Senin, 03 Maret 2008

Petualangan Pacar Merah Indonesia


Petualangan Pacar Merah Indonesia
Judul: Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia)
Penulis: Matu Mona
Penerbit: Centrale Courant en Boekhandel, Medan (1938); Jendela dan KITLV (2001)
Tebal: 180 halaman
***
Pada era 1930-an, dunia penerbitan Hindia Belanda diwarnai oleh kemunculan karya-karya yang dikenal sebagai roman picisan. Umumnya, karya ini berupa cerita pendek yang terbit di surat kabar selama satu atau dua kali sebulan atau terbit dalam bentuk buku setebal 50 sampai 100-an halaman.
Sebagian besar karya itu berkisah tentang roman detektif yang dibumbui dengan spionase, percintaan, tindakan kepahlawanan, pengkhianatan, ataupun peristiwa misterius. Tak ketinggalan pula dimensi politik ikut mewarnai narasinya, terutama yang bersifat antikolonial dan anti-imperialisme.
Penerbitan roman picisan diilhami oleh seri roman Cina-Melayu yang terbit di Medan sekitar tahun 1920-an. Pada awal terbitnya, roman picisan bertalian erat dengan surat kabar dan majalah di Medan seperti Pewarta Deli, Loekisan Poedjangga, Doenia Pengalaman, Tjendrawasih, dan Doenia Pergerakan. Khalayak pembaca mendapatkan bacaan populernya di dalam cerita-cerita pendek yang dimuat berseri di media tersebut. Jumlahnya cukup banyak, seperti dicatat oleh Harry A Poeze, mencapai sekitar 400 judul dalam kurun 1938-1942.
Satu karya roman picisan yang sangat terkenal saat itu adalah Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia), karangan Matu Mona. Karya ini muncul pertama kali sebagai seri cerita di dalam harian Pewarta Deli edisi 9 Juli sampai 19 September 1934 dengan judul-judul sebagai berikut, "Spionnage-Dienst: pengalaman dari seorang ksatrya Indonesia", "Bayangan dari pergerakan politiek di Timoer Djaoeh", "Apa mimpi Pan-Melayu dapat diboektikan?", "Kegiatannja kaki- tangan PID". Sambutan yang diterima dari pembaca sangat baik sehingga pada tahun 1938 diterbitkan sebagai buku oleh Centrale Courant en Boekhandel (Toko Buku dan Surat Kabar Sentral) di Medan.
PATJAR Merah Indonesia berkisah tentang petualangan tokoh utama bernama Vichitra yang juga dikenal sebagai Pacar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena aktivitas politiknya itu, ia terpaksa melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buron polisi rahasia internasional. Dalam pelariannya itu, Vichitra dibantu oleh Nona Ninon Phao, anak perempuan kepala polisi rahasia Thailand, Khun Phra Phao, bersembunyi di Senggora, sebuah kota kecil di Thailand.
Langkah Pacar Merah tidak berhenti di negeri Siam. Untuk menghindar dari penangkapan para reserse, ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya, mulai dari Singapura, Filipina, Kamboja, Hongkong, hingga China. Dalam setiap pelariannya itu ia harus bersembunyi, baik itu di dalam kapal, di rumah seorang tokoh pergerakan, di loteng rumah di wilayah terpencil, maupun menyamar sebagai perempuan tua dengan tiga anak.
Meskipun buron, Pacar Merah dapat turut menghadiri Konferensi Pertama Pan-Malay Peoples Union. Hadir dalam konferensi itu pemuka- pemuka negeri Melayu dan dukungan dari Hawaii, Maori, serta pulau-pulau yang menjadi bagian Australia. Selain itu, ia juga datang ke Konferensi Buruh Pasifik yang diadakan di China. Di Kamboja Pacar Merah ikut menyaksikan pemberontakan kaum radikal terhadap pemerintah kolonial Perancis.
Pelarian Pacar Merah tidak sendiri. Beberapa aktivis politik antikolonial lainnya yang menjadi kawan seperjuangan Pacar Merah juga terpaksa menjadi buron di luar negeri. Nama-nama mereka adalah Paul Mussotte, Ivan Alminsky, Darsnoff, Semounoff, Djalumin, serta Soe Beng Kiat. Mereka tinggal berpencaran, ada yang di Perancis, Moskwa, dan Berlin. Ivan Alminsky mendapat tugas dari Semounoff untuk menjumpai Darsnoff, lalu bersama-sama mencari Pacar Merah, pemimpin yang dijuluki "diktator" oleh anak buahnya. Tugas Alminsky adalah membujuk Pacar Merah untuk mau "rujuk" kembali dengan rezim komunis Moskwa dan tunduk kepada instruksi dari Moskwa. Rupanya selama ini Pacar Merah dinilai telah bertindak semaunya sendiri oleh Moskwa.
