Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50 meter dari rumah saya dan melihat
seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. "Yah, beras
sudah habis loh..." ujar isterinya. Suaminya hanya
tersenyum dan bersiap melangkah, namun langkahnya terhenti oleh panggilan
anaknya dari dalam rumah, "Ayah..., besok Agus harus bayar uang praktek".
"Iya..." jawab sang Ayah. Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi bagi
lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.
Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam, "besok beliin
lengkeng ya" dan saya hanya menjawabnya dengan "Insya Allah" sambil
berharap anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak
berjinjing buah kesukaannya itu.
Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar, "jangan lupa, pulang beliin
susu Nadia ya". Kontan saja SMS itu membuat teman saya bingung dan sedikit
berkelakar, "ini, anak siapa minta susunya ke siapa".
Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke nomor
sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang bersemayam. Kalau tersedia cukup
uang di kantong, tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya?
Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap
langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang
sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak
bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan
listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan
segunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun.
Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum,
meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat, "Iya, nanti semua Ayah
bereskan" meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari
jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.
Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah sambil
menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan
gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam
penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya, karena susu yang
dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli.
Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan
sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat
curang di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya tak pernah tahu
dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah?
Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu.
Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan
Ayahnya, hingga larut yang ditunggu tak juga kembali. Sementara jauh
disana, lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu itu telah babak
belur tak berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa nafas terakhir
setelah dihajar
Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi segenggam gundah yang
mesti ia tuntaskan.
Sungguh, diantara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan
sebagian Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, membawanya
kembali ke rumah, menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam
setiap sujud panjangnya di pertengahan malam, hingga membawanya kembali
bersama pagi. Berharap ada rezeki yang Allah berikan hari itu, agar tuntas
satu persatu gundah yang masih ia genggam. Ayah yang ini, masih percaya
bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat
gundah-gundah yang tak pernah usai.
Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus
menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan
gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau
berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak
dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar
setelah tertangkap basah mencopet.
Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap menggenggam gundah saya dengan senyum.
Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan
melangkah di balik semua keluh dan gundahnya. Semoga.
Rabu, 30 Januari 2008
Ayah (Calon Ayah ding)
Senin, 28 Januari 2008
ODE to SOEHARTO
Ku tundukkan kepalaku
Kepada engkau yang mendahului kami
Kepada engkau yang meninggalkan kenangan-kenangan
Meninggalkan persoalan-persoalan
Ku tundukkan kepalaku
Kepada engkau yang telah mendahului kami
Yang telah membuat kami tegar
Yang telah membuat kami kuat
Yang telah membuat kami berani
Yang telah membuat kami resistan
Tegar akan segala cobaan hidup yang kau buat
Tegar akan segala macam kesusahan hidup yang kau buat
Tegar akan berbagai masalah yang kau buat
Terhadap negeri ini
Kuat akan segala tekanan yang dibuat kau dan kawan-kawanmu
Kuat akan segala tekanan yang dibuat orang-orangmu
Kuat akan segala ancaman dan intimidasi
Dari para pembantumu
Berani untuk berkata lantang
Berani untuk menyuarakan keadilan
Berani untuk melawan
Berani bergerak
Demi kebenaran
Resistan dari pukulan aparatmu
Resistan dari tendangan sepatumu
Resistan terhadap moncong senapanmu
Resistan untuk sengsara
Terima kasih untukmu yang telah berjasa
Kepada kami
Kepada rakyat
Kepada negeri
Semoga segala amal perbuatanmu mendapat balasan yang setimpal
Semoga segala amal perbuatanmu di ampuni Nya
Semoga di terima di sisiNya
Amin..amin..
Yaa robbal aalamiin
(Makassar, 28 Jan '08; 15;30)
Jumat, 25 Januari 2008
Mengenang Widji Tukul
...........................
Seumpama bunga, Kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga, Kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga, Kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika Kami bunga, Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu telah Kami sebar biji-biji
Suatu saat Kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan : Engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami, Dimanapun
TIRANI HARUS TUMBANG (Wiji Thukul, 1987)
Seorang sahabat, Wiji Thukul
Oleh Linda Christanty
15.34, Selasa, 23 Juni 1998
MARCEL tidak kembali juga. Dia seperti serpihan dari
pesawat luar angkasa yang meledak di ruang hampa,
lepas dari jangkauan grafitasi bumi. Hilang. Begitu
pula, Sadeli. Kata H, menurut Mulya Loebis, Sadeli
mungkin sudah dieksekusi. Jati dan Reza sudah kembali.
Nezar, Aan, dan Mugi bebas bersyarat. Kata beberapa
kawan, Marcel disembunyikan para pastor di Filipina.
Tapi, aku tidak percaya. Menurut kawan-kawan, dia
hilang di Tangerang (setelah bertemu A). Aku pernah
sekali melihat ibunya muncul di televisi. Sepasang
mata perempuan itu redup berair. Bagaimana ia bisa
memahat sepasang mata yang selalu bersinar dan
terus-terang pada wajah putranya? N sempat bercerita
tentang 103 mayat korban penembakan serta penganiayaan
yang mengambang di Kali Bekasi, beberapa waktu setelah
kasus penembakan 12 mahasiswa Trisakti. Berita ini
ditayangkan Horison. Apakah mereka berdua ada di
antara mayat-mayat itu?
Marcel adalah nama lain untuk Bimo Petrus Anugerah,
sedang Sadeli adalah nama alias untuk Herman
Hendrawan. Keduanya tercatat sebagai aktivis Partai
Rakyat Demokratik yang hilang di masa pemerintah
Soeharto. Catatan harian ini ditulis sebulan setelah
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai
presiden dan meninggalkan sejarah kekerasan yang
panjang selama periode kekuasaannya. Setelah evakuasi
berkali-kali dalam keadaan yang tak menentu, juga
membakar berkas-berkas maupun dokumen demi menjaga
kerahasiaan gerakan waktu itu, ganjil rasanya
menemukan catatan semacam ini di tumpukan buku di masa
tenang.
Ada sebelas kawan saya yang diculik militer di masa
Soeharto. Empat orang tidak kembali dan seorang
ditemukan sudah menjadi mayat di jalanan. Tapi,
anehnya, catatan itu menunjukkan bahwa saya maupun
kawan lain tak pernah membicarakan Wiji Thukul sebagai
orang keempat. Kami tak menganggapnya sebagai kawan
yang mengalami penghilangan paksa, tak pernah menaruh
curiga ia turut menjadi korban. Saya -dan mungkin
banyak teman- mengira ia tengah bersembunyi di Solo
atau berada di suatu tempat, tapi situasi politik
waktu itu membuat kawan yang melindunginya
merahasiakan keber-adaannya dari yang lain. Ini juga
hal biasa dalam partai. Tak semua hal perlu diketahui
semua orang agar usia perjuangan bisa panjang.
Ternyata prasangka serupa terjadi pada istri Thukul,
Sipon. Saya mendengar Mbak Pon menyangka ada kawan
yang menyembunyikan suaminya dari kejaran militer.
Namun, setelah sekian lama Thukul tak ada,
masing-masing pihak mulai saling bertanya. Ternyata
Thukul memang tak disembunyikan pihak mana pun, Sipon
ataupun orang-orang PRD. Sejak itu pencarian Thukul
mulai dilakukan. Keluarga dan kawan-kawan Thukul
mendatangi lembaga bantuan hukum, mulai percaya bahwa
Thukul memang termasuk orang-orang yang hilang di masa
Soeharto. Pencarian ini terkesan sangat terlambat.
Thukul bahkan tak termasuk dalam daftar orang hilang
yang poster-posternya disebarkan Komisi Orang Hilang
dan Tindak Kekerasan, yang suatu kali pernah
terpampang di berbagai tembok kota dan rumah-rumah.
Siapakah Wiji Thukul ini? Mengapa ia hilang? Siapa
yang menghilangkannya?
