Jumat, 25 Januari 2008

Mengenang Widji Tukul

Padahal hari ini adalah peringatan hari kemerdekaan (yg katanya dah merdeka,nyatanya?). tetapi entah mengapa, aku justru ingin mengenal kang Wiji Thukul, dengan caraku sendiri.. ........
...........................
Seumpama bunga, Kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga, Kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga, Kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika Kami bunga, Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu telah Kami sebar biji-biji
Suatu saat Kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan : Engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami, Dimanapun
TIRANI HARUS TUMBANG (Wiji Thukul, 1987)

Seorang sahabat, Wiji Thukul

Oleh Linda Christanty

15.34, Selasa, 23 Juni 1998

MARCEL tidak kembali juga. Dia seperti serpihan dari
pesawat luar angkasa yang meledak di ruang hampa,
lepas dari jangkauan grafitasi bumi. Hilang. Begitu
pula, Sadeli. Kata H, menurut Mulya Loebis, Sadeli
mungkin sudah dieksekusi. Jati dan Reza sudah kembali.
Nezar, Aan, dan Mugi bebas bersyarat. Kata beberapa
kawan, Marcel disembunyikan para pastor di Filipina.
Tapi, aku tidak percaya. Menurut kawan-kawan, dia
hilang di Tangerang (setelah bertemu A). Aku pernah
sekali melihat ibunya muncul di televisi. Sepasang
mata perempuan itu redup berair. Bagaimana ia bisa
memahat sepasang mata yang selalu bersinar dan
terus-terang pada wajah putranya? N sempat bercerita
tentang 103 mayat korban penembakan serta penganiayaan
yang mengambang di Kali Bekasi, beberapa waktu setelah
kasus penembakan 12 mahasiswa Trisakti. Berita ini
ditayangkan Horison. Apakah mereka berdua ada di
antara mayat-mayat itu?

Marcel adalah nama lain untuk Bimo Petrus Anugerah,
sedang Sadeli adalah nama alias untuk Herman
Hendrawan. Keduanya tercatat sebagai aktivis Partai
Rakyat Demokratik yang hilang di masa pemerintah
Soeharto. Catatan harian ini ditulis sebulan setelah
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai
presiden dan meninggalkan sejarah kekerasan yang
panjang selama periode kekuasaannya. Setelah evakuasi
berkali-kali dalam keadaan yang tak menentu, juga
membakar berkas-berkas maupun dokumen demi menjaga
kerahasiaan gerakan waktu itu, ganjil rasanya
menemukan catatan semacam ini di tumpukan buku di masa
tenang.

Ada sebelas kawan saya yang diculik militer di masa
Soeharto. Empat orang tidak kembali dan seorang
ditemukan sudah menjadi mayat di jalanan. Tapi,
anehnya, catatan itu menunjukkan bahwa saya maupun
kawan lain tak pernah membicarakan Wiji Thukul sebagai
orang keempat. Kami tak menganggapnya sebagai kawan
yang mengalami penghilangan paksa, tak pernah menaruh
curiga ia turut menjadi korban. Saya -dan mungkin
banyak teman- mengira ia tengah bersembunyi di Solo
atau berada di suatu tempat, tapi situasi politik
waktu itu membuat kawan yang melindunginya
merahasiakan keber-adaannya dari yang lain. Ini juga
hal biasa dalam partai. Tak semua hal perlu diketahui
semua orang agar usia perjuangan bisa panjang.
Ternyata prasangka serupa terjadi pada istri Thukul,
Sipon. Saya mendengar Mbak Pon menyangka ada kawan
yang menyembunyikan suaminya dari kejaran militer.
Namun, setelah sekian lama Thukul tak ada,
masing-masing pihak mulai saling bertanya. Ternyata
Thukul memang tak disembunyikan pihak mana pun, Sipon
ataupun orang-orang PRD. Sejak itu pencarian Thukul
mulai dilakukan. Keluarga dan kawan-kawan Thukul
mendatangi lembaga bantuan hukum, mulai percaya bahwa
Thukul memang termasuk orang-orang yang hilang di masa
Soeharto. Pencarian ini terkesan sangat terlambat.
Thukul bahkan tak termasuk dalam daftar orang hilang
yang poster-posternya disebarkan Komisi Orang Hilang
dan Tindak Kekerasan, yang suatu kali pernah
terpampang di berbagai tembok kota dan rumah-rumah.