Setelah melalui perjalanan panjang dan berliku, Alminsky berhasil bertemu dengan Pacar Merah di Kota Chapei, China. Pertemuan mereka dibayangi oleh serangan tentara Jepang atas kota Shanghai dan Chapei. Ketika akhirnya bertemu dan Alminsky menyampaikan mandat dari Moskwa, Pacar Merah menolak untuk tunduk kepada Moskwa. Ia berketetapan untuk terus berjuang bagi kemerdekaan Tanah Air-nya dan bukan untuk kepentingan Moskwa.
Kisah petualangan ini dibumbui juga dengan cerita percintaan antara Pacar Merah dan Ninon Phao. Perempuan ini berusaha keras merebut hati Pacar Merah dan ingin mengikuti ke mana pun ia pergi. Akan tetapi, demi perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan tanah airnya, Pacar Merah menolak dengan halus cinta Ninon dan tetap menganggapnya sebagai adik kandung sendiri. Selain itu, tokoh Pacar Merah digambarkan memiliki kelebihan seperti kemampuan meramal, berubah-ubah sosok, dan berpindah tempat secara gaib.
HARRY A Poeze menyatakan bahwa Pacar Merah Indonesia adalah sebuah kisah yang menggabungkan antara fakta dan fiksi. Roman petualangan yang mengambil latar kejadian tahun 1930-1932 ini menampilkan beberapa fakta sejarah tentang gerakan komunis dan kiri radikal di Hindia Belanda dan fiksi spionase, politik, dan percintaan. Tokoh utama cerita ini, Pacar Merah, adalah julukan untuk Tan Malaka yang sering kali dianggap sebagai tokoh misterius dalam pergerakan Indonesia. Tan Malaka juga hidup dalam pelarian terus menerus, terutama setelah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang gagal tahun 1926 dan 1927.
Buku Patjar Merah Indonesia tak dapat disangkal turut menjadikan sosok Tan Malaka semakin melegenda. Di Sumatera tempat mayoritas karya ini tersebar, terdapat kepercayaan akan kemampuan gaib Tan Malaka. Hal ini tampak dalam tiga karya tentang Pacar Merah maupun Tan Malaka yang dikarang oleh penulis lain, baik dalam bentuk buku maupun cerita pendek di surat kabar: Emnast (Muchtar Nasution), Tan Malaka di Medan, terbit sekitar tahun 1940; Yusdja, Moetiara Berloempoer, Tiga kali Patjar Merah Datang Membela, dan Patjar Merah Kembali ke Tanah Air, keduanya terbit di dalam Loekisan Poedjangga bertahun 1940. Bahkan, menurut Poeze, pada masa awal revolusi kemerdekaan, terbit sejumlah buku sejenis yang isinya meliputi harapan akan munculnya Tan Malaka yang sakti.
Nama-nama lain yang muncul di dalam kisah ini adalah nama para pemimpin PKI seperti Muso sebagai Paul Mussotte, Alimin sebagai Ivan Alminsky, Semaun sebagai Semounoff, Darsono sebagai Darsnoff, dan dua kawan seperjuangan Tan Malaka di dalam partai yang didirikannya, Pari (Partai Republik Indonesia), yaitu Djamaluddin Tamin sebagai Djalumin dan Soebakat sebagai Soe Beng Kiat.
Pengarangnya sendiri, Matu Mona, mengatakan kepada Poeze bahwa ia mendapatkan bahan-bahan untuk menulis cerita itu dari empat atau lima pucuk surat Tan Malaka kepada Adinegoro, Pemimpin Redaksi Pewarta Deli. Dalam surat-surat itu, Tan Malaka mengisahkan pengembaraannya dan gagasan-gagasannya tentang kemerdekaan Indonesia. Adinegoro memperlihatkan surat-surat tersebut kepada Matu Mona yang ketika itu menjadi redaktur Pewarta Deli.
Matu Mona mengambil nama Pacar Merah sebagai tokoh utama romannya dari buku terkenal karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, sosok pahlawan di masa Revolusi Perancis. Buku Orczy ini sukses besar sehingga Balai Poestaka menerbitkan edisi terjemahannya pada tahun 1928 dalam dua jilid yang berjudul Beloet Kena Randjau atau Patjar Merah Terdjerat dan Litjin Bagai Beloet.
Roman Patjar Merah Indonesia juga mendapat kemasyhuran yang sama di Hindia Belanda. Buku ini dicetak 3.000 eksemplar dan mendapat sambutan hangat. Pembaca segera meminta lanjutan ceritanya. Maka pada akhir 1938 terbitlah lanjutan cerita itu, yaitu Rol Patjar Merah Indonesia cs (Peranan Pacar Merah cs-Red). Menurut Poeze, pada 1940 kemungkinan besar terbit jilid ketiga cerita Pacar Merah. Akan tetapi hingga saat ini belum ada orang yang berhasil menemukannya.
(BI Purwantari/Litbang Kompas)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/21/pustaka/1218889.htm