Saya mendengar nama Thukul pertama kali pada 1994.
Ketika itu pembentukan Persatuan Rakyat Demokratik
baru saja selesai dan Wiji Thukul terpilih menjadi
ketua divisi budaya organisasi ini. Ada teman yang
menyarankan saya untuk bertemu Thukul. “Mungkin,
kalian bisa melakukan sesuatu lewat seni dan budaya,”
katanya. Ia juga menunjukkan sejumlah sajak Thukul
yang saya pikir menyalahi unsur-unsur estetika yang
saya pelajari di fakultas sastra. Sajak-sajak itu
tidak puitis dan pasti terkesan vulgar bagi banyak
mahasiswa di fakultas saya di masa Orde Baru. Bagi
mereka, sulit membayangkan keindahan dalam keadaan
yang kumuh dan miskin seperti kehidupan buruh, tukang
becak, atau masyarakat urban. Tak bakal ada keindahan
dalam got yang bau dan keringat yang mengucur deras,
yang bisa memicu kelahiran karya sastra. Kemiskinan
dan penderitaan hanya melahirkan lembaran pamflet,
bukan sajak atau puisi. Saya juga pernah punya
anggapan semacam itu, bahwa keindahan sejati hanya
terkandung dalam kisah-kisah cinta yang wangi.
Keindahan tak bisa beriringan dengan protes yang
mengandung kemarahan, tuntutan, dan kekecewaan,
seperti apa yang disebut Thukul puisi.
Teori-teori kesusastraan yang saya pelajari tak
berpihak pada sajak Thukul. Samuel Tylor Coloridge
(1772-1834), sastrawan di masa romantik telah menyebut
sajak sejenis karangan yang berlawanan dengan karya
sains, bersifat memberi kesenangan langsung. Padahal,
sajak Thukul lebih menimbulkan rasa gelisah ketimbang
kesenangan. Riffaterre, misalnya, mendefinisikan sajak
sebagai ‘mengatakan sesuatu tapi artinya lain’.
Definisi ini tak cocok dengan sajak Thukul yang lugas,
terang, dan tak suka main sembunyi-sembunyi itu.
Sajak dalam buku-buku teori sastra disyaratkan
memiliki ciri tertentu, antara lain berbentuk monolog
aku-lirik dan bermakna konotatif. Sajak harus
mengandung metafora, simile, atau alegori. Pendeknya,
untuk memahami sebuah sajak, tidak gampang.
Teori-teori tersebut tidak tepat untuk sajak-sajak
Thukul. Sajak-sajaknya tak pernah bermain kiasan atau
perbandingan yang rumit.
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!
Dalam bait Sajak Suara itu Thukul menyuarakan rasa
ketertindasan rakyat kecil di masa Soeharto, yang
dirinya pun menjadi bagian dari mereka. Seni bagi
Thukul adalah seni yang terlibat, menyatu dalam
dinamika masyarakatnya, bukan kumpulan imajinasi
belaka.
Pada tahun itu juga saya berangkat ke Solo dan menemui
Thukul di Kampung Kalangan bersama Raharja Waluya
Jati, kawan aktivis di Yogyakarta. Kami memasuki
pemukiman kumuh di tengah kota, yang dihuni para buruh
pabrik, tukang becak, kuli rendahan, dan orang-orang
yang paling tak diperhitungkan pendapatnya dalam
sebuah pemerintahan otoriter. Di tengah kampung inilah
sajak-sajak Thukul lahir. Thukul tak hanya menyuarakan
kesengsaraan mereka, tapi juga membangkitkan semangat
untuk melawan ketidakadilan itu. Sajak-sajaknya bukan
semata-mata hardikan pada kekuasaan, tapi juga jalan
keluar bagi orang yang ditindas, jalan yang tak
disukai penguasa, jalan melawan.
Kami melihat anak-anak kecil bertelanjang kaki
berlarian di bawah terik matahari, menghirup hawa
busuk yang menguap dari limbah industri. Kami berhenti
di muka sebuah rumah sewaan dan seorang pria kurus
berkaos oblong putih merek Swan menyambut di ambang
pintu. Betapa ringkihnya orang ini, pikir saya, tak
sepadan dengan keberanian sajak-sajaknya. Bicaranya
pelat dan derai tawa terdengar di ujung
kalimat-kalimatnya. Thukul tinggal dengan seorang
istri dan dua anak yang masih balita, Nganti Wani dan
Fajar Merah. Dia menyuguhkan singkong rebus pada
tamunya.
Kehidupannya miskin. Rumah itu berlantai tanah. Di
ruang muka membentang sehelai plastik biru bahan tenda
pedagang kaki lima yang berfungsi sebagai alas duduk.
Sebuah mesin jahit berada di tengah ruangan tersebut,
alat pencari nafkah si penghuni rumah. Kamar mandi
berbau tak sedap terletak di luar, tanpa kran air
ledeng.
Tapi, Thukul punya sebuah ruang istimewa;
perpustakaan. Ini satu-satunya kemewahan. Di sana ada
buku Antonio Gramsci, Bertolt Brecht, Raymond
Williams, Marx,�. Kebanyakan buku berbahasa Inggris.
Beberapa anak kampung tengah bertandang ke rumah
Thukul ketika kami datang. Mereka belajar menggambar
dengan teknik cukil kayu. Saya masih ingat salah
seorang yang ramah dan suka bertanya. Namanya,
Trontong. Nganti Wani kelihatan paling kecil, menyela
di antara mereka.
Anak-anak tersebut tergabung dalam Sanggar Suka
Banjir. Mereka belajar menggambar, mengarang, membaca,
dan bermain teater di situ. Thukul mengajarkan apa
yang tak mereka peroleh di sekolah, yaitu
mengekspresikan dengan jujur perasaan serta pengalaman
sehari-hari mereka. Semua karya bertumpu pada hal-hal
nyata. Bahkan, suatu hari sanggar ini mementaskan
lakon tentang banjir dan di akhir pertunjukannya
pemain serta penonton beramai-ramai mengunjungi rumah
lurah untuk mengadukan tanggul yang jebol. Melalui
permainan, Thukul telah menanamkan rasa percaya diri
pada anak-anak kampung agar tak gentar menyatakan
kebenaran. Dalam keterbatasan selalu ada jalan.
Kelompok teater dari luar Indonesia juga pernah
berkunjung ke Sanggar Suka Banjir dan membagi
pengetahuan baru untuk anak-anak tersebut. Kampung
Kalangan yang sempit seakan berubah luas, memberi
anak-anak miskin itu kegembiraan.
Thukul juga melatih buruh-buruh pabrik bermain teater.
Konsep sebuah teater buruh di Afrika Selatan
mengilhaminya. Buruh-buruh memerankan pengusaha,
satpam, mandor, supervisor, dan diri mereka sendiri.
Buruh yang memerankan majikan berdebat dengan buruh
yang memerankan dirinya. Mereka belajar bernegosisasi
lewat teater. Selama ini para buruh merasa tak punya
kemampuan menjelaskan tuntutan mereka di hadapan
pengusaha atau pihak departemen tenaga kerja yang
mereka sebut ‘orang-orang pintar’ itu. Kalimat-kalimat
mereka selalu dipatahkan dengan kelihaian pengusaha
berargumentasi. Tuntutan-tuntutan kesejahteraan mereka
tak dipenuhi. Thukul melatih buruh-buruh berbicara,
membangkitkan rasa percaya diri mereka untuk
berhadapan langsung dengan pemilik modal yang
menentukan upah mereka dalam kehidupan nyata. Latihan
ini semacam simulasi. Meski pengusaha punya pembela
hukum, buruh-buruh tak perlu gentar. Dengan bersatu,
kekuatan mereka akan lebih besar dan didengar. Thukul
melakukan pengorganisasian buruh dengan cara ini untuk
PRD, mengajak para buruh berjuang untuk memperoleh
hak-haknya.
