Jumat, 01 Februari 2008

Lelaki yang pergi melaut

Lelaki itu berusia akhir enam puluhan. Masa kanakku banyak kuhabiskan bersamanya. Di masa mudanya ia mengisi waktu luangnya dengan melaut, dan menghabiskan masa kerjanya sebagai pegawai pos daerah. Kulitnya gelap dan pekat karena seringnya menghabiskan waktu di laut atau jika berkerja sebagai pegawai pos, ia kerap mengayuh sepeda kumbangnya di tengah terik mentari sekalipun demi untuk mengirimkan berbagai paket dan surat kepada warga setempat. Konon, dari tutur nenekku, lelaki itu adalah seorang Betawi yang kemudian mengembara ke pulau kecil di bagian selatan Sumatera. Di masa kecilnya, ia dibesarkan oleh Resident keturunan Belanda yang kemudian meninggal karena jatuh sakit. Sejak itu ia mengembara dan hidup sebatang kara di pulau kecil tempat dimana aku dilahirkan, juga dibesarkan. Ia belajar melempar jaring ikan dan melaut dari orang-orang Bugis di perkampungan Bugis tak jauh dari tempat tinggalnya. Bila ia menatap, matanya setajam elang memata-matai mangsa. Bila ia berbicara, suaranya terdengar seperti gelegar petir seperti hendak menghujam indra siapa saja. Tetapi garis wajahnya menyiratkan kelembutan dan kesantunan, juga kesetiaan. Tubuhnya kurus tapi berotot dan berlengan kokoh. Sekokoh tangan tiga raksasa, demikian aku membayangkannya dimasa kanakku.


Kenanganku bersamanya yang paling kuingat adalah ia kerap membawaku ke pasar tradisional dengan bersepeda. Ia membelikanku mainan baling-baling kayu yang di sisinya terdapat figur seorang laki-laki yang mengayuh sepeda. Bila baling-baling itu berputar maka figur laki-laki itu semakin cepat mengayuh sepedanya. Di mata kanakku, senang sekali rasanya melihat mainan itu. Suaranya pun menderu-deru seperti suara angin yang berputar-putar hendak menarik benang layang-layang. Dengan galah sepanjang lima meter, Ia menancapkan baling-baling kayu itu di belakang rumahnya dan membiarkan hilir angin menerpa mainan baling-baling itu yang membuat putaran dengan kecepatan tertentu. Kami berdua menatap baling-baling itu hingga senja larut dan aku tertidur di atas pangkuannya. Ada perasaan damai saat malam hari mencium aroma rokok kretek yang dihisapnya melalui pipa yang terbuat dari tanduk kerbau. Perasaan ini terus kubawa hingga aku dewasa bila mencium aroma rokok kretek yang khas.


Pada suatu senja di musim panas awal tahun delapan puluhan. Suara-suara derap sepatu lars memasuki pelataran rumahnya. Langkah-langkah tegap berseragam militer merengkuh lengannya dengan paksa saat ia hendak meraih sepedanya hendak pergi melaut. Ia diseret dalam ketidaktahuan dan kebimbangan ke dalam truk diikuti oleh lengan-lengan kokoh berseragam militer itu. Mata-mata penduduk kampung menjadikannya tontotan seperti hiburan yang menggembirakan yang juga diikuti oleh bisik-bisik jalang yang meludahnya dengan sebutan komunis haram jadah. Sejak saat itu ia tak pernah kembali. Seolah kepergiannya adalah sebuah ketiadaan yang hendak dilupakan oleh masa dan massa. Senja itu adalah terakhir kalinya aku menatap baling-baling kayu yang dibelinya di pasar tradisional, mengingat sosoknya kembali, membawanya ke dalam bilik kenangan hingga aku dewasa. Lelaki itu adalah kakekku.

(D. Jayadikarta ; rumahkiri.net)

0 komentar:

 
Template by : Boedy Template | copyright@2011 | Design by : Boedy Acoy