Selasa, 13 Mei 2008

Pemindahan Ibukota Indonesia dari Jakarta

Pertama-tama
kita harus sadar bahwa pemindahan ibukota dari satu kota ke kota lain
adalah hal yang biasa dan pernah dilakukan. Sebagai contoh, Amerika
Serikat pernah memindahkan ibukota mereka dari New York ke Washington
DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, sementara Brazil memindahkan ibukotanya
dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Indonesia sendiri pernah memindahkan
ibukotanya dari Jakarta ke Yogyakarta.

Saat
ini Jepang dan Korea Selatan tengah merencanakan pemindahan ibukota
negara mereka. Jadi pemindahan ibukota bukanlah hal yang tabu dan
sulit. Soeharto sendiri sebelum lengser sempat merencanakan pemindahan
ibukota Jakarta ke Jonggol.

Kenapa kita harus memindahkan ibukota dari Jakarta? Apa
tidak repot? Apa biayanya tidak terlalu besar? Jawaban dari pertanyaan
ini harus benar-benar tepat dan beralasan. Jika tidak, hanya
buang-buang waktu, tenaga, dan biaya.

Pertama
kita harus sadar bahwa ibukota Jakarta di mana lebih dari 80% uang yang
ada di Indonesia beredar di sini merupakan magnet yang menarik penduduk
seluruh dari Indonesia untuk mencari uang di Jakarta. Arus urbanisasi
dari daerah ke Jakarta begitu tinggi. Akibatnya jika penduduk Jakarta
pada zaman Ali Sadikin tahun 1975-an hanya sekitar 3,5 juta jiwa, saat
ini jumlahnya sekitar 10 juta jiwa. Pada hari kerja dengan pekerja dari
wilayah Jabotabek, penduduk Jakarta menjadi 12 juta jiwa.

Jumlah
penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diperkirakan
sekitar 30 juta jiwa. Padahal tahun 1986 jumlahnya hanya sekitar 14,6
juta jiwa (MS Encarta). Jika Jakarta terus dibiarkan jadi ibukota, maka
jumlah ini akan terus membengkak dan membengkak. Akibatnya kemacetan
semakin merajalela. Jumlah kendaraan bertambah. Asap kendaraan dan
polusi meningkat sehingga udara Jakarta sudah tidak layak hirup lagi.
Pohon-pohon, lapangan rumput, dan tanah serapan akan semakin berkurang
diganti oleh aspal dan lantai beton perumahan, gedung perkantoran dan
pabrik. Sebagai contoh berbagai hutan kota atau tanah lapang di kawasan
Senayan, Kelapa Gading, Pulomas, dan sebagainya saat ini sudah
menghilang diganti dengan Mall, gedung perkantoran dan perumahan.

Hal-hal di atas akan mengakibatkan:
Jakarta akan jadi kota yang sangat macetDengan
banyaknya orang bekerja di Jakarta padahal rumah mereka ada di
pinggiran Jabotabek, akan mengakibatkan pemborosan BBM. Paling tidak
ada sekitar 6,5 milyar liter BBM dengan nilai sekitar Rp 30 trilyun
yang dihabiskan oleh 2 juta pelaju ke Jakarta setiap tahun.Dengan
kemacetan dan jauhnya jarak perjalanan, orang menghabiskan waktu 3
hingga 5 jam per hari hanya untuk perjalanan kerja.Stress meningkat akibat kemacetan di jalan.Penyakit
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) juga meningkat karena orang
berada lama di jalan dan menghisap asap knalpot kendaraanBanjir dan kekeringan akan semakin meningkat karena daerah resapan air terus berkurang.Jumlah
penduduk Indonesia akan terpusat di wilayah Jabodetabek. Saat ini saja
sekitar 30 juta dari 200 juta penduduk Indonesia menempati area 1500
km2 di Jabodetabek. Atau 15% penduduk menempati kurang dari 1% wilayah
Indonesia.Pembangunan
akan semakin tidak merata karena kegiatan pemerintahan, bisnis, seni,
budaya, industri semua terpusat di Jakarta dan sekitarnya.
Untuk
itu diperlukan penyebaran pusat kegiatan di berbagai kota di Indonesia.
Sebagai contoh, di AS pusat pemerintahan ada di Washington DC yang
jumlah penduduknya hanya 563 ribu jiwa. Sementara pusat bisnis ada di
New York dengan populasi 8,1 juta. Pusat
kebudayaan ada di Los Angeles dengan populasi 3,9 juta. Pusat Industri
otomotif ada di Detroit dengan jumlah penduduk 911.000 jiwa.