Pada Agustus 1994, setelah beberapa kali bertemu, kami
sepakat membangun Jaringan Kerja Kesenian Rakyat dan
sepakat berpihak pada rakyat tertindas dalam
karya-karya kami. Bentuk jaringan dipilih berdasarkan
kondisi dunia kesenian saat itu, yang para pekerjanya
jauh dari pengalaman berorganisasi dan sukar
berdisiplin, menganggap organisasi identik dengan
pe-nyeragaman yang bisa mematikan kebebasan berkreasi
mereka. Orang tak punya referensi tentang organisasi
kesenian yang modern, selain paguyuban. Setidaknya,
bentuk jaringan ini tak membuat mereka merasa
dikekang.
Pengetahuan berorganisasi memang telah dihancurkan
sejak peristiwa 1965. Pemerintah Soeharto membubarkan
puluhan partai maupun organ sektoralnya menjadi tiga
partai yang telah mereka tentukan, yaitu Partai
Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan
Golongan Karya. Orde Baru tak memberi kebebasan pada
rakyat untuk mendirikan organisasi dan berbeda
pendapat. Rakyat yang terorganisasi bisa mempunyai
kekuatan untuk mengancam kekuasaan, punya posisi tawar
yang besar. Negara menciptakan organisasi untuk
mengontrol rakyat, menciptakan ketakutan bahwa dengan
tak masuk partai Golongan Karya atau Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia, misalnya, nasib seseorang bisa
buruk. Zaman itu tak banyak seniman yang berani
berseberangan dengan pemerintah Orde Baru. Wiji Thukul
tergolong mereka yang langka itu.
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun tirani harus tumbang!
Thukul menggunakan kiasan ‘tembok’ untuk penguasa, dan
‘bunga’ untuk rakyat yang dirampas tanah dan rumahnya
dalam sajak Bunga dan Tembok tadi. Sikapnya terhadap
tirani jelas tergambar dalam sajak: harus tumbang!
Thukul sudah dianggap menentang pemerintah jauh
sebelum ia terlibat dalam partai. Baginya perlawanan
terhadap ketidakadilan adalah naluri. Ia mempraktikkan
sikap ini pertama-tama pada lingkungan terdekatnya.
Thukul mengajak warga kampung beramai-ramai memprotes
keberadaan limbah pabrik bumbu masak yang menyebarkan
bau busuk. Akibatnya, ia harus berhadapan dengan
aparat setempat. Sajaknya tak hanya bernada
perlawanan, tapi juga mengajak orang untuk bersatu
melawan, mulai dari melawan pemilik pabrik sampai
pemerintah, mulai dari menentang tentara rendahan
sampai jenderal.
Pada 1989, Badan Koordinasi Intelijen Negara,
menelepon Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta
lantaran lembaga ini dianggap merekomendasikan
aktivitas berkesenian Thukul. “Kata BAKIN, Wiji Thukul
itu ‘kan orang yang mau mendongkel negara kita,” ujar
Jaap Erkelens dari Koninklijk Instituut Voor Taal,
Land en Volkenkunde, yang juga teman baik Thukul,
mengulang cerita orang lembaga tersebut.
“Thukul juga sudah langganan ditangkap dan disiksa
Koramil setempat,” kata Erkelens. Bahkan, pada masa
itu, Thukul sempat ditahan Koramil di Solo gara-gara
menerima paket buku dari Belanda. Pihak kantor pos
yang bekerja sama dengan militer telah melaporkan soal
kiriman tersebut.
“Sajak-sajak Thukul itu berisi protes sosial, yang
dalam hal ini terbentur pada politisi,” kata Erkelens,
lagi.
Di dalam negeri Thukul dimusuhi, tapi sajak-sajak
tersebut membuat Thukul memperoleh penghargaan
Wertheim Encourage Award yang pertama pada 1991
bersama penyair WS Rendra. Penghargaan ini dibuat
sebagai penghormatan pada sosiolog Belanda Willem
Frederik Wertheim, yang anti-kolonialisme dan tak suka
pada prilaku pemerintah Soeharto. Ketika Inter
Governmental Group on Indonesia (sekarang Consultative
Group on Indonesia), sebuah lembaga donor yang
diprakarsai pemerintah Belanda berdiri pada 1967,
Wertheim menulis artikel berjudul “Tuan Sudah
Kembali”, memperingatkan orang akan bentuk
kolonialisme baru yang lebih maju dan tersembunyi.
Untuk mempopulerkan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat,
masih pada 1994, organisasi ini mendukung pameran
pelukis Moelyono di Yogyakarta. Pameran Moelyono
bertema kehidupan nelayan. Kartu-kartu pos yang
dilukis anak-anak nelayan turut dipamerkan.
Kartu-kartu tersebut menunjukkan sikap aparat atau
rentenir yang terjadi di sekeliling mereka, juga
intimidasi dan ketidakadilan yang berlangsung
sehari-hari. Bila Thukul hidup dengan anak-anak kaum
miskin di perkotaan, Moelyono dekat dengan anak-anak
nelayan di wilayah pantai Tulung Agung, Jawa Timur.
Pada tahun ini juga, aksi petani terjadi di Ngawi,
Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan
orasi ditangkap serta dipukuli militer.
Dalam aksi-aksi massa semacam inilah, sajak-sajak
Thukul sering dibacakan. Aksi yang terkadang memakan
waktu berjam-jam dan tak jarang di tengah terik
matahari membuat pembacaan sajak menjadi hiburan,
selain memberi semangat dan ketidakgentaran menghadapi
militer yang selalu menghadang tiap aksi protes.
Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak
wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak
Suara, dan Bunga dan Tembok (ketiganya ada dalam
antologi Mencari Tanah Lapang yang diterbitkan oleh
Manus Amici, Belanda, pada 1994. Tapi, sesungguhnya
antologi tersebut diterbitkan oleh kerjasama KITLV dan
penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Nama penerbit fiktif
Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pelarangan
pemerintah Orde Baru).
Peringatan
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
1994 merupakan tahun yang ramai bagi situasi nasional.
Tiga media massa, Tempo, Detik, dan Editor dibredel.
Aksi protes berlangsung di Jakarta dan berbagai kota.
Para jurnalis turun ke jalan bersama mahasiswa dan
organisasi pro demokrasi seperti Pijar, SMID, Formaci,
Aldera, dan sebagainya. Akhirnya, tak semua rencana
bisa berjalan mulus untuk kesenian dan Jaringan.
Seiring situasi politik Indonesia yang makin represif
di masa Soeharto, PRD berkonsentrasi pada
peng-organisasian kaum buruh dan mendukung perjuangan
rakyat Timor Timur untuk merebut kemerdekaannya. Pada
Mei 1995, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia, onderbouw
partai, melakukan aksi mogok bersama sekitar 5000
buruh PT Great River di gedung DPR RI, Jakarta,
disusul aksi lompat pagar kedutaan beberapa negara
Wiji Thukul - Aku Ingin Jadi Peluru
Penulis: Wiji Tukhul
Judul: Aku Ingin Jadi Peluru
Penerbit: IndonesiaTera, Magelang
Tahun: 2000
Tebal: 5 buku, 135 puisi
“Kalau hidupmu tidak mudah, keras, penuh tekanan, kejam dan hampir-hampir kau tak tahu harus berbuat bagaimana, maka menulislah puisi.”
“Kalau hidupmu terjepit, kau dikejar-kejar, kau bersembunyi, kau berganti kaos, celana, sandal bahkan nama, sampai-sampai kau nyaris alpa dirimu sendiri, maka menulislah puisi.”
“Puisi apa yang kau tulis?Apa pun itu, puisi akan melembutkan pikiranmu, setidaknya jemarimu sendiri.”
