maria, Romania. Jolita Piliutyte, Lithuania. Felix Alvaradosotolongo, Kuba.

Bekas negara komunis, kecuali Kuba tentu saja. Tidak percaya Tuhan, pikiranku selanjutnya.

Nadya Nikolaeva, setia merayakan Natal Katolik Ortodox yang jatuh pada bulan Januari. Walaupun tidak rutin, sesekali ia pergi ke gereja Rusia di Rotterdam. Sekali dua, dia bahkan ikut acara persekutuan yang diadakan komunitas kristen di Erasmus University.

Pawel Zimnicki, sangat bangga dengan Paus Yohanes Paulus II. Masih aku ingat kegusarannya,”you don’t know that The Pope is Polish?” Waktu itu tahun 2000. Paus Yohanes Paulus II masih hidup. Ada gereja khusus untuk Pawel di Rotterdam. Ibadah dilakukan dalam Bahasa Polandia. Kalau aku temani, Pawel akan selalu ke gereja itu setiap hari Minggu.

“Ah, you believe in God?” tanyaku setengah tidak percaya. Kalimat yang membuat mereka menyengertkan dahi. Beberapa tersenyum. Satu dua orang menjadi gusar.

“I’m atheist,” Jolita menatapku. Waktu itu, kami tengah membersihkan dapur. Aku diam. Tidak tahu mau berkata apa. Kemudian aku tahu, Jolita hanya tidak menyukai ritual dan pemujaan terhadap agama. Jolita percaya Tuhan ada.

Hanya saja, tidak ada dari mereka yang mau kembali ke jaman komunis. Itu yang mereka katakan. Ekonomi bebas, menjadi dambaan.

Nadya bilang, ”eventhough I am an economist by education, I don’t understand this class at all.” Itu pengakuan yang dibuat pada saat kami harus mengambil kelas pengantar ekonomi perkotaan. Nadya dan Dodo, dua ekonom tersebut, belajar tentang ekonomi tertutup sampai saat mereka berada di kelas itu.

Ekonomi terbuka dan ekonomi tertutup.

Lebih dari 3 sks aku habiskan untuk belajar ekonomi di universitas. Tidak pernah aku tahu tentang ekonomi tertutup. Tanyakan padaku siapa itu Adam Smith, Keynes. Silahkan berdiskusi tentang equilibrium atau laissez-faire si tangan tak terlihat. Aku akan menjawab dan berdiskusi dengan senang.

Aku tidak tahu apa-apa tentang ekonomi tertutup.

Marx, aku ketahui sebagai sebuah nama. Itupun sangat negatif. Sebisa mungkin, tidak usah disebutkan.

Neoliberalisme. Sebuah istilah baru yang berkali-kali aku dengar di medio 2004. Aku tidak mengerti, kenapa begitu sulit bekerja sama dengan beberapa kelompok di Nusa Tenggara Barat. Sadikin bilang tulisan World Bank di halaman terakhir dokumen menjadi penyebab. World Bank itu agen neoliberalisme. Ah, apa pula itu?

Neoliberalisme, kapitalis, sosialis, borjuis, aktivis, kelas menengah.

14 Desember 2006. Sebuah telepon membuat aku keluar dari ruangan perayaan Natal. “DISKUSI FILSAFAT SOSIAL DAN EKONOMI POLITIK, Gerakan Marxist Internasional Kontemporer, Perkembangan dan Masa Depan Gerakan Marxist di Dunia, dan Sekilas Tantang Organisasi dan Gerakan Buruh di Kanada” dibubarkan oleh sekelompok orang yang menamakan diri Permak, hanya sekitar 10 menit setelah diskusi dimulai.

Aku tidak terlalu kaget, dan tidak panik, tetapi jelas bukan karena berharap itu terjadi, tetapi karena berbagai panggilan yang muncul di hari-hari menjelang tanggal tersebut.

Empat hari sebelum diskusi. Bilven dan Sadikin ditelepon oleh pihak Intel Kapolwiltabes Bandung. Mereka ditanya tentang diskusi yang akan diselenggarakan tanggal 14 Desember 2006. Sejak itu, berbagai telepon gelap masuk. Pertanyaan tidak jauh berbeda dengan pihak Intel Kapolwiltabes. Padahal, hari itu tanggal 10 Desember 2006 dan publikasi diskusi baru dilakukan 2 hari kemudian, tepatnya Selasa, 12 Desember.