Di AS kegiatan tersebar di beberapa kota. Tidak tertumpuk di satu kota. Sehingga pembangunan bisa lebih merata.

Indonesia
juga harus begitu. Semua kegiatan jangan terpusat di Jakarta. Jika
tidak, maka jumlah penduduk kota Jakarta akan terus membengkak. Dalam
10-20 tahun, Jakarta akan jadi kota yang mati/semrawut karena jumlah
penduduk yang terlampau banyak (saat ini saja kemacetan sudah luar
biasa).

Biarlah Jakarta cukup menjadi pusat bisnis. Untuk pusat pemerintahan, sebaiknya dipindahkan ke Kalimantan Tengah.

Kenapa Kalimantan Tengah? Kenapa tidak di Jawa, Sulawesi, atau Sumatra?

Pertama
Jawa adalah pulau kecil yang sudah terlampau padat penduduknya. Luas
pulau Jawa hanya 134.000 km2 sementara jumlah penduduknya sekitar 135
juta jiwa. Kepadatannya sudah mencapai lebih dari 1.000 jiwa per km2.
Apalagi pulau Jawa yang subur dengan persawahan yang sudah mapan
seharusnya dipertahankan tetap jadi lahan pertanian untuk mencukupi
kebutuhan pangan di Indonesia. Selama ibukota tetap di Jawa, pulau Jawa
akan semakin padat dan pembangunan tidak tersebar ke seluruh Indonesia.

Ada pun pulau Sumatera letaknya relatif agak di Barat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 42 juta, pembangunan di Sumatera sudah cukup lumayan.

Sulawesi
dengan luas 189.000 km2 dan jumlah penduduk sekitar 15 juta jiwa masih
terlalu kecil wilayahnya. Sumatera dan Sulawesi adalah pulau yang subur
dan cocok untuk pertanian. Jadi sayang jika pertumbuhan jumlah penduduk
dipusatkan di situ. Belum lagi kedua wilayah ini rawan dengan gempa
bumi dan tsunami.

Ada
pun Kalimantan luasnya 540.000 km2 dengan jumlah penduduk hanya 12 juta
jiwa. Pulau Kalimantan jauh lebih luas dibanding pulau Jawa, Sumatera,
dan Sulawesi dan jumlah penduduknya justru paling sedikit.

Di
pulau Kalimantan juga tidak ada gunung berapi dan tidak ada gempa.
Sementara di pesisir Kalimantan Tengah yang berbatasan dengan Laut Jawa
juga ombak relatif tenang dan aman dari Tsunami. Ini cocok untuk jadi
tempat ibukota Indonesia yang baru.

Jika iya, apakah ibukota memakai kota yang sudah ada seperti Palangkaraya atau membuat kota baru sama sekali?

Jika
membuat ibukota dari kota yang sudah ada seperti Palangkaraya, ini akan
menimbulkan 2 kendala besar. Pertama perencanaan pembangunan jadi tidak
fleksibel. Sulit untuk merencanakan tata ruang baru karena ruang yang
ada sudah terpakai. Sebagai contoh, sulit untuk membuat jalan protokol
selebar jalan Thamrin dan Sudirman karena jalan yang sudah ada
ukurannya kecil. Jika dipaksakan, harus menggusur gedung-gedung di
sekelilingnya. Ini jumlahnya banyak sekali dan biayanya juga tentu
sangat besar.

Kedua,
karena tanah yang diperlukan sudah ada yang memiliki, akan ada banyak
spekulan tanah yang menjual tanahnya dengan harga yang sangat tinggi.
Per meter persegi bisa 2-3 juta lebih. Biaya pembangunan ibukota bisa
meroket dengan tinggi. Untuk pelebaran jalan, gedung pemerintahan dan
rumah dinas seluas total 50 km2 saja bisa mencapai Rp 500 trilyun
rupiah lebih.

Oleh
karena itu lebih mudah dan lebih murah membangun ibukota baru dari
tanah kosong milik negara. Idealnya ibukota baru ini memakai lahan
bekas HPH yang sudah gundul dan terletak di pinggir sungai. Jarak ke
pantai sebaiknya tidak lebih dari 50 km sehingga bisa jadi pusat
pelabuhan.