Di jaman seperti ini, masihkah relevan membaca Thukul? Tahun-tahun ini tentu sudah jauh berbeda dibanding era Wiji Thukul. Sudah tidak ada lagi sepatu lars menginjak di bawah meja. Orang boleh mencaci presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati juga para DPRnya sendiri tanpa perlu gentar. Orang punya puluhan partai politik untuk di pilih. Konon, kita tidak perlu lagi punya rasa takut pada negara. Ya, itu benar. Yang menjadi persoalan bukanlah apakah kita takut pada negara, melainkan jika negara takut pada warganya sendiri. Itulah yang jauh lebih mengerikan. Karenanya, meski era penghilangan orang macam Thukul sudah dianggap berlalu namun masih ada kematian-kematian yang tak perlu. Munir, misalnya. Ironisnya, Munis turut menulis essay tentang Wiji Thukul sebagai pengantar buku kumpulan puisi Wiji Thukul, berjudul Aku Ingin Jadi Peluru.
Masihkah relevan membaca Thukul? Soal relevansi, itu mudah dicari. Ada baiknya simak satu puisi Thukul ini:
Kucing, Ikan Asin Dan Aku
Seekor kucing kurus
menggondol ikan asin
laukku untuk siang ini
aku meloncat
kuraih
pisau
biar
kubacok ia
biar
mampus
ia tak lari
tapi mendongak
menatapku
tajam
mendadak
lunglai
tanganku
-aku melihat diriku sendiri!
lalu kami berbagi
kuberi ia kepalanya
(batal nyawa melayang)
aku hidup
ia hidup
kami sama-sama makan
Puisi tentang sesuatu yang sederhana dengan bahasa sederhana.
Ya, hidup Thukul tampaknya begitu keras. Ini tampak dari puisi-puisi dalam buku ini. Buku kumpulan puisi yang diterbitkan oleh IndonesiaTera berusaha merangkum semua puisi Thukul. Buku ini memuat dua kumpulan puisi Thukul yang pernah terbit sebelumnya (oleh Taman Budaya Surakarta), yaitu Puisi Pelo dan Darman Dan Lain-lain, yang menjadi dua sub bab tersendiri. Selain itu, juga memuat puisi-puisi yang belum terkompilasi, dan dijadikan dua sub bab, Lingkungan Kita Si Mulut Besar dan Ketika Rakyat Pergi. Sub bab terakhir berjudul Baju Loak Sobek Pundaknya adalah kumpulan puisi Thukul semasa pelarian (setelah 1 Agustus 1996). Dalam pelarian, Thukul menulis dengan nama samaran Budi Bang Branang. Salah satu puisi masa pelariannya adalah Kucing, Ikan Asin Dan Aku di atas.
Nyanyian Akar Rumput
jalan raya dilebarkan
kami terusir
mendirikan kampung
digusur
kami pindah-pindah
menempel di tembok-tembok
dicabut
terbuang
kami rumput
butuh tanah
dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk presiden!
Kalau banyak orang negara takut pada Thukul (dulu) itu bisa dimengerti. Membaca Thukul adalah membaca semangat perlawanan.
dalam keyakinan kami
di mana pun –tirani harus tumbang! (Bunga Dan Tembok)
mari tidur
persiapkan
perlawanan, esok pagi! (Untuk D)
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam? (Tentang Sebuah Gerakan)
Mas Marco Kartodikromo: Dengan Sastra, Ia Mengasah Pena
oepaja djalannja SAMA RATA,
Jang berdjalan poen SAMA me RASA,
Enak dan senang bersama-sama,
Ja’toe: "Sama rasa, sama rata."
(Sinar Djawa 10 April 1918)
Awal abad 20 tahun, gerbang dibukanya abad pencerahan. Jaman pergerakan, ditandai dengan hadirnya koran, munculnya puluhan jurnalis muda. Muncul pula sebuah pola baru dalam gerakan, organisasi. Dunia penerbitan –yang rata-rata dimiliki oleh orang Tionghoa-- pun mencapai titik terang, ikut pula berperan mendorong proses kemajuan intelektual kaum bumi putra. Kaum jurnalis menjelma sekaligus sebagai aktivis-aktivis dan pimpinan pergerakan.
Pada masanya, Marco dikenal sebagai salah seorang jurnalis tangguh. Ciri khas yang paling kentara ialah: ia selalu menulis apa yang dilihat dan dirasa secara lugas. Tanpa ditutupi-tutupi. Tidak juga serba dipoles-poles, hingga akhirnya melenyap esensinya. Doenia Bergerak adalah surat kabar yang dibesarkan dan membesarkannya. Marco menjadikannya sebagai alat untuk menyampaikan gagasan akan sebuah perjuangan yang modern, dengan motto: “Brani karena benar takut karena salah”. Pentingnya menjaga pergerakan agar tidak melenceng dari cita-citanya, adalah salah satu sandaran dari medianya. Marco berani menentang penguasa kolonial dan orang-orang pergerakan yang dianggap berkolusi dengan rejim kolonial dengan mengkritisi kondisi sosial politik yang ada. Alhasil, tak kurang empat kali ia keluar masuk penjara.Semuanya lantaran tulisan-tulisanya yang memerahkan kuping penguasa kolonial
Kali pertama ia dipenjara di Semarang, kemudian sempat diisolasi di Belanda, sempat pula dibuang ke Boven Digul. Bebas dari penjara ia bergabung dengan Semaun, dan menjadi komisaris Serikat Islam Semarang dan redaktur Sinar Hindia. Selain itu ia juga menyunting Sinar Hindia, Soero Satomo. Bintangnya mulai berpijar terang tatkala ia berada di SI. Semarang yang menjadi pusat SI yang baru. Dalam kongres CSI ia terpilih menjadi komisaris CSI, khususnya menjadi kepala penerbitan.
Dikenal sebagai pribadi militan, Mas Marco Kartodikromo, lahir di Cepu, sekitar tahun 1890. Sebuah daerah tandus di Jawa Tengah, tepatnya di dekat pantai utara Pulau Jawa yang sarat bukit-bukit kapur dan dikelilingi hutan jati. Bumi gersang ini ternyata cukup menyimpan magma. Sebarisan nama yang mengharumkan dunia pergerakan lahir di sini, Tirto Adhi Soeryo, pelopor pers nasional, juga Pramudya Ananta Toer. Dr. Tjipto Mangunkusumo pun pertama kali merintis sekolah khusus untuk bangsa pribumi, di daerah ini. Serta, dari sini pula tak bisa kita lupakan nama harum seorang perempuan pemberani, Kartini.
Tak seperti kebanyakan tokoh yang dialiri darah priyayi, Marco sebuah perkecualian.Bapaknya hanya seorang priyayi rendahan, yang sehari-harinya juga mencari nafkah lewat bertani. Jika kaum pergerakan lain sempat menikmati pendidikan di sekolah-sekolah kelas satu, atau rata-rata menamatkan STOVIA, tokoh kita ini hanya sempat mengenyam sekolah bumi putra angka dua di Bojonegoro.
‘Kekalahan’ yang merupakan buah dari kelas sosialnya tersebut lah yang membuat Marco, seperti disebut Siraishi dalam Zaman Bergerak, “tergila-gila pada simbol–simbol modernitas dan tampil di depan umum dalam gaya Eropa seperti sinyo, sementara Cokro dan Soewardi lebih sering memakai pakaian Jawa“. Kekalahan, dan kekerasan hidup sebagai pribumi miskin ini pula yang justru mengasah kepekaan batin dan kepalanya.Jika kawan-kawannya mendapat pengetahuan dan kesadaran berdemokrasi dan buku-buku, Marko menjumputnya dari kehidupan sehari-hari. Ia jengah menyaksikan kemunduran bangsanya. Ia gusar dengan penghisapan yang saban hari melata di depan matanya. Itulah yang membedakan, dan membuatnya menonjol dibanding kawan-kawannya. Marco, bagian dari kaum muda yang diciptakan dalam sistem penghisapan kolonial, dan ia bersikeras mendobraknya. Baginya hierarki gelar, pangkat dan medali kehormatan, bukanlah lahir turun temurun, bukanlah hadir akibat aliran darah, melainkan diperoleh melalui sebuah kerja keras, dan keberanian bersikap tegas.