TANGGAPAN BETA:

Seandainya anda beruntung menemukan ada sisa-sisa buku kuno ini di pasar loak, atau di gudang lawas kakek nenek anda, maka itu berarti anda benar-benar beruntung.. Kalangan kolektor berani membayar tinggi puluhan kali lipat untuk memiliki buku yang terbilang amat langka ini.
Nilai historis dam ‘komersial’ buku yang belum dicetak ulang itu, sekarang ini sangat luar biasa. Jauh melebihi nilai Di Bawah Bendera Revolusi yang merupakan kumpulan tulisan dan pidato Bung Karno. Bahkan malah melebihi nilai buku Koleksi Lukisan Bung Karno.
Di samping itu, meski dari sisi penggarapan segi penulisan niscaya tidak bisa dibandingkan dengan serial Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, namun Petualangan Pacar Merah Indonesia ini ada kesamaan yang mirip. Jika Pram melalui empat seri novel berkelas NOBEL, yakni Bumi Manusia; Anak Semua Bangsa; Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, menuturkan kisah Minke. Sosok nyata yang diangkat dari kisah tokoh Pers Nasional dan perintis pembentukan Sarekat Dagang Islamiah (kelak lebih dikenal sebagai Sarekat Islam – SI), yaitu riwayat Raden Mas Tirto Adi Soerjo.
Sebaliknya Pacar Merah, adalah Tan Malaka yang juga sama-sama jadi tokoh SI, perintis pendidikan rakyat nasional, pejuang buruh dan perintis pers. Namun karena kegiatan Tan Malaka memang banyak dilakukan di bawah tanah akibat dikuntit ketat dan selalu diincar oleh polisi rahasia Belanda, maka bumbu-bumbu kemisteriusan kisah Pacar Merah pun menjadi sangat kental. Sehingga mana yang fiksi dan mana yang fakta acap menjadi kabur. Yang pasti dari sisi misteri dan petualangan Tan Malaka memang jauh melampaui Che Guevara.
Agak beda dengan karya Pram yang didukung riset dan dokumentasi yang luar biasa, Pacar Merah lebih mengndalkan informasi tambahan berupa kabara burung dari mulut ke mulut.
Namun apa pun buku ini layak anda miliki . Paling tidak, sebaiknya harus pernah anda baca.