Dengancara ini, seandainya harus ada pembebasan lahan, biayanya tak lebihdari 10 ribu / m2. Jadi seandainya lahan yang diperlukan 500 km2, makabiaya pembebasan lahan hanya Rp 5 trilyun.

Apakah negara akan rugi karena biaya pembangunan ibukota sangat tinggi?

Pembangunan
ibukota biayanya memang cukup tinggi. Tapi akan lebih tinggi lagi
biayanya baik dari segi kesehatan mau pun biaya jika kita tetap memakai
Jakarta sebagai ibukota. Selain itu pemerintah bisa memakai pembangunan
ibukota baru sebagai sarana untuk mendapatkan uang. Bagaimana caranya?

Dari
500 km2 luas ibukota baru, tidak semuanya dipakai pemerintah.
Pemerintah hanya memakai 50 km2 untuk jalan, gedung pemerintah, dan
rumah dinas. 100
km2 bisa dipakai untuk hutan dan taman kota. Sisanya 350 km2 bisa
dijual untuk bisnis dan umum dengan harga Rp 500.000-1.000.000 /m2.
Paling tidak pemerintah bisa mendapat 175 hingga 350 trilyun rupiah
dari penjualan lahan. Ini bisa dilakukan secara bertahap. Beberapa kota
swasta seperti Lippo City, Lippo Karawaci, dan juga BSD sudah
menerapkan hal ini. Pemerintah dengan dukungan dana APBN seharusnya
juga bisa. Jadi dari sisi dana seharusnya tidak masalah.

Total
pembangunan gedung pemerintah sendiri paling hanya sekitar Rp 20
trilyun. Ini cukup untuk 200 gedung @ Rp 100 milyar. Total biaya
diperkirakan mencapai Rp 150 trilyun. Jika dilakukan secara bertahap
dalam 5 tahun maka biayanya Rp 30 trilyun per tahun atau kurang dari 4%
jumlah APBN yang mencapai sekitar Rp 800 trilyun. Biaya ini bisa
ditutup nantinya dengan dana dari hasil penjualan lahan senilai Rp
175-350 trilyun.

Ibukota
baru ini sebaiknya berjarak tidak lebih dari 200 km dari kota yang
sudah ada, sehingga bisa mendapat dukungan logistik dari kota tersebut
selama ibukota masih dalam pembangunan. Ibukota baru ini juga akan
menghidupkan kota-kota di sekelilingnya.

Usulan Lokasi Ibukota Baru

Usulansaran saya ibukota baru ini dinamakan Kota Merdeka dengan letak 30 kmdari kota Pangkalanbun dan terletak di tepi sungai yang lebarnya 1-2 km(lihat peta) dan berjarak 40 km dari laut. Jadi kota inibisa jadi kota pelabuhan, aman dari tsunami. Selain itu dengan sungaiyang lebar akan ada pemandangan River View ala kota-kota Eropa, AS, danAustralia, di mana kapal-kapal besar bisa masuk melewati sungai.

Kota
ini jaraknya 670 km dari Jakarta. Jadi kurang lebih sama dengan jarak
kota Surabaya-Jakarta. Dengan pesawat terbang dapat ditempuh kurang
dari satu jam.

Diharapkan
dengan adanya ibukota baru ini, Jakarta tetap menjadi pusat bisnis,
sementara kota yang baru (Kota Merdeka?) menjadi pusat pemerintahan
pembangunan dan penyebaran penduduk di Indonesia lebih merata.
Memang
pemindahan ibukota tidak harus dilakukan sekarang. Tapi dalam 10 tahun
ke depan mau tidak mau harus pindah. Jadi harus dipikirkan dan
direncanakan mulai dari sekarang.

Berikut berbagai artikel tentang pemindahan ibukota negara:

http://www.guardian.co.uk/world/2004/aug/12/northkorea
South Korea to move capital 100 miles south
This article appeared in the Guardian on Thursday August 12 2004 . It was last updated at 23:49 on August 11 2004.
The
South Korean government confirmed yesterday that it is to create a new
capital in what will be one of Asia's biggest ever construction
projects.

Under
the £26bn scheme, a site in the sleepy region of Gongju-Yongi 100 miles
south of Seoul will replace it as the seat of parliament and government
by 2020. Despite sharp divisions among the public and the mixed results
of similarly ambitious projects by other states, president Roh Moo-hyun
insists relocation is necessary to ease chronic overcrowding in Seoul,
redistribute the state's wealth, and lessen the danger of a bombardment
by North Korea.