Menjadi Jurnalis, Menjadi Suluh Penerang
Pada awalnya, Marco bekerja sebagai juru tulis rendah di Dinas Kehutanan di tahun 1905. Tak lama, ia pindah ke Semarang dan tetap menjadi juru tulis di kantor pemerintah. Di sana ia punya kesempatan untuk belajar bahasa Belanda dari seorang Belanda yang menjadi guru privatnya.
Tahun 1911, terbuka satu babak baru dalam hidup Marco. Bahasa Belanda menghantarkannya pada cakrawala dunia yang serba baru; pengetahuan yang serba baru. Tak cukup lagi sekedar menjadi seorang juru ketik, ia memilih meninggalkan Semarang dan berangkat ke Bandung. Ia sangat bercita-cita menjadi jurnalis terkemuka. Di Bandung ia bergabung dengan Medan Prijaji pimpinan Tirto Adhi Soeryo.Saat itu, memang Medan Prijaji tengah mencapai puncak kegemilangannya. Pada Tirto, Sang Pemula dalam segala makna itu lah, ia berguru. Tak hanya soal dunia tulis menulis, ia juga berguru soal kebajikan, dan –terutama—tentang organisasi modern.
Medan Prijaji benar-benar mengasah talenta menulisnya. Oleh karenanya, bangkrutnya media pribumi dengan oplah terbesar tersebut, yang diikuti pula dengan dibuangnya Tirto ke Maluku, sempat membuat semangatnya runtuh. Terlebih, ketika akhirnya Sang Pemula wafat. Dalam korannya Marco melukiskan kehilangannya yang sangat dahsyat. Marco belum putus asa. Ia kembali ke Surakarta dan mengikuti jejak guru yang dikaguminya itu dengan menerbitkan suratkabar sendiri dalam bahasa Melayu. Nyaris semua yang diserapnya dari Tirto dipraktikkan di sini, termasuk, berorganisasi.
Pada usia 22, barulah benar-benar ia terjun ke dunia pergerakan. Ia sadar, hanya organisasi lah alat mencapai perubahan dan tatanan dunia baru. Sebuah pengetahuan dan kesadaran yang tidak terlambat untuk diraihnya. Surakarta, adalah tempatnya berkiprah dengan energi dan vitalitas sepenuh-penuhnya. Dalam rangka mencapai tujuan ini, ia mendirikan Inlandshe Journalistenbond (IJB) di Surakarta pada pertengahan 1914 dengan Doenia Bergerak sebagai surat kabarnya.
Kaum pergerakan menyambut dengan luapan gembira hadirnya terbitan ini. Berakhirlah masa kebekuan pers bumiputera akibat tekanan pemerintah kolonial. Dengan itu pula, Marco berani mendobrak tekanan pemerintah kolonial, tanpa sedikitpun gentar.
Tahun 1913, Serikat Islam (SI) mencapai puncak kejayaan.
Pada masa itu SI Surakarta adalah perkumpulan orang Jawa yang kuat pengaruhnya di bawah pimpinan pedagang batik dan aristokrat Kasunanan. Anggotanya mencapai puluhan ribu orang. Namun ketika jaman berganti, masa gemilang itu pun berlalu. Ketika orang-orang sudah terbiasa dengan vergadering dan membaca surat kabar, eksistensi SI berkurang. Para priyayi beramai-ramai lari meninggalkan SI Surakarta di tengah keterpurukannya. Yang tersisa hanyalah para jurnalis yang kemudian beralih, memegang kendali menjadi pemimpin pergerakan. Dalam situasi tersebut, sosok seperti Marco yang berani, radikal, lugas menjadi sosok lebih didengarkan rakyat.
Doenia Bergerak menjadikan suara Marco makin keras dan lantang. Ia merasa perlu mengambil taktik demikian, sebab, ia bukanlah kalangan intelektual berdarah priyayi dan berpendidikan Belanda. Jika Tjokro hanya perlu membuka suara sedikit saja agar suaranya didengar oleh Belanda, maka Marco harus “berteriak” kencang-kencang agar suaranya lebih lantang dan didengar.
Paruh 1915, Doenia Bergerak memasuki masa gemilang.Pemerintah kolonial mulai represif, makin semena-mena terhadap kaum bumiputra, terlebih terhadap para kaum aktivisnya. Dalam surat kabarnya itulah, Marco lantang berseru-seru: “Kita semua adalah manusia”. Hasilnya bisa diduga, Marco diseret ke pengadilan. Jatuhlah vonis 7 bulan penjara. Mau apalagi, Marco tak pernah menyesalinya. Pengadilan adalah panggung politik bagi siapapun yang berkesedaran maju!
Di depan pengadilan pula, ia terus saja berseru-seru:
“Saya berani bilang, selama kalian, rakyat Hindia, tidak punya keberanian, kalian akan terus diinjak-injak dan hanya menjadi seperempat manusia !!!”
4 kali keluar masuk penjara, ia lewati dengan kepala tegak. Kesulitan demi kesulitan datang silih berganti. Selalu mampu ia taklukkan. Selalu mampu tergantikan oleh pengalaman dan pengetahuan baru.Ia menyebutnya sebagai batu ujian; sebagai sekolahan baru; sebagai tempat untuk melatih agar moral bertambah kukuh dan liat.Itu sebabnya Soewardi Soerjaningrat menyebutnya sebagai seorang satria sejati. Secara khusus dipahatnya kekaguman itu dalam sebuah tulisan di Sarotomo:
“Memang membela bangsa itu tidak mudah dan tidak menyenangkan, namun ini kewajiban kita.Ingatkah, yang berbahagia bukanlah mereka yang menyandang gelar dan pangkat, bagi saya, kebahagiaan yang paling besar berada dalam pikiran saya. Saudara telah mengorbankan diri dan semua hukuman sesungguhnya merupakan sebuah bintang kehirmatan bagi saudara dan itulah lambang kebahagiaan saudara. Sekarang, di mata saya pangkat saudara sangat tinggi, karena sudah jelas, kebahagiaan saudara terletak dalam upaya membela bangsa. Janganlah mengira bahwa tak ada orang lain yang akan meneruskan pekerjaan saudara. Puluhan orang nanti akan menggantikan saudara. Berani karena benar !(Akira Nagazumi, 1986)
Iklim politik di Hindia bergolak. Jauh melebihi dari yang pernah dibayangkan Marco. Perang Dunia I nyaris selesai. Revolusi Rusia meledak, tatanan dunia yang baru pun muncul. Sementara itu, kehidupan rakyat terus merosot; harga-harga meroket tinggi; upah terus digencet di bawah telapak kaki. Keresahan pun merunyak di mana-mana. Eropa meledak dengan Revolusi Rusia pada Maret 1917, diikuti dengan Revolusi Bolshevik.
Serikat-serikat buruh muncul bak jamur di musim hujan. Seperti terilhami oleh revolusi Bolshevik, pemogokan-pemogokan pabrik meledak hampir saban hari di pulau Jawa. Sebuah transformasi pergerakan tengah berlangsung, jika pada awalnya Serikat Islam ditandai dengan vergadering, kemudian beralih ke pemogokan. Perang Dunia I, menjadi batas waktu yang sangat penting bukan hanya bagi pergerakan tetapi bagi sejarah Hindia. Perang ini telah mempengaruhi posisi Hindia dengan negara induk. Cengkeraman terhadap negara jajahan tak lagi kencang. Radikalitas kaum buruh membuat pemerintah mengawasi perkembangan kelompok kiri ini.Pertemuan-pertemuan dilarang, organisasi-organisasi diinteli, pers dan penerbitan pun tak lepas dari teror dan sensor kolonial. Belasan orang di seret ke penjara dan dihukum mati di depan umum, sementara sekitar 13.000 orang dibuang ke Boven Digoel.