Tiga hari sebelum diskusi. Pihak Intel Polwiltabes Bandung pada hari Senin, 11 Desember 2006 (2 orang) mendatangi Ultimus. Izin kegiatan ditanyakan. Panitia segera memasukan surat pemberitahuan. Dialamatkan kepada Kapolwiltabes Bandung. Ini, bentuk antisipasi.

Dua hari sebelum diskusi. Tamu yang sama. Intel Polwiltabes Bandung. Kunjungan ke tempat yang sama. Toko Buku Ultimus yang terletak di Jl. Lengkong No. 127 Bandung. Kali ini, urusannya berbeda. Kali ini, mereka mengaku dari bagian “Urusan Imigrasi”. Status Marhaen Supratman, pembicara di diskusi tersebut dipertanyakan. Hari itu juga, Ultimus kedatangan banyak tamu. Berbeda dari tamu biasa. Orang-orang bertubuh tegap, separuh baya. Kedatangan mereka mencari buku-buku kiri.

Satu hari menjelang diskusi. Intel Polwiltabes Bandung tidak bosen menyambangi Ultimus. Bukan pertanyaan tetapi permintaan. Sadikin, ketua panitia diminta menemui Waka Intel Polwiltabes Bandung. Ditunggu pagi itu. Pukul 10.00 WIB. Tujuan permintaan untuk memperoleh informasi terkait dengan diskusi tanggal 14 Desembre 2006. Tanpa surat resmi, permintaan tersebut tidak dikabulkan.

Perayaan Natal di Sabuga malam itu jelas tidak bisa aku nikmati, karena harus bolak balik keluar ruangan dengan charger ditangan untuk terus menerus menelepon atau ditelepon. Sadikin dan Marhaen sudah ditangkap, diborgol oleh ormas tertentu dan dibawa ke polwiltabes. Suasana kacau. Lebih malam, lebih banyak lagi orang yang diketahui juga ditangkap.

Diskusi baru saja berlangsung 10 menit. Masih ada banyak orang yang dalam perjalanan ke Ultimus untuk ikut acara tersebut. Mereka hanya menemukan police-line di lokasi kejadian. Beberapa orang malah sudah memperoleh informasi tentang pembubaran tersebut dan mengurungkan niat datang ke Ultimus.

Mengapa ke-11 orang tersebut ditangkap. Polisi mengatakan:
  • Kegiatan tersebut tidak ada ijin
  • NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia
  • Keamanan. Dan untuk alasan keamanan, pihak kepolisian berhak melakukan apapun. Dan bahwa kegiatan ini merupakan tindakan preventif yang sudah dikoordinasikan
  • Karena ada sekelompok orang yang tidak menyukai kegiatan tersebut
Kiri. Sebuah kata yang begitu dahsyat. Lebih dahsyat dari sebuah bom yang dirakit khusus dengan perencanaan matang. Cukup sebuah kata, komunisme, dan semua orang akan ketakutan. Jangankan kata komunis, segala sesuatu yang berbau Marx, sosialis, dan apapun yang bersifat kiri menjadi sesuatu yang menakutkan.

Sebuah ajaran telah begitu kuat melekat, untuk menjadi takut karena sebuah kata tersebut. Tanpa harus mengetahui lebih lanjut tentang itu semua, kita diajar untuk takut. Tidak usah banyak tanya, jauhilah segala sesuatu yang bersifat kiri.

Banyak hal bisa membuat kita masuk penjara. Melanggar lampu lalu lintas (walaupun ada 1001 cara lain untuk memastikan penjara adalah sesuatu yang sangat jauh ketika itu terjadi), mencuri barang milik orang lain (walaupun juga ada 1001 cara untuk memastikan hal itu tidak diketahui, atau hal itu adalah sah), bahkan membunuh orang. Hanya saja, tahukah kamu, bahwa belajar bisa membuat seseorang masuk ke penjara.