Tabik Beta
Dhia Prekasha Yoedha.
Itu tak terlepas dari watak Tan Malaka yang memang terus diselubungi aura misteri yang kental. Sangat sedikit orang yang tahu, apa, siapa, dan bagaimana orang yang pernah menjadi wali Komintern untuk Asia Tenggara --tapi belakangan seiring ayunan bandul ideologi kiri yang berebut pengaruh membangun tradisi baru Tan justru diburu sebagai buron pesakitan. Bukan cuma agen-agen Komintern yang mencari di Singapura, Hanoi, Bangkok, dan sebagainya. Saat akhirnya kembali ke tanah air usai pengembaraan ala James Bond melayu yang dilakoninya, Tan pun terlibat pada political play yang membuatnya juga bukan orang yang dikawani oleh sejumlah petinggi PKI pasca Muso, pun sebagian besar faksi di tubuh TNI yang masih orok usianya. Bahkan kematiannya pun masih terkabuti banyak tanda tanya yang tak berjawab.....


Ia mendedikasikan 36 tahun lebih sejak tahun 1971 untuk menguak perjuangan dan kematian Tan Malaka. Itulah pengabdian seorang Harry A Poeze (60), Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV di Leiden. Karya penelitian Poeze tentang babak akhir hidup Tan Malaka akhirnya tuntas Maret 2007 melalui penerbitan buku Tan Malaka: Verguisd en Vergeten (Tan Malaka: Dihujat dan Dilupakan).

Bermula dari rasa ingin tahu saat dia masih menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah di Amsterdam Universiteit, Belanda, Poeze terpikat pada sejarah peralihan dari abad ke-19 ke abad ke-20 yang penuh eksotisme Hindia Belanda. Itulah masa yang jadi inspirasi penulis besar, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Rob Nieuwenhuis.

Hindia Belanda kala itu berada dalam pengaruh kuat "Politik Etis" dan mempersiapkan putra-putra penggagas bangsa bernama Indonesia. Dia pun terpikat pada sebuah nama: Tan Malaka.

Nama besar Tan Malaka berulang kali muncul dalam karya-karya ilmuwan Amerika Serikat (AS), Ruth McVey, tentang kelahiran komunis di Indonesia. Rasa penasaran Poeze membawa dia pada awal penelitian mendatangi bekas sekolah dan rumah Tan Malaka di Haarlem, tak jauh dari Amsterdam.

"Tahun 1971 saya bertemu dengan 12 teman sekolah Tan Malaka yang masih hidup. Mereka sama-sama menempuh pendidikan guru (Kweek School) di Haarlem. Begitu dalam kesan yang ditinggalkan Tan Malaka. Bahkan, dokumentasi surat-surat dua guru dia di Sekolah Fort De Kock di Bukit Tinggi, yang memberi rekomendasi dan dukungan, masih terekam baik di Haarlem," cerita Poeze.

Tan Malaka memang amat pandai karena dialah satu-satunya siswa kulit berwarna di Kweek School yang ditempuhnya tahun 1913-1919. Masa Perang Dunia pertama ia lalui di Belanda. Bahkan, setelah dia lulus, direktur Kweek School ketika itu khusus meminta warga Belanda di Sumatera Utara memperlakukan Tan Malaka sebagai orang Eropa.

"Che Guevara Asia"

Penelusuran awal itu menjadi dasar skripsi Poeze. Materi itu juga menjadi bahan penulisan buku Dari Penjara ke Penjara. Poeze lalu melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1 hingga S-3. Tan Malaka, yang menurut Poeze adalah "Che Guevara Asia", menjadi obyek penelitiannya.

Penelusuran lebih lanjut dilakukannya di Eropa, Asia, Australia, dan AS. Arsip di Moskwa, Uni Soviet, pelbagai kota di Australia seperti Sydney dan Canberra, serta Washington DC, AS, jadi sumber penelitian.