Regenerasi gerakan pun terjadilah. Semaun, seorang pemuda belia berumur 18 tahun, berasal dari kelas buruh, maju ke depan dan memimpin pemogokan di Jawa. Dia adalah aktivis ISDV dan kemudian menjadi pemimpin SI Semarang.
Ia juga seorang sastrawan
Jamaknya aktivis pergerakan adalah berjiwa seni yang tinggi, nyaris tak ada yang menyangkal. Marx seorang sastrawan sejati, demikian juga Marco. Selain tulisan-tulisannya yang bergaris politik dan agitatif, ia sangat mencintai sastra. Ia senang menulis syair dan cerita roman. Bahkan bersama-sama dengan H. Mukhti dan Tirto Adhi Soeryo, Marco dianggap sebagai pelopor sastra modern Indonesia. Dari buah tangan merekalah disemai sastra modern di negeri kita.
Semua dan segala yang ditulisnya adalah potret dari seluruh realitas bangsanya. Hampir seperti Tirto yang meneguhkan dirinya sebagai wartawan-pengarang yang menjadikan tulisan sebagai senjata perang terhadap segala bentuk kesewenangan. Lewat tulisan serta sketsa-sketsa fiksinya ia mampu melukiskan dengan serba rinci tentang struktur sosial dan kebudayaan kolonial pada masa itu, seperti yang ditulisnya dalam Student Hidjo, buah karya terkenalnya yang membedah proses nasionalisme yang baru tumbuh di Hindia Belanda.
Syair-syairnya yang terkenal adalah Sama Rata Sama Rasa dan Badjak Laoet, keduanya menyuarakan kebenciannya pada kolonial, pada imperialis, yang ia gambarkan “menghisap mereka sampai pingsan”.
Lewat sastra ia mengasah pena, sebagaimana lewat sastra pula ia belajar tentang kesanggupan dan ketidaksanggupan manusia dalam berhadapan dengan sejarahnya, sejarah kolonialisme yang liat untuk diruntuhkan.
Marco juga sangat menyukai pewayangan. Salah satu tokoh idolanya adalah Bima, ksatria sejati, yang gagah berani membela kebenaran. Bahkan, Takashi menyebut bahwa kunci untuk memahami Marco adalah pergerakan dan pengorbanan. Setelah ia keluar masuk penjara tanpa sedikit jera dan menyesal. Semua itu adalah buah dari sikap satrianya, yang berani menyuarakan apa yang dirasa benar dan bertindak sesuai dengan kata-katanya. Marco mengatakan bahwa makna “hidup” hanya bisa dipahami jika orang mengorbankan dirinya bagi “kita”.Ia tampil sebagai “cermin” dan sebagai suatu pengorbanan bagi pergerakan rakyat.
Marco, anak muda ciptaan kolonial itu, tintanya tak pernah mengering. Karyanya, hidupnya, terus saja mengalir.
Tak ada data tentang bagaimana kehidupan pribadinya. Ia tak terlalu suka menulis biografi, atau menukilkan kisah hidupnya dalam cerita-cerita fiksinya.Namun,dari perjalanan hidupnya, dari gaya ia menulis, agaknya faktor ‘kekalahan’ sebagai pribumi rendahan seperti disebut di atas, cukup berperan kuat, ia sangat dendam dengan kepriyayian. Ia dendam dengan feodalisme.
Tahun 1917, terbit syairnya yang berjudul Sama Rata Sama Rasa, yang menggambarkan tekat Marco untuk kembali ke dunia pergerakan, yang sempat lama di tinggalkannya. Pergerakan yang lahir dengan ekspansi Serikat Islam yang luar biasa, sekarang memasuki tahap baru. Masa kolonial telah berakhir dan berganti dengan masa munculnya kaum bumiputra. Setelah keluar dari penjara, Marco bergabung dengan SI Semarang dan duduk sebagai komisaris. Ia tak kembali ke Surakarta sampai akhir 1924. Di masa selanjutnya, pergerakan ternyata tumbuh kembali di Surakarta, kali ini bukan di bawah panji-panji SI tetapi di bawah Insulinde yang dipimpin oleh H Misbach dan Tjipto.
Pada masa awal pembentukan SI Surakarta, Marco memegang peranan yang cukup penting.Ia bukanlah orang Surakarta, namun di kota inilah ia memulai karier pergerakannya.Di kota inilah yang turut menyalakan obor penerang, yang semula dipegang oleh Tirto dan H. Misbach.
Pada tahun 1924, setelah H. Misbach, seorang orator dan organisator ulung, tokoh yang memproklamirkan Islam Komunis, dibuang ke Manokwari, Papua dan akhirnya meninggal setelah diterjang penyakit malaria, Marco lah yang memegang kendali organisasi. Dia memimpin SR dan PKI di Surakarta pada tahun 1925, sekaligus tanpa daya menjadi saksi atas kehancurannya. Runtuhnya organisasi PKI yang diawali dengan pemberontakan yang gagal di tahun 1926.
Satpol PP, Militerisme dan Posisi Kelas Kaum Miskin Perkotaan
Kami pun bercakap-cakap. Setelah bicara ke sana Jakarta Jakarta medan Mesopotamia Para Australia JAPAN PHILIPPINES Jogjakarta kota
Yang paling menarik bagiku dari percakapan itu adalah kegeraman yang ditunjukkan bapak penjual jamu itu pada kedua hal yang disebut di atas. Bagi beliau, geng-geng preman itu sama sekali tidak "berwatak Betawi" dan memalukan bagi warga Betawi asli karena sebagian besar anggota geng itu bukan orang Betawi. Bagi beliau, entah benar entah tidak, budaya Betawi menjunjung tinggi kegagahan (ini mengutip kho ping hoo, kelihatannya) dan hanya mau berkelahi jika membela kebenaran, itupun harus satu lawan satu. Geng-geng "Betawi" ini tidak lebih dari sekumpulan tukang pukul yang patuh pada juragan-juragan, bukan jagoan betulan. Barangkali, yang ada dalam pikiran bapak itu, yang patut disebut "jagoan" itu semacam si Pitung itulah.
Kalau pada geng "Betawi", si bapak menunjukkan kegeraman, pada Satpol PP ia menunjukkan kesedihan. Ternyata, di masa mudanya, sekitar tahun 1980-an awal, ia sempat bekerja di bagian Kamtibmas, di Pemda DKI
Militerisme dan Kelas Pekerja
Kita sendiri biasanya beranggapan bahwa militer merupakan alat negara penindas - bahkan "negara" itu sendiri, dalam pengertian bahwa "Negara adalah alat yang dipakai kelas berkuasa untuk merepresi kemungkinan munculnya konflik dan perlawanan kelas-kelas tertindas." Namun, sesungguhnya hubungan antara Militer dan Kelas Tertindas (dalam hal ini kelas-kelas pekerja) tidaklah selinear atau sedikotomis yang dibayangkan. Ingatlah hukum dialektika, bahwa apa yang berlawanan sesungguhnya satu dan saling menyaratkan.
Historyworld.net, satu situs sejarah yang cukup berwibawa, memiliki banyak artikel yang menerangkan mengenai perkembangan militer menjadi seperti yang kita lihat saat ini.Dan salah satu kenyataan pahit yang disajikan sejarah pada kita adalah bahwa tulang punggung setiap ketentaraan yang kuat adalah kelas pekerja.
