Minggu, 04 Mei 2008

Mengenal sekilas Mereka yang ada di Kiri Jalan

Sepanjang pengetahuanku, orangtuaku tidak pernah ikut gerakan kiri di masa muda mereka. Sepanjang pengetahuanku, tidak ada paman dan bibi langsung yang pernah ikut gerakan kiri di masa muda mereka. Tolong dicatat, paman dan bibi langsung. Maklum, sebagai seorang batak, hubungan perkerabatan bisa menjadi sangat luas, karena itu, aku merasa perlu membatasi hubungan perkerabatan. Kalau ada kerabat jauh yang terlibat gerakan kiri, bisa saja ditemukan. Sepanjang pengetahuanku, orangtuaku tidak pernah ikut gerakan kiri di masa muda mereka. Sepanjang pengetahuanku, tidak ada paman dan bibi langsung yang pernah ikut gerakan kiri di masa muda mereka. Tolong dicatat, paman dan bibi langsung. Maklum, sebagai seorang batak, hubungan perkerabatan bisa menjadi sangat luas, karena itu, aku merasa perlu membatasi hubungan perkerabatan. Kalau ada kerabat jauh yang terlibat gerakan kiri, bisa saja ditemukan. Walaupun, untuk itu aku ragu. Hal-hal semacam ini umum disembunyikan rapat-rapat dari pihak luar.

Ketika itu memang bisa dirahasiakan.

Kesulitan selalu menghadang bukan saja orang yang langsung terlibat dalam Partat Komunis Indonesia (PKI), tetapi garis keturunan orang PKI. Tidak ada kehidupan mapan, yang ada kerja paksa. Tidak ada hidup tenang di hari tua, bayangan buruk masa lalu selalu menghantui. Tidak ada promosi jabatan, bahkan memperoleh pekerjaan layakpun sulit.

Bahaya laten komunis. Tiga kata yang menjadi slogan untuk menjauhi komunisme. Jawaban untuk pertanyaan mengapa harus dijauhi. Tanpa ada jawaban bagi pertanyaan apa itu komunisme.

Pembunuh. Biadab. Ateis. Tiga kata identik dengan komunis. Setidaknya, bagi aku.

Film itu selalu ditayangkan setiap tanggal 30 September. Film yang bercerita tentang peristiwa di tahun 1965. Pembunuhan para jenderal. Aku tidak pernah menonton. Resume yang harus dibuat untuk keperluan sekolah, tidak pernah aku kumpulkan. Aku hanya tidak suka melihat film yang begitu semangat menceritakan pembunuhan yang digambarkan begitu sadis. Darah di layar kaca, jelas menjadi sesuatu yang selalu aku hindari.

Perjalanan ke museum Lubang Buaya, adalah ingatan yang samar. Aku bahkan tidak ingat, kapan itu dilakukan. Maklum, aku hanya berdiri di luar bangunan. Diam. Bosan. Kesal. Aku sempat mengintip sedikit isi museum. Cukup sekerlingan mata, aku tahu, aku akan segera pusing kepala dan mual. Aku memutuskan untuk diam di satu tempat. Melupakan tugas dari guru, dan tidak perduli dengan nilai yang akan aku peroleh dari kunjungan tersebut. Darah di dalam sebuah fotopun, cukup menjadi alasan untuk pergi.

Buku PSPB – Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa, penuh dengan coretan spidol hitam. Foto-foto peristiwa 30 September yang ditutup. Lagi-lagi, aku memilih memperoleh nilai jelek karena tidak bisa membaca tulisan yang tertera di balik foto-foto itu, ketimbang harus tanpa sengaja memandangi foto yang membuat aku terpaksa ke WC sekolah karena mual. Itupun, tetap membuat aku tahu, komunisme harus dijauhkan. Hati-hati. Bahaya laten komunis.

Siang itu, aku diperkenalkan dengan teman-teman sekelasku. Nadya Nikolaeva, Rusia. Pawel Zimnicki, Polandia. Norbert Pretnicki, Polandia. Joseph Durbak, Slovakia. Dessilava Kirril, Bulgaria. Anna-Maria, Romania. Jolita Piliutyte, Lithuania. Felix Alvaradosotolongo, Kuba.