Siapakah Wiji Thukul ini? Mengapa ia hilang? Siapa
yang menghilangkannya?

Saya mendengar nama Thukul pertama kali pada 1994.
Ketika itu pembentukan Persatuan Rakyat Demokratik
baru saja selesai dan Wiji Thukul terpilih menjadi
ketua divisi budaya organisasi ini. Ada teman yang
menyarankan saya untuk bertemu Thukul. “Mungkin,
kalian bisa melakukan sesuatu lewat seni dan budaya,”
katanya. Ia juga menunjukkan sejumlah sajak Thukul
yang saya pikir menyalahi unsur-unsur estetika yang
saya pelajari di fakultas sastra. Sajak-sajak itu
tidak puitis dan pasti terkesan vulgar bagi banyak
mahasiswa di fakultas saya di masa Orde Baru. Bagi
mereka, sulit membayangkan keindahan dalam keadaan
yang kumuh dan miskin seperti kehidupan buruh, tukang
becak, atau masyarakat urban. Tak bakal ada keindahan
dalam got yang bau dan keringat yang mengucur deras,
yang bisa memicu kelahiran karya sastra. Kemiskinan
dan penderitaan hanya melahirkan lembaran pamflet,
bukan sajak atau puisi. Saya juga pernah punya
anggapan semacam itu, bahwa keindahan sejati hanya
terkandung dalam kisah-kisah cinta yang wangi.
Keindahan tak bisa beriringan dengan protes yang
mengandung kemarahan, tuntutan, dan kekecewaan,
seperti apa yang disebut Thukul puisi.

Teori-teori kesusastraan yang saya pelajari tak
berpihak pada sajak Thukul. Samuel Tylor Coloridge
(1772-1834), sastrawan di masa romantik telah menyebut
sajak sejenis karangan yang berlawanan dengan karya
sains, bersifat memberi kesenangan langsung. Padahal,
sajak Thukul lebih menimbulkan rasa gelisah ketimbang
kesenangan. Riffaterre, misalnya, mendefinisikan sajak
sebagai ‘mengatakan sesuatu tapi artinya lain’.
Definisi ini tak cocok dengan sajak Thukul yang lugas,
terang, dan tak suka main sembunyi-sembunyi itu.

Sajak dalam buku-buku teori sastra disyaratkan
memiliki ciri tertentu, antara lain berbentuk monolog
aku-lirik dan bermakna konotatif. Sajak harus
mengandung metafora, simile, atau alegori. Pendeknya,
untuk memahami sebuah sajak, tidak gampang.
Teori-teori tersebut tidak tepat untuk sajak-sajak
Thukul. Sajak-sajaknya tak pernah bermain kiasan atau
perbandingan yang rumit.

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!

Dalam bait Sajak Suara itu Thukul menyuarakan rasa
ketertindasan rakyat kecil di masa Soeharto, yang
dirinya pun menjadi bagian dari mereka. Seni bagi
Thukul adalah seni yang terlibat, menyatu dalam
dinamika masyarakatnya, bukan kumpulan imajinasi
belaka.