Sejak awal terbentuknya ketentaraan, kelas pekerja selalu hadir di garis terdepan tiap
Sejak pertama kali masyarakat berkelas menampakkan batang hidungnya di muka bumi, rakyat pekerja telah dikerahkan untuk membela kepentingan kelas berkuasa. Memang, sejak masyarakat terbelah menjadi kelas-kelas yang saling bertarung, ketentaraan tidak lagi merupakan pekerjaan sampingan melainkan pekerjaan purna-waktu. Tentara purna-waktu (standing army) inilah yang justru menjadi ciri masyarakat berkelas. Tapi, sekalipun tugas utama tentara ini adalah menindas rakyatnya sendiri, anggota-anggotanya direkrut dari kalangan kelas pekerja. Setelah direkrut, mereka ditempatkan dalam pengawasan ketat dan arahan dari para perwira yang secara eksklusif direkrut dari kalangan kelas berkuasa.
Selain itu, seperti yang terjadi di kerajaan
Semakin lama semakin nampak pembelahan antara para "foot soldier" dengan para perwira ini. Di kerajaan Mesir Kuno, misalnya, para perwira dan bangsawan maju perang dengan menunggang kereta perang (chariot), sementara tentara biasa tetap berjalan kaki. Dengan kereta perang, posisi para perwira ini menjadi lebih aman dan dapat melakukan pembantaian tentara musuh secara lebih leluasa. Perhatikan bahwa "tentara musuh" yang dibantai ini adalah yang berasal dari kelas pekerja di negeri "musuh" itu. Jarang sekali antar perwira ini bertemu dan beradu nyawa.
Pembelahan ini semakin tajam dengan semakin jauhnya perbedaan kemampuan ekonomi antara kelas berkuasa dan kelas pekerja. Di abad pertengahan, misalnya, perbedaan antara para ksatria dan para prajurit biasa sangat menyolok, terutama karena biaya yang perlu dikeluarkan untuk peralatan perang seorang ksatria tidak akan pernah dapat dibayar seorang prajurit biasa, yang berasal dari kelas pekerja. Kuda perang dan baju zirah dari baja terlalu mahal untuk dibeli, belum lagi mengingat biaya perawatannya.
Curangnya, ketika kondisi ini berbalik dengan ditemukannya crossbow (panah yang dilepaskan dengan menggunakan pegas), halberd (tombak panjang dengan kait dan kapak kecil di bawah mata tombak) dan senjata api, para perwira ini langsung mengambil langkah seribu. Kalau dulu mereka berada paling depan, nampak gagah dan jaya karena terlindung peralatan perangnya, kini mereka lebih suka "memimpin dari belakang" (lead from behind - satu ungkapan yang absurd).
Sekarang ini justru makin terang-terangan "tentara jalan kaki" ini dijadikan umpan peluru.
Kisah tentang Jenderal McArthur bisa menjadi contoh yang luar biasa. Komandan Pasukan AS di Filipina ini membiarkan belasan ribu prajuritnya dalam keadaan kelaparan dan kekurangan amunisi di Bataan dan Corregidor, kabur ke
Kelas berkuasa tetaplah kelas berkuasa, mereka akan merebut seluruh kemuliaan ketika pertempuran dimenangkan tapi mereka tidak akan berkedip sedikit juga ketika mengorbankan prajuritnya untuk mendapat kemenangan itu. Mengapa mereka harus berkedip? Bukankah kita tahu bahwa para umpan peluru ini diambil dari kelas pekerja?
ketika Jepang menyerbu Filipina. Sejarah resmi AS membenarkan tindakan McArthur ini dengan alasan ini adalah perintah Komando Tertinggi dan bahwa McArthur sebenarnya enggan pergi kalau tidak dipaksa. Sejarah alternatif (seperti yang dimuat dalam situs " Ketika Seorang Berkhianat Pada Kelasnya Sendiri
Di lain pihak, banyak anggota kelas pekerja yang melihat karir kemiliteran sebagai peluang untuk keluar dari kesengsaraan dan himpitan penderitaan hidup yang selama ini dialaminya. Sekalipun ia tidak menyadarinya, secara naluriah ia tahu bahwa dengan demikian ia telah menyeberang. Ia telah menjadi pengkhianat bagi kelasnya sendiri. Dan seorang pengkhianat cenderung akan berusaha membuktikan dirinya di hadapan majikan barunya secara berlebihan. Ia akan menjadi lebih kejam dan jahat daripada jika anggota kelas berkuasa itu sendiri yang menjalankan penindasannya. Beberapa artikel penelitian tentang Psikologi Kekuasaan (bisa dicari di Google dengan kata kunci "psychology of power") menunjukkan bahwa orang-orang yang memegang kekuasaan cenderung bersikap tidak sewajarnya karena ia tahu tidak akan mendapat akibat buruk dari tindak-tanduknya. Bisa dibayangkan bahwa mereka yang tadinya merayap-rayap di lumpur kehinaan dan penindasan kini bisa petantang-petenteng berkuasa, tentu mereka mabuk berat!
Salah satu ciri hegemoni adalah jika anggota-anggota kelas yang dikuasai beraspirasi atau bercita-cita menjadi bagian dari kelas berkuasa, atau menganggap apa yang dilakukan kelas berkuasa sebagai teladan mereka. Tidak mengherankan jika banyak anggota kelas pekerja di
Dari tinjauan empirik (dari pengamatan saja; ada yang bisa kasih tinjauan akademiknya?), ada beberapa posisi yang rentan menjerumuskan orang dalam pengkhianatan terhadap kepentingan kelasnya sendiri:
Ketika seseorang berada dalam posisi kepemimpinan yang tidak demokratis atas komunitas. Kepemimpinan yang tidak didasarkan pada struktur demokratik bisa terjadi dalam kumpulan formal ataupun informal. Hal ini tidak harus didahului dengan satu niat buruk, misalnya ambisi pribadi ingin kaya, dsb. Bisa jadi, awalnya adalah niat baik untuk membangun komunitas. Tapi, karena struktur organisasinya tidak menjamin adanya regenerasi yang terus-menerus, komunitas pelan-pelan menjadi tergantung. Si pemimpin tersebut makin lama makin jago (karena terus mengasah kemampuannya), jarak antara tingkat kemampuan pribadinya dengan tingkat kemampuan orang lain dalam komunitas itu menjadi jauh sekali, bahkan mungkin tidak terkejar lagi. Si pemimpin ini rentan berkhianat karena para penguasa borjuasi tahu betul bahwa ia adalah sasaran tunggal. Penguasa borjuasi dapat memilih untuk mengguyur si pemimpin ini dengan harta melimpah (atau apa saja yang diinginkannya) atau melenyapkannya sekalian (jika sogokan tidak mempan). Begitu si pemimpin terbeli (atau terbunuh, mana saja yang datang duluan) organisasi pun akan terjinakkan.
Ketika seseorang tidak memiliki pijakan kelas. Ketika seorang buruh di-PHK tanpa kejelasan masa depan, ketika seorang petani kehilangan tanah tanpa tahu ke mana harus meneruskan hidup, ketika seorang pelajar lulus tanpa kemungkinan melanjutkan pendidikan atau masuk dunia kerja, mereka terlempar ke dalam sebuah limbo - keadaan tanpa pijakan, tanpa kepastian. Dan, lembaga yang paling menyediakan kepastian - baik dari segi penghasilan, kekuasaan, disiplin dan komando - adalah lembaga yang dekat dengan militerisme. Tidak begitu mengherankan, (hampir) tidak akan ada anggota kelas pekerja yang dengan sukarela bergabung dalam organisasi preman, atau SatpolPP sekalipun, jika mereka bukan pengangguran.