Bekas negara komunis, kecuali Kuba tentu saja. Tidak percaya Tuhan, pikiranku selanjutnya.

Nadya Nikolaeva, setia merayakan Natal Katolik Ortodox yang jatuh pada bulan Januari. Walaupun tidak rutin, sesekali ia pergi ke gereja Rusia di Rotterdam. Sekali dua, dia bahkan ikut acara persekutuan yang diadakan komunitas kristen di Erasmus University.

Pawel Zimnicki, sangat bangga dengan Paus Yohanes Paulus II. Masih aku ingat kegusarannya,”you don’t know that The Pope is Polish?” Waktu itu tahun 2000. Paus Yohanes Paulus II masih hidup. Ada gereja khusus untuk Pawel di Rotterdam. Ibadah dilakukan dalam Bahasa Polandia. Kalau aku temani, Pawel akan selalu ke gereja itu setiap hari Minggu.

“Ah, you believe in God?” tanyaku setengah tidak percaya. Kalimat yang membuat mereka menyengertkan dahi. Beberapa tersenyum. Satu dua orang menjadi gusar.

“I’m atheist,” Jolita menatapku. Waktu itu, kami tengah membersihkan dapur. Aku diam. Tidak tahu mau berkata apa. Kemudian aku tahu, Jolita hanya tidak menyukai ritual dan pemujaan terhadap agama. Jolita percaya Tuhan ada.

Hanya saja, tidak ada dari mereka yang mau kembali ke jaman komunis. Itu yang mereka katakan. Ekonomi bebas, menjadi dambaan.

Nadya bilang, ”eventhough I am an economist by education, I don’t understand this class at all.” Itu pengakuan yang dibuat pada saat kami harus mengambil kelas pengantar ekonomi perkotaan. Nadya dan Dodo, dua ekonom tersebut, belajar tentang ekonomi tertutup sampai saat mereka berada di kelas itu.

Ekonomi terbuka dan ekonomi tertutup.

Lebih dari 3 sks aku habiskan untuk belajar ekonomi di universitas. Tidak pernah aku tahu tentang ekonomi tertutup. Tanyakan padaku siapa itu Adam Smith, Keynes. Silahkan berdiskusi tentang equilibrium atau laissez-faire si tangan tak terlihat. Aku akan menjawab dan berdiskusi dengan senang.

Aku tidak tahu apa-apa tentang ekonomi tertutup.

Marx, aku ketahui sebagai sebuah nama. Itupun sangat negatif. Sebisa mungkin, tidak usah disebutkan.

Neoliberalisme. Sebuah istilah baru yang berkali-kali aku dengar di medio 2004. Aku tidak mengerti, kenapa begitu sulit bekerja sama dengan beberapa kelompok di Nusa Tenggara Barat. Sadikin bilang tulisan World Bank di halaman terakhir dokumen menjadi penyebab. World Bank itu agen neoliberalisme. Ah, apa pula itu?

Neoliberalisme, kapitalis, sosialis, borjuis, aktivis, kelas menengah.

14 Desember 2006. Sebuah telepon membuat aku keluar dari ruangan perayaan Natal. “DISKUSI FILSAFAT SOSIAL DAN EKONOMI POLITIK, Gerakan Marxist Internasional Kontemporer, Perkembangan dan Masa Depan Gerakan Marxist di Dunia, dan Sekilas Tantang Organisasi dan Gerakan Buruh di Kanada” dibubarkan oleh sekelompok orang yang menamakan diri Permak, hanya sekitar 10 menit setelah diskusi dimulai.

Aku tidak terlalu kaget, dan tidak panik, tetapi jelas bukan karena berharap itu terjadi, tetapi karena berbagai panggilan yang muncul di hari-hari menjelang tanggal tersebut.

Empat hari sebelum diskusi. Bilven dan Sadikin ditelepon oleh pihak Intel Kapolwiltabes Bandung. Mereka ditanya tentang diskusi yang akan diselenggarakan tanggal 14 Desember 2006. Sejak itu, berbagai telepon gelap masuk. Pertanyaan tidak jauh berbeda dengan pihak Intel Kapolwiltabes. Padahal, hari itu tanggal 10 Desember 2006 dan publikasi diskusi baru dilakukan 2 hari kemudian, tepatnya Selasa, 12 Desember.

