Jumat, 01 Agustus 2008

GERAKAN PETANI: Mereka yang tak mau tunduk

”Sebelum PT Semen Gresik membangun pabrik semen, mereka harus bisa menjelaskan dulu hakikat kesejahteraan karena kami merasa saat ini sudah sejahtera tanpa ada pabrik,” kata Gunretno, petani dari Dusun Bombong, Desa Batureo, Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah.

Gunretno adalah salah satu tokoh muda Sedulur Sikep atau yang oleh orang luar biasa disebut masyarakat Samin—mengacu pada tokoh gerakan ini, Samin Surontiko—yang memelopori gerakan pembangkangan melawan feodalisme birokrasi Jawa dan penjajahan Belanda pada tahun 1890-an.

”Dari dulu warga Sedulur Sikep tidak pernah kelaparan. Kami tidak miskin. Pemerintah saja yang selalu salah tanggap, menganggap kami miskin sehingga kami dimasukkan ke dalam kelompok masyarakat adat tertinggal sehingga harus diberi bantuan. Padahal, kami tidak pernah meminta bantuan,” kata dia.

Dalam perspektif masyarakat Sedulur Sikep, kesejahteraan bukan semata dihitung dengan berapa banyak nilai uang yang dihasilkan, melainkan kemandirian berusaha sebagai petani. Itu artinya, faktor produksi yang mendukung pertanian, seperti sumber air dan lahan, harus terus dipelihara.

Anyaman gerakan

Gunretno, sebagaimana Sedulur Sikep lainnya, tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah formal. Namun, dia tak bodoh dan tak mudah dibodohi. Dia fasih membaca, berhitung, dan ke mana-mana menenteng laptop. Pergaulannya luas, dari dalam maupun luar negeri.

Ketika PT Semen Gresik membawa rombongan pejabat dan anggota dewan di Kabupaten Pati, tokoh masyarakat, dan wartawan ke sekitar pabrik semen di Tuban, Jawa Timur, Gunretno membawa 50 warga Sukolilo bergerilya ke daerah yang sama dengan biaya sendiri.

Mereka tak mau tunduk dengan penjejalan informasi yang ingin dilakukan oleh PT Semen Gresik melalui studi banding itu. Mereka ingin melihat sendiri apa yang terjadi di sana melalui pintu belakang yang selama ini ditutup rapat-rapat.

Minggu, 20 April 2008, sebanyak 50 warga Sukolilo menyewa bus ke Tuban. Mereka bertemu muka dan melihat sendiri kehidupan warga yang digembar-gemborkan PT Semen Gresik menjadi sejahtera setelah dibangunnya pabrik. Hasil perjalanan warga itu didokumentasikan warga menggunakan kamera video dan catatan tertulis.

Hasil studi banding yang diprakarsai PT Semen Gresik menghasilkan laporan ”cerita sukses” dari penambangan, misalnya tentang iming-iming peningkatan pendapatan asli daerah Tuban dan janji-janji kemakmuran warga lokal. ”Cerita sukses” itu kemudian dirilis di media-media massa.

Narasi yang berbeda muncul dari rekaman video, yang diedarkan warga dalam keping compact disk (CD) ataupun rekaman memori kolektif warga desa. ”Setelah kami datang sendiri dan berbicara dengan warga sekitar pabrik Semen Gresik di Tuban, kami semakin menolak rencana pembangunan pabrik semen di Sukolilo,” kata Sapari, warga Sukolilo.

Di Tuban, Sapari dan puluhan warga Sukolilo lainnya menemukan kenyataan, warga sekitar pabrik semakin miskin setelah tanah-tanah mereka dibeli pabrik. Sebagian warga pada waktu itu mengaku dipaksa menjual lahan.

Lingkungan menjadi rusak, debu dari pabrik beterbangan, bunyi ledakan bukit-bukit kapur merontokkan genteng, dan air mengering. Lapangan kerja di pabrik juga sulit dimasuki. Suasana itu terekam dalam CD yang diedarkan warga untuk warga, menjadi semacam sarana penyampaian pesan yang efektif.