· In 1956 Brazil's capital moved from lively, crowded Rio to remote Brasilia. But spectacular buildings alone failed to attract the crowds

·
Australia's government decided to build Canberra in 1908. A functional,
elegant city was created, though many residents escape to Sydney for
nights out

· In a symbolic gesture, the German government moved from Bonn to Berlin in 1991. But resources are still split between the two cities

http://geography.about.com/library/weekly/aa101199.htm

Japan to Relocate Capital from Tokyo
Dateline: 10/11/99

In
1990, the Diet (Japan's parliament) passed a resolution to investigate
moving Japan's capital city out of Tokyo. Within a few weeks, a
committee will present their choice for the location of a brand-new
capital city to the Prime Minister.

The
idea for moving the capital in Japan was first proposed and discussed
when Tokyo hosted the 1964 Olympic Games. Now, the Diet wants to move
the capital out of Tokyo to alleviate the "excessive concentration" of
political and economic functions in the world's largest megalopolis of
33 million people. In addition, the possible breakdown of government
functions in the event of a major earthquake striking Tokyo further led
the Diet to legislate the move.

In
1868, with the Meiji Restoration, the Japanese imperial capital moved
from Kyoto to the town of Edo (which had served as a quasi-capital
since 1603) and Edo was was renamed Tokyo. Tokyo is the worlds most
populous urban area and houses 26% of the country's population. In a
recent study, Japanese researchers found that the cost of housing in
Tokyo is over four times the cost of similar housing in Paris and well
over three times the cost of similar housing in New York City.

Memindahkan Ibukota, Membangun Indonesia
http://eddysatriya.blogspot.com/2007/11/memindahkan-ibukota-membangun...

Memindahkan Ibukota dari Jakarta?
Kalau
memang ada niat untuk memindahkan ibukota, maka ada dua pilihan:
memanfaatkan kota yang sudah ada, atau merancang daerah khusus ibukota
sejak awal. Wikipedia mencatat ada beberapa ibukota negara yang
dirancang khusus sebagai daerah ibukota, misalnya Brasilia, New Delhi,
Canberra dan Washington, DC. Kelebihan kota-kota ini adalah bahwa
kota-kota ini didesain khusus dari awal sebagai daerah ibukota, tidak
seperti Jakarta yang terbentuk akibat urbanisasi.

Selain
itu, beberapa negara memiliki lebih dari satu ibukota. Sebagai contoh
Malaysia memiliki dua kota yang berfungsi sebagai ibukota: Kuala Lumpur
dan Putrajaya, atau Belanda yang memiliki Amsterdam dan Den Haag.
Bahkan Afrika Selatan memiliki tiga buah ibukota sekaligus: Pretoria,
Cape Town dan Bloemfontein.
http://priyadi.net/archives/2006/09/29/memindahkan-ibukota-dari-jakarta/

Memindahkan Pusat Pemerintahan, Lalu Memindahkan Ibu Kota
http://andrinof.wordpress.com/2007/05/31/memindahkan-pusat-pemerintahan/

Memindahkan Ibukota Negarahttp://beritasore.com/2008/02/09/memindahkan-ibukota-negara/

Seputar Wacana Memindahkan Ibukota NegaraPemindahan ibukota negara dari Jakarta sebenarnya bukanlah hal yang baru. Ibukota
Republik Indonesia pernah beberapa kali pindah antara tahun 1945-1950,
yakni dari Jakarta ke DI Yogyakarta, lalu ke Bukittinggi, Sumatera
Barat, sebelum dipindahkan lagi ke Jakarta. Pada
masa penjajahan Belanda dulu, Bogor juga pernah menjadi tempat gubernur
jenderal dan Batavia (sekarang Jakarta) menjadi pusat dagang. Sejumlah negara pun pernah memindahkan ibukotanya dengan berbagai alasan. Beberapa
negara juga memisahkan pusat pemerintahan dengan pusat bisnis. Pusat
pemerintahan AS berada di Washington, dengan pusat bisnis di New York,
sedangkan pusat pemerintahan Malaysia berada di Putrajaya, dengan pusat
bisnis di Kuala Lumpur. (*)
A Nizami


http://infoindonesia.wordpress.com

0 komentar:

 
Template by : Boedy Template | copyright@2011 | Design by : Boedy Acoy