Kiri, sebuah ungkapan yang hanya bisa diterima dengan tenang dan diucapkan dengan bebas, ketika kamu mengucapkannya kepada supir angkot, memintanya untuk menepi dan menurunkanmu.

Sore itu, aku bertemu Sadikin dan Bilven. Kami berbicara di sebuah toko lama di bilangan Braga. Berteman kopi Aroma, kopi favorit kami. Bilven, bukan saja identik dengan Ultimus tetapi juga dengan kopi.

Perkenalan kami terjadi di pertengahan 2004. Aku sebagai pengunjung Ultimus. Bilven selalu ada di belakang kasir. Menjawab pertanyaan. Meladeni permintaan. Bilven adalah orang yang aku hubungi ketika aku memerlukan buku. Lewat sms, aku bertanya. Tidak lebih. Sampai pertengahan tahun 2006, itulah model pertemananku dengannya. Membaca Bumi Manusia, Komunitas Imajiner, Revolusi Rakyat dan Madilog di akhir tahun 2000. Buku yang tidak ada hubungan dengan kuliah Bilven di jurusan teknik. Bilven bilang, ”aku merasa otak ktia dipaksa jadi mesin/robot, lupa kalo itu manusia.” Tidak banyak bicara, murah senyum. Batak satu ini halus tutur katanya. Mudah terlupakan karena postur tubuhnya. Barangkali, itu yang membuat ia lolos malam itu.

Pam, aku kenal di sebuah toko buku di bilangan Dago. Tatonya banyak. “Dia suka bikin tato,” kata Sadikin. Tapi, sudah lama tidak praktik. Karena itu, ia menolak membuat tato untukku. Ia menyarankan orang lain untuk melakukannya. Satu dua kali, aku melihatnya di bioskop. Tinggi besar, membuat ia mudah dikenali. Tidak heran, kalau malam itu, dia juga mudah dikenali polisi.

Marhaen Supratman. Masih sangat muda. Jauh lebih muda dari yang aku bayangkan. Siang itu, beberapa jam sebelum diskusi, aku diperkenalkan. Mahasiswa, ciri yang begitu melekat di sekujur tubuhnya. Ia berdiskusi dengan Sadikin. Keduanya juga untuk pertama kali baru bertemu. Kedai kopi langganan kami menjadi pilihan. The Iron Heel karangan Jack London menjadi salah satu yang paling berpengaruh selain My Life oleh Leon Trotsky. The Iron Heel, sebuah novel fiksi ditulis tahun 1907. Bercerita tentang gerakan revolusi di Amerika dan kebangkitan fasisme akibat kegagalan revolusi. Menurut Marhaen, itu sebuah fiksi bagus. Peran utama fiksi banyak berdebat mengenai sosialisme dan marxisme dalam bahasa yang mudah dimengerti.

Sadikin, peneliti Akatiga. Sepak terjangnya di Rumah Kiri membuat lembaga tempat ia bekerja ketar ketir. Anak tunggal dari seorang bapak yang memutuskan mengambil pensiun dini dari Pindad dan ibu seorang guru SD. Sadikin lama bergelut di divisi agraria. Tahun lalu, ia memutuskan untuk bekerja sebagai bagian dari informasi, publikasi dan dokumentasi di Akatiga, melepas status peneliti. Ia, berusia paling tua dari 3 orang lainnya. Kelahiran taun 1970. Justru melihat marxis lewat Balada Si Roy. Fiksi yang dibuat Gola Gong. Si Roy selalu bercerita tentang orang miskin, ketimpangan, pelacur dan pengalaman hidup sehari-hari. Menurut Sadikin, ”Marxisme itu makanya lebih ditempatkan sebagai alat analisis, bukan tuhan yang disembah.”

Setelah 14 Desember, banyak hal berubah. Bagi seorang Bilven, Pam, Marhaen dan Sadikin. Tapi tidak mengubah pendirian mereka untuk tetap berdiri di sayap kiri.
----Sabtu, 07 Juli 2007 13:21 Mellyana Frederika - www.mediabersama.com-----
 
Template by : Boedy Template | copyright@2011 | Design by : Boedy Acoy