Tak bisa padam

Perlawanan petani Sukolilo, yang dimotori oleh Sedulur Sikep, semakin menguatkan fakta bahwa gerakan petani di Indonesia tidak benar-benar padam. Bentuk-bentuk perlawanan petani, baik bersifat individual, kolektif, maupun pemberontakan, terus terjadi di Indonesia.

”Gerakan rakyat dari dulu ada dan tak pernah bisa dipadamkan,” kata Hendro Sangkoyo dari School of Democratic Economy, gerakan itu terus berakumulasi.

Pemberontakan petani Banten, Ciomas, Cimareme, dan gerakan rakyat Samin serta berbagai peristiwa yang memperlihatkan gerakan resistensi petani tak pernah putus. Sejarawan Onghokham (1994) mencatat, sejak tahun 1830, seusai Perang Diponegoro hingga awal abad ke-20, sekitar tahun 1908, terjadi lebih dari 100 aksi resistensi petani, dari bentuk yang paling lunak sampai pemberontakan.

Dalam pengamatan Hendro, gerakan petani di Sukolilo memiliki akar sejarah yang panjang dalam rangkaian perlawanan petani Indonesia. Gerakan ini adalah gerakan sejati yang digerakkan oleh kesadaran paling dalam terhadap lingkungan sekitar mereka.

Gerakan hampir serupa saat ini makin marak terjadi di tempat lain, misalnya gerakan perlawanan petani Kulonprogo, Yogyakarta, terhadap rencana pembangunan industri pengolahan pasir besi. Ciri gerakan ini adalah motor penggeraknya berasal warga lokal, yang berangkat dari kesadaran untuk menegakkan kedaulatan bertani.

Mereka juga tidak membutuhkan ”pihak luar” untuk ”memberdayakan” karena mereka sendiri sebenarnya yang lebih menguasai permasalahan. Pihak luar, dari kalangan organisasi nonpemerintah ataupun kalangan akademisi, biasanya akan dipanggil hanya jika mereka merasa membutuhkan.

”Beberapa waktu lalu, warga yang menolak pembangunan pabrik semen dipanggil polisi. Akhirnya, kami laporkan masalah itu ke LBH. Pemanggilan itu sepertinya tidak diteruskan lagi,” kata Sapari. Masyarakat seakan menggunakan LBH sebagai kawan untuk meningkatkan posisi tawar mereka di hadapan penguasa.

”Banyak LSM dan akademisi yang datang ke sini. Kami terima sebagai kawan untuk menguatkan. Tapi, kami tidak bergantung pada mereka,” kata Gunretno.

Petani yang selama ini dicitrakan sebagai kelompok ”pasif”, sehingga harus ”diberdayakan”, mesti dibongkar. ”Gerakan petani di Sukolilo menunjukkan, rakyat memiliki kemampuan melawan kerusakan dan sanggup memulihkannya sendiri. Mereka juga sanggup membangun jaringan sendiri,” ujar Hendro.

Karena itu, di mata Hendro, aktivis gerakan sosial, yang tidak peka dengan perkembangan gerakan baru ini dan masih menggunakan pendekatan lama yang memandang rendah kemampuan petani pasti akan ditinggalkan petani.

Sayangnya, gerak yang sangat dinamis di bawah itu tidak terkejar oleh pendekatan-pendekatan yang dilakukan pemerintah. Jadi, selalu saja, gerakan rakyat dicurigai ada dalangnya, yang biasanya diasosiasikan berasal dari kalangan organisasi nonpemerintah ataupun kelompok politik tertentu. ”Orang-orang yang menolak pabrik semen dituduh menerima uang dari LSM. Padahal, ini murni gerakan petani. Untuk pergi ke Tuban, kami juga iuran,” kata Gunretno.

Gerakan petani Sukolilo, yang dimotori Sedulur Sikep, seperti masih akan panjang karena atas nama pendapatan asli daerah, pemerintah telah menutup mata terhadap hakikat kesejahteraan sebagaimana digugat oleh warganya sendiri....

Jumat, 1 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Oleh Ahmad Arif dan Sri Hartati Samhadi

0 komentar:

 
Template by : Boedy Template | copyright@2011 | Design by : Boedy Acoy