Tiga hari sebelum diskusi. Pihak Intel Polwiltabes Bandung pada hari Senin, 11 Desember 2006 (2 orang) mendatangi Ultimus. Izin kegiatan ditanyakan. Panitia segera memasukan surat pemberitahuan. Dialamatkan kepada Kapolwiltabes Bandung. Ini, bentuk antisipasi.

Dua hari sebelum diskusi. Tamu yang sama. Intel Polwiltabes Bandung. Kunjungan ke tempat yang sama. Toko Buku Ultimus yang terletak di Jl. Lengkong No. 127 Bandung. Kali ini, urusannya berbeda. Kali ini, mereka mengaku dari bagian “Urusan Imigrasi”. Status Marhaen Supratman, pembicara di diskusi tersebut dipertanyakan. Hari itu juga, Ultimus kedatangan banyak tamu. Berbeda dari tamu biasa. Orang-orang bertubuh tegap, separuh baya. Kedatangan mereka mencari buku-buku kiri.

Satu hari menjelang diskusi. Intel Polwiltabes Bandung tidak bosen menyambangi Ultimus. Bukan pertanyaan tetapi permintaan. Sadikin, ketua panitia diminta menemui Waka Intel Polwiltabes Bandung. Ditunggu pagi itu. Pukul 10.00 WIB. Tujuan permintaan untuk memperoleh informasi terkait dengan diskusi tanggal 14 Desembre 2006. Tanpa surat resmi, permintaan tersebut tidak dikabulkan.

Perayaan Natal di Sabuga malam itu jelas tidak bisa aku nikmati, karena harus bolak balik keluar ruangan dengan charger ditangan untuk terus menerus menelepon atau ditelepon. Sadikin dan Marhaen sudah ditangkap, diborgol oleh ormas tertentu dan dibawa ke polwiltabes. Suasana kacau. Lebih malam, lebih banyak lagi orang yang diketahui juga ditangkap.

Diskusi baru saja berlangsung 10 menit. Masih ada banyak orang yang dalam perjalanan ke Ultimus untuk ikut acara tersebut. Mereka hanya menemukan police-line di lokasi kejadian. Beberapa orang malah sudah memperoleh informasi tentang pembubaran tersebut dan mengurungkan niat datang ke Ultimus.

Mengapa ke-11 orang tersebut ditangkap. Polisi mengatakan:
  • Kegiatan tersebut tidak ada ijin
  • NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia
  • Keamanan. Dan untuk alasan keamanan, pihak kepolisian berhak melakukan apapun. Dan bahwa kegiatan ini merupakan tindakan preventif yang sudah dikoordinasikan
  • Karena ada sekelompok orang yang tidak menyukai kegiatan tersebut
Kiri. Sebuah kata yang begitu dahsyat. Lebih dahsyat dari sebuah bom yang dirakit khusus dengan perencanaan matang. Cukup sebuah kata, komunisme, dan semua orang akan ketakutan. Jangankan kata komunis, segala sesuatu yang berbau Marx, sosialis, dan apapun yang bersifat kiri menjadi sesuatu yang menakutkan.

Sebuah ajaran telah begitu kuat melekat, untuk menjadi takut karena sebuah kata tersebut. Tanpa harus mengetahui lebih lanjut tentang itu semua, kita diajar untuk takut. Tidak usah banyak tanya, jauhilah segala sesuatu yang bersifat kiri.

Banyak hal bisa membuat kita masuk penjara. Melanggar lampu lalu lintas (walaupun ada 1001 cara lain untuk memastikan penjara adalah sesuatu yang sangat jauh ketika itu terjadi), mencuri barang milik orang lain (walaupun juga ada 1001 cara untuk memastikan hal itu tidak diketahui, atau hal itu adalah sah), bahkan membunuh orang. Hanya saja, tahukah kamu, bahwa belajar bisa membuat seseorang masuk ke penjara.