Indonesia Para Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia
Pengangguran dan Masalah Kemiskinan Perkotaan
Kedua kondisi yang kupaparkan di atas, sialnya, hadir bersamaan di tengah komunitas-komunitas miskin perkotaan. Komunitas miskin perkotaan ini terbentuk sebagai akibat dari pembangunan kapitalisme yang menggunakan pola akumulasi modal primitif (primitive accumulation of capital). Pola ini diterapkan pada masa-masa awal pembangunan kapitalisme di Eropa, dan kini diterapkan kembali untuk pembangunan kapitalisme di negeri-negeri kapitalis terbelakang yang menjadi sasaran penghisapan negeri imperialis di Dunia Pertama. Pola akumulasi primitif ini pada dasarnya berusaha menceraikan para produsen dari alat kerja dan hasil produksinya. Dengan kata lain, penghancuran pola produksi sisa peradaban Berburu-Mengumpul (misalnya nelayan tradisional) dan Feudal (misalnya pertanian). Tujuan utama dari pola akumulasi primitif ini adalah penciptaan lapisan masyarakat yang tidak lagi memiliki alat untuk bertahan hidup dan harus bergantung pada kapitalisme agar bisa bertahan. Di mana-mana, di seluruh negeri yang baru belakangan diserap ke dalam kapitalisme (yang biasa disebut Dunia Ketiga) kita lihat terjadinya akumulasi primitif ini.
Kita melihat brutalitas kapitalisme primitif ini di depan mata kita, dalam sejarah kontemporer
Tapi, mereka tidak punya bekal yang cukup untuk mencari penghidupan di perkotaan. Sama seperti yang dialami petani-petani Inggris di abad ke-16, para petani
Karena itu, pola akumulasi primitif ini menghasilkan banyak sekali kantung-kantung kemiskinan yang kumuh di perkotaan. Di kantung-kantung kemiskinan ini, warga berjuang dari hari ke hari untuk mendapatkan pekerjaan apapun yang bisa membantu mereka melewatkan hari itu dan, jika mereka beruntung, keesokan harinya. Keterdesakan untuk bertahan hidup ini membuat warga di kampung-kampung kumuh ini mengerjakan apa saja, hal-hal yang tidak terbayangkan, untuk dijadikan uang. Dan sempitnya peluang yang tersedia menyebabkan pertarungan memperebutkan peluang ini menjadi sangat keras.
Struktur kepemimpinan di tengah masyarakat miskin perkotaan jarang sekali bersifat demokratis. Biasanya, hanya orang-orang "kuat" yang mampu memimpin komunitas yang hanya diikat oleh satu hal: sama-sama menunggu kesempatan untuk "sukses" - apapun makna "sukses" bagi mereka. Mereka telah dipaksa untuk menjadi proletariat karena telah dilucuti dari sarana produksi milik mereka. Namun mereka tidak bisa masuk ke dalam dunia proletariat karena kurangnya lapangan pekerjaan. Suasana di mana mereka sudah dipaksa berhadapan dengan taring telanjang kapitalisme, sementara mereka tidak dapat menikmati solidaritas yang menjadi ciri proletariat, menyebabkan mereka (dalam keadaan tidak terorganisir) sangat mudah terjatuh ke arah pemikiran vigilantisme - hukum ditentukan oleh mereka yang kuat. Pemikiran ini hanya berjarak sejengkal saja dari militerisme skala penuh.
Dan, sialnya, kelompok-kelompok vigilantes (premanisme terorganisir) dan paramiliter (orang sipil yang dipersenjatai dan bertingkah laku seperti tentara) di
SatpolPP tidaklah terlalu berbeda. Banyak artikel yang mengutip wawancara dengan para anggota Satpol PP (yang bertanggungjawab dalam kekerasan yang terjadi di berbagai penggusuran) menyatakan bahwa sebenarnya hati nurani mereka menjerit. Tapi, apa daya, begitu kata mereka, perintah atasan dan mereka juga butuh makan.
Pernyataan seperti inilah yang menjadi ciri dari Lumpenproletarisme. Lumpenproletariat adalah proletariat sampah, yang hidup dari memangsa sesama proletariat. Kata lumpen berasal dari bahasa Jerman, der Lumpen, yang artinya lap dapur. Ia bukan kriminal biasa. Ia adalah drakula, dari jenis yang terburuk. Dan drakula-drakula ini adalah bahan mentah yang siap dibentuk menjadi senjata pemukul yang ampuh, pelayan bagi kelas berkuasa.
Implikasinya Bagi Kita
Pengorganisiran terhadap kelompok yang secara pukul-rata disebut "kaum miskin perkotaan" biasanya disandarkan pada perebutan hak sebagai warganegara - khususnya hak mendapat pelayanan publik. Ini tentu bukan satu hal yang keliru, karena mereka justru terdampar di perkotaan karena kehilangan hak mereka atas alat-alat produksi. Lagipula, kondisi mereka yang mengais hidup dari hari ke hari ini akan sangat terbantu dengan perjuangan atas hak sebagai warganegara. Perjuangan atas hak warganegara ini dapat menjadi satu alat pengorganisiran yang ampuh, sebagaimana telah ditunjukkan oleh pengalaman SRMK (Serikat Rakyat Miskin Kota) yang mengorganisir di wilayah Jakarta Barat.
Namun demikian, analisis kelas kita menunjukkan bahwa perjuangan atas hak warganegara ini bukanlah alat pukul utama yang bisa kita bangun dari komunitas miskin perkotaan. Kita harus melihat mereka sebagaimana mereka adanya: pasukan cadangan proletariat (reserve army of proleariat).
Jika komunitas miskin perkotaan dipandang secara demikian, maka perjuangan kelas pekerja tidak boleh ditujukan secara eksklusif untuk pembelaan terhadap buruh yang masih bekerja di pabrik, melainkan juga terhadap komunitas ini. Serikat-serikat buruh harus merangkul organisasi-organisasi komunitas, bersama-sama memperjuangkan perbaikan nasib di komunitas sekaligus penciptaan lapangan kerja baru. Lebih baik lagi kalau bukan sekedar merangkul, tapi memang dengan sengaja serikat buruh mengirim organisernya untuk membantu pengorganisiran di komunitas. Organisasi-organisasi kelas kapitalis mengirim organisernya ke sini, mengapa serikat-serikat buruh tidak? Bukankah kelas pekerja ingin mengambil kekuasaan dari tangan kelas kapitalis? Tanpa bertarung di semua lini, termasuk memperebutkan kepemimpinan di tengah komunitas miskin perkotaan, mimpi kelas pekerja untuk berkuasa akan sulit tercapai.
Persatuan organik antara serikat buruh dengan serikat komunitas akan berguna juga berkenaan dengan persoalan organisasi-organisasi paramiliter, termasuk SatpolPP. Organisasi paramiliter ini menarik anggotanya dari kalangan miskin perkotaan sekaligus menggunakan orang-orang miskin ini di barisan terdepan ketika memukul komunitas miskin lainnya. Dengan masuknya pengorganisiran kelas ke tengah komunitas miskin perkotaan, kita akan mengajarkan dan melatih komunitas itu untuk bersolidaritas. Solidaritas akan memudahkan kita melancarkan perlawanan terhadap organisasi paramiliter, yang terkadang menuntut digunakannya metode-metode yang keras lawan keras. Solidaritas juga akan melunakkan, minimal mematahkan kohesi di tengah organisasi paramiliter ini, melumpuhkan kemampuannya bergerak sebagai satu unit yang utuh dan tak kenal belas-kasihan. Kalau kita beruntung, dan cukup tabah berjuang, ada kemungkinan kita bisa mendorong terjadinya pembelotan. Jika para anggota SatpolPP atau organisasi paramiliter lain bisa dibangkitkan solidaritasnya, ada kemungkinan mereka akan membangkang pada perintah atasan mereka dan balik berpihak justru pada komunitas yang tadinya menjadi sasaran penindasan mereka.
IndieCult: I Dont Smoke, I Dont Drink, and I Dont Do Drugs! I’m Straight Edge!!!
TEHNIK DASAR MOTOR VESPA
(vespa-indonesia.com)