Pada tahun itu juga saya berangkat ke Solo dan menemui
Thukul di Kampung Kalangan bersama Raharja Waluya
Jati, kawan aktivis di Yogyakarta. Kami memasuki
pemukiman kumuh di tengah kota, yang dihuni para buruh
pabrik, tukang becak, kuli rendahan, dan orang-orang
yang paling tak diperhitungkan pendapatnya dalam
sebuah pemerintahan otoriter. Di tengah kampung inilah
sajak-sajak Thukul lahir. Thukul tak hanya menyuarakan
kesengsaraan mereka, tapi juga membangkitkan semangat
untuk melawan ketidakadilan itu. Sajak-sajaknya bukan
semata-mata hardikan pada kekuasaan, tapi juga jalan
keluar bagi orang yang ditindas, jalan yang tak
disukai penguasa, jalan melawan.

Kami melihat anak-anak kecil bertelanjang kaki
berlarian di bawah terik matahari, menghirup hawa
busuk yang menguap dari limbah industri. Kami berhenti
di muka sebuah rumah sewaan dan seorang pria kurus
berkaos oblong putih merek Swan menyambut di ambang
pintu. Betapa ringkihnya orang ini, pikir saya, tak
sepadan dengan keberanian sajak-sajaknya. Bicaranya
pelat dan derai tawa terdengar di ujung
kalimat-kalimatnya. Thukul tinggal dengan seorang
istri dan dua anak yang masih balita, Nganti Wani dan
Fajar Merah. Dia menyuguhkan singkong rebus pada
tamunya.

Kehidupannya miskin. Rumah itu berlantai tanah. Di
ruang muka membentang sehelai plastik biru bahan tenda
pedagang kaki lima yang berfungsi sebagai alas duduk.
Sebuah mesin jahit berada di tengah ruangan tersebut,
alat pencari nafkah si penghuni rumah. Kamar mandi
berbau tak sedap terletak di luar, tanpa kran air
ledeng.

Tapi, Thukul punya sebuah ruang istimewa;
perpustakaan. Ini satu-satunya kemewahan. Di sana ada
buku Antonio Gramsci, Bertolt Brecht, Raymond
Williams, Marx,�. Kebanyakan buku berbahasa Inggris.
Beberapa anak kampung tengah bertandang ke rumah
Thukul ketika kami datang. Mereka belajar menggambar
dengan teknik cukil kayu. Saya masih ingat salah
seorang yang ramah dan suka bertanya. Namanya,
Trontong. Nganti Wani kelihatan paling kecil, menyela
di antara mereka.

Anak-anak tersebut tergabung dalam Sanggar Suka
Banjir. Mereka belajar menggambar, mengarang, membaca,
dan bermain teater di situ. Thukul mengajarkan apa
yang tak mereka peroleh di sekolah, yaitu
mengekspresikan dengan jujur perasaan serta pengalaman
sehari-hari mereka. Semua karya bertumpu pada hal-hal
nyata. Bahkan, suatu hari sanggar ini mementaskan
lakon tentang banjir dan di akhir pertunjukannya
pemain serta penonton beramai-ramai mengunjungi rumah
lurah untuk mengadukan tanggul yang jebol. Melalui
permainan, Thukul telah menanamkan rasa percaya diri
pada anak-anak kampung agar tak gentar menyatakan
kebenaran. Dalam keterbatasan selalu ada jalan.
Kelompok teater dari luar Indonesia juga pernah
berkunjung ke Sanggar Suka Banjir dan membagi
pengetahuan baru untuk anak-anak tersebut. Kampung
Kalangan yang sempit seakan berubah luas, memberi
anak-anak miskin itu kegembiraan.