Kiri, sebuah ungkapan yang hanya bisa diterima dengan tenang dan diucapkan dengan bebas, ketika kamu mengucapkannya kepada supir angkot, memintanya untuk menepi dan menurunkanmu.

Sore itu, aku bertemu Sadikin dan Bilven. Kami berbicara di sebuah toko lama di bilangan Braga. Berteman kopi Aroma, kopi favorit kami. Bilven, bukan saja identik dengan Ultimus tetapi juga dengan kopi.

Perkenalan kami terjadi di pertengahan 2004. Aku sebagai pengunjung Ultimus. Bilven selalu ada di belakang kasir. Menjawab pertanyaan. Meladeni permintaan. Bilven adalah orang yang aku hubungi ketika aku memerlukan buku. Lewat sms, aku bertanya. Tidak lebih. Sampai pertengahan tahun 2006, itulah model pertemananku dengannya. Membaca Bumi Manusia, Komunitas Imajiner, Revolusi Rakyat dan Madilog di akhir tahun 2000. Buku yang tidak ada hubungan dengan kuliah Bilven di jurusan teknik. Bilven bilang, ”aku merasa otak ktia dipaksa jadi mesin/robot, lupa kalo itu manusia.” Tidak banyak bicara, murah senyum. Batak satu ini halus tutur katanya. Mudah terlupakan karena postur tubuhnya. Barangkali, itu yang membuat ia lolos malam itu.

Pam, aku kenal di sebuah toko buku di bilangan Dago. Tatonya banyak. “Dia suka bikin tato,” kata Sadikin. Tapi, sudah lama tidak praktik. Karena itu, ia menolak membuat tato untukku. Ia menyarankan orang lain untuk melakukannya. Satu dua kali, aku melihatnya di bioskop. Tinggi besar, membuat ia mudah dikenali. Tidak heran, kalau malam itu, dia juga mudah dikenali polisi.

Marhaen Supratman. Masih sangat muda. Jauh lebih muda dari yang aku bayangkan. Siang itu, beberapa jam sebelum diskusi, aku diperkenalkan. Mahasiswa, ciri yang begitu melekat di sekujur tubuhnya. Ia berdiskusi dengan Sadikin. Keduanya juga untuk pertama kali baru bertemu. Kedai kopi langganan kami menjadi pilihan. The Iron Heel karangan Jack London menjadi salah satu yang paling berpengaruh selain My Life oleh Leon Trotsky. The Iron Heel, sebuah novel fiksi ditulis tahun 1907. Bercerita tentang gerakan revolusi di Amerika dan kebangkitan fasisme akibat kegagalan revolusi. Menurut Marhaen, itu sebuah fiksi bagus. Peran utama fiksi banyak berdebat mengenai sosialisme dan marxisme dalam bahasa yang mudah dimengerti.

Sadikin, peneliti Akatiga. Sepak terjangnya di Rumah Kiri membuat lembaga tempat ia bekerja ketar ketir. Anak tunggal dari seorang bapak yang memutuskan mengambil pensiun dini dari Pindad dan ibu seorang guru SD. Sadikin lama bergelut di divisi agraria. Tahun lalu, ia memutuskan untuk bekerja sebagai bagian dari informasi, publikasi dan dokumentasi di Akatiga, melepas status peneliti. Ia, berusia paling tua dari 3 orang lainnya. Kelahiran taun 1970. Justru melihat marxis lewat Balada Si Roy. Fiksi yang dibuat Gola Gong. Si Roy selalu bercerita tentang orang miskin, ketimpangan, pelacur dan pengalaman hidup sehari-hari. Menurut Sadikin, ”Marxisme itu makanya lebih ditempatkan sebagai alat analisis, bukan tuhan yang disembah.”

Setelah 14 Desember, banyak hal berubah. Bagi seorang Bilven, Pam, Marhaen dan Sadikin. Tapi tidak mengubah pendirian mereka untuk tetap berdiri di sayap kiri.
----Sabtu, 07 Juli 2007 13:21 Mellyana Frederika - www.mediabersama.com-----

0 komentar:

 
Template by : Boedy Template | copyright@2011 | Design by : Boedy Acoy