Arsip Tan Malaka sebagai salah satu tokoh penting tercatat baik di AS dan Australia karena dua negara tersebut menjadi mediator perundingan Belanda-Indonesia pada pascakemerdekaan.

Setelah menyelesaikan disertasi tahun 1976, Poeze mengunjungi Indonesia dan membangun kontak di Jakarta. Namun, misteri Tan Malaka pasca-Proklamasi 1945 masih tertutup kabut gelap.

Kesempatan emas muncul tahun 1980 ketika Poeze bertemu dengan Hasan Sastraatmadja, mantan Sekretaris Tan Malaka, yang dengan antusias membuka pintu bagi penelitian Poeze. Hasan yang bermukim di Jakarta itu lalu memperkenalkan Poeze dengan sejumlah lawan maupun kawan Tan Malaka.

Pelbagai tokoh, seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX hingga Wakil Presiden Adam Malik ditemui Poeze. Adam Malik secara terbuka mendukung ide kerakyatan Tan Malaka, meski dia berdiri di kubu Golongan Karya.

Perjumpaan dia dengan para tokoh 1945 berlanjut, antara lain dengan Jenderal Abdul Harris Nasution, Muhamad Natsir (tokoh Masjumi), SK Trimurti, tokoh pemberontakan Madiun tahun 1948 Sumarsono, serta ratusan tokoh lainnya.

Namun, kesibukan dan tuntutan kerja menghadang upaya penulisan buku pada tahun 1981, saat Poeze ditunjuk menjadi Direktur Penerbitan KITLV Press. Meskipun demikian, dia selalu menyempatkan diri kembali ke Indonesia untuk mengumpulkan data.

Ke Gunung Wilis

Kesempatan menuntaskan misteri Tan Malaka datang tahun 1997 saat Poeze mendapat sabbathical leave selama setahun, yang digunakan untuk menulis buku. Bab I, Tan Malaka Verguisd en Vergeten ternyata memerlukan waktu sepuluh tahun untuk diselesaikan, setebal 2.200 halaman.

Poeze menemui pula tokoh-tokoh pada hari-hari terakhir Tan Malaka. Dia berkeliling ke beberapa pedesaan di kaki Gunung Wilis, Jawa Timur, tempat Tan Malaka bergerilya melawan Belanda.

Napak tilas ditempuhnya di Desa Belimbing yang menjadi markas dan pusat propaganda Tan Malaka bersama 50 anak buahnya. Desa Patje, tempat Tan Malaka ditahan pasukan Divisi Brawijaya pun dia sambangi.

Tempat terakhir, Desa Selo Panggung, yang menjadi puncak riset Poeze adalah tempat Tan Malaka ditembak mati pasukan Batalyon Sikatan pimpinan Letnan Dua Soekotjo. Tan Malaka tewas pada 21 Februari 1949.

"Bahkan, tubuhnya tak diperlakukan layak. Untung Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah berjanji mengirim tim forensik ke Desa Selo Panggung untuk mencari sisa jenazah Tan Malaka. Beliau bernasib tragis sebagai pahlawan nasional yang namanya timbul-tenggelam dalam sejarah, karena keberadaan dia tergantung pada kepentingan penguasa," tutur Poeze.

Fakta sejarah itu dipersembahkan Poeze untuk masyarakat Indonesia lewat buku yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, sebanyak enam jilid. Buku tersebut akan diluncurkan akhir tahun ini. Bagi Poeze, Tan Malaka adalah sosok pemimpin kerakyatan yang ideal bagi generasi sekarang.

Harta yang ditinggalkannya hanya sepasang kemeja, topi, celana, tongkat, pensil, dan buku tulis—benda yang menjadi andalan baginya untuk menulis sejarah. Tan Malaka membuktikan harta terbesar sebuah bangsa adalah kekayaan pemikiran yang disajikan lewat guratan pena.

*Digunting dari Harian Kompas Senin, 13 Agustus 2007
 
Template by : Boedy Template | copyright@2011 | Design by : Boedy Acoy