Thukul juga melatih buruh-buruh pabrik bermain teater.
Konsep sebuah teater buruh di Afrika Selatan
mengilhaminya. Buruh-buruh memerankan pengusaha,
satpam, mandor, supervisor, dan diri mereka sendiri.
Buruh yang memerankan majikan berdebat dengan buruh
yang memerankan dirinya. Mereka belajar bernegosisasi
lewat teater. Selama ini para buruh merasa tak punya
kemampuan menjelaskan tuntutan mereka di hadapan
pengusaha atau pihak departemen tenaga kerja yang
mereka sebut ‘orang-orang pintar’ itu. Kalimat-kalimat
mereka selalu dipatahkan dengan kelihaian pengusaha
berargumentasi. Tuntutan-tuntutan kesejahteraan mereka
tak dipenuhi. Thukul melatih buruh-buruh berbicara,
membangkitkan rasa percaya diri mereka untuk
berhadapan langsung dengan pemilik modal yang
menentukan upah mereka dalam kehidupan nyata. Latihan
ini semacam simulasi. Meski pengusaha punya pembela
hukum, buruh-buruh tak perlu gentar. Dengan bersatu,
kekuatan mereka akan lebih besar dan didengar. Thukul
melakukan pengorganisasian buruh dengan cara ini untuk
PRD, mengajak para buruh berjuang untuk memperoleh
hak-haknya.

Pada Agustus 1994, setelah beberapa kali bertemu, kami
sepakat membangun Jaringan Kerja Kesenian Rakyat dan
sepakat berpihak pada rakyat tertindas dalam
karya-karya kami. Bentuk jaringan dipilih berdasarkan
kondisi dunia kesenian saat itu, yang para pekerjanya
jauh dari pengalaman berorganisasi dan sukar
berdisiplin, menganggap organisasi identik dengan
pe-nyeragaman yang bisa mematikan kebebasan berkreasi
mereka. Orang tak punya referensi tentang organisasi
kesenian yang modern, selain paguyuban. Setidaknya,
bentuk jaringan ini tak membuat mereka merasa
dikekang.

Pengetahuan berorganisasi memang telah dihancurkan
sejak peristiwa 1965. Pemerintah Soeharto membubarkan
puluhan partai maupun organ sektoralnya menjadi tiga
partai yang telah mereka tentukan, yaitu Partai
Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan
Golongan Karya. Orde Baru tak memberi kebebasan pada
rakyat untuk mendirikan organisasi dan berbeda
pendapat. Rakyat yang terorganisasi bisa mempunyai
kekuatan untuk mengancam kekuasaan, punya posisi tawar
yang besar. Negara menciptakan organisasi untuk
mengontrol rakyat, menciptakan ketakutan bahwa dengan
tak masuk partai Golongan Karya atau Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia, misalnya, nasib seseorang bisa
buruk. Zaman itu tak banyak seniman yang berani
berseberangan dengan pemerintah Orde Baru. Wiji Thukul
tergolong mereka yang langka itu.

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun tirani harus tumbang!

Thukul menggunakan kiasan ‘tembok’ untuk penguasa, dan
‘bunga’ untuk rakyat yang dirampas tanah dan rumahnya
dalam sajak Bunga dan Tembok tadi. Sikapnya terhadap
tirani jelas tergambar dalam sajak: harus tumbang!

Thukul sudah dianggap menentang pemerintah jauh
sebelum ia terlibat dalam partai. Baginya perlawanan
terhadap ketidakadilan adalah naluri. Ia mempraktikkan
sikap ini pertama-tama pada lingkungan terdekatnya.
Thukul mengajak warga kampung beramai-ramai memprotes
keberadaan limbah pabrik bumbu masak yang menyebarkan
bau busuk. Akibatnya, ia harus berhadapan dengan
aparat setempat. Sajaknya tak hanya bernada
perlawanan, tapi juga mengajak orang untuk bersatu
melawan, mulai dari melawan pemilik pabrik sampai
pemerintah, mulai dari menentang tentara rendahan
sampai jenderal.

Pada 1989, Badan Koordinasi Intelijen Negara,
menelepon Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta
lantaran lembaga ini dianggap merekomendasikan
aktivitas berkesenian Thukul. “Kata BAKIN, Wiji Thukul
itu ‘kan orang yang mau mendongkel negara kita,” ujar
Jaap Erkelens dari Koninklijk Instituut Voor Taal,
Land en Volkenkunde, yang juga teman baik Thukul,
mengulang cerita orang lembaga tersebut.

“Thukul juga sudah langganan ditangkap dan disiksa
Koramil setempat,” kata Erkelens. Bahkan, pada masa
itu, Thukul sempat ditahan Koramil di Solo gara-gara
menerima paket buku dari Belanda. Pihak kantor pos
yang bekerja sama dengan militer telah melaporkan soal
kiriman tersebut.

“Sajak-sajak Thukul itu berisi protes sosial, yang
dalam hal ini terbentur pada politisi,” kata Erkelens,
lagi.

Di dalam negeri Thukul dimusuhi, tapi sajak-sajak
tersebut membuat Thukul memperoleh penghargaan
Wertheim Encourage Award yang pertama pada 1991
bersama penyair WS Rendra. Penghargaan ini dibuat
sebagai penghormatan pada sosiolog Belanda Willem
Frederik Wertheim, yang anti-kolonialisme dan tak suka
pada prilaku pemerintah Soeharto. Ketika Inter
Governmental Group on Indonesia (sekarang Consultative
Group on Indonesia), sebuah lembaga donor yang
diprakarsai pemerintah Belanda berdiri pada 1967,
Wertheim menulis artikel berjudul “Tuan Sudah
Kembali”, memperingatkan orang akan bentuk
kolonialisme baru yang lebih maju dan tersembunyi.

Untuk mempopulerkan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat,
masih pada 1994, organisasi ini mendukung pameran
pelukis Moelyono di Yogyakarta. Pameran Moelyono
bertema kehidupan nelayan. Kartu-kartu pos yang
dilukis anak-anak nelayan turut dipamerkan.
Kartu-kartu tersebut menunjukkan sikap aparat atau
rentenir yang terjadi di sekeliling mereka, juga
intimidasi dan ketidakadilan yang berlangsung
sehari-hari. Bila Thukul hidup dengan anak-anak kaum
miskin di perkotaan, Moelyono dekat dengan anak-anak
nelayan di wilayah pantai Tulung Agung, Jawa Timur.

Pada tahun ini juga, aksi petani terjadi di Ngawi,
Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan
orasi ditangkap serta dipukuli militer.

Dalam aksi-aksi massa semacam inilah, sajak-sajak
Thukul sering dibacakan. Aksi yang terkadang memakan
waktu berjam-jam dan tak jarang di tengah terik
matahari membuat pembacaan sajak menjadi hiburan,
selain memberi semangat dan ketidakgentaran menghadapi
militer yang selalu menghadang tiap aksi protes.

Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak
wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak
Suara, dan Bunga dan Tembok (ketiganya ada dalam
antologi Mencari Tanah Lapang yang diterbitkan oleh
Manus Amici, Belanda, pada 1994. Tapi, sesungguhnya
antologi tersebut diterbitkan oleh kerjasama KITLV dan
penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Nama penerbit fiktif
Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pelarangan
pemerintah Orde Baru).

Peringatan
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

1994 merupakan tahun yang ramai bagi situasi nasional.
Tiga media massa, Tempo, Detik, dan Editor dibredel.
Aksi protes berlangsung di Jakarta dan berbagai kota.
Para jurnalis turun ke jalan bersama mahasiswa dan
organisasi pro demokrasi seperti Pijar, SMID, Formaci,
Aldera, dan sebagainya. Akhirnya, tak semua rencana
bisa berjalan mulus untuk kesenian dan Jaringan.
Seiring situasi politik Indonesia yang makin represif
di masa Soeharto, PRD berkonsentrasi pada
peng-organisasian kaum buruh dan mendukung perjuangan
rakyat Timor Timur untuk merebut kemerdekaannya. Pada
Mei 1995, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia, onderbouw
partai, melakukan aksi mogok bersama sekitar 5000
buruh PT Great River di gedung DPR RI, Jakarta,
disusul aksi lompat pagar kedutaan beberapa negara

0 komentar:

 
Template by : Boedy Template | copyright@2011 | Design by : Boedy Acoy