Rabu, 27 Februari 2008

Suharto dan Pulau Buru

Saat mendengar kabar mangkatnya almarhum Pak Harto lewat RRI saat itu, naluri historisku langsung menyangkutpautkannya dengan bahan bacaan pada saat itu. Aku tidak terlalu bersimpati. Maklumlah saat itu, ketika aku menyetel frekuensi RRI di radio yang kugantung di dinding kamarku sekedar mencari-cari lintasan warta radio, kebetulan baru saja lewat dua jam dari hembusan nafas mantan Jenderal Besar Penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu, saat itu aku sedang serius dalam melafal bait-bait buku karangan pak Hersri Setiawan. Apa lagi kalau bukan Memoar Pulau Buru. Buku yang berisi catatan-catatan pengalaman Pak Hersri semasa menjadi tahanan politik (tapol) Pemerintahan Jenderal Besar soeharto dengan ideologi Pancasila itu. Pak Hersri ditahan sebagai tapol eks G30S/PKI 1965 dan dipenjarakan di RTC (Rumah Tahanan Civil) Salemba dan RTC Tangerang sebelum diperbudakkan di Pulau Buru, sebuah pulau yang kini telah bernama Kabupaten Buru di Provinsi Maluku. Kembali ke Pak Harto. Sore itu komat-kamit reporter RRI mengerubingi gendang telingaku dengan berderet prestasi sang almarhum, terus dan seperti tanpa diimbangi dengan jejak prestasi buruknya. Saat kepalaku masih segar dalam petualangan berempati atas nasib ribuan tapol yang digerayangi tanpa ampun seluruh hak kemanusiaannya, saat itu aku diajak berempati terhadap sang jenderal.

Selama masa kediktatoran militeristik kapitalistik pasca kepemimpinan NASAKOM-nya Bung Karno, Indonesia jatuh ditalang limbah kemelaratan, tangis kepiluan dan sayatan sadis pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atas rakyat-rakyat penghuni gugusan pulau berkekayaan melimpah ruah. 32 tahun selama menjabat, kebijakan sang raja jawa ini sangat bertentangan dengan asas hukum tertinggi negara, UUD 1945, khususnya distribusi kesejahteraan sosial dan aspek keadilan sosial (pasal 33 UUD 1945). Kekayaan bangsa dilego pengelolaannya kepada pihak asing. Puluhan perusahan multinasional eksprorasi dan eksploitasi minyak dan gas alam dan mineral berharga lainnya, seperti Shell, Exxon Mobile, Freeport, British Petroleum, Newmont dan lain-lain diberi kemudahan mengeruk lahan ekonomis milik hajat hidup bangsa. Tercatat lebih dari 90% kepemilikan saham atas nama Freeport untuk penambangan mineral berharga di Papua barat. Sementara pemerintah kita hanya berhak atas setoran royalti yang sangat sedikit serta dari hasil investasi saham yang hanya sekitar 9% itu. Terlampau kecil untuk ukuran lahan eksplorasi tambang sekaya Papua. Ini tidak adil dan betul-betul membuktikan ciutnya nyali pemerintah kita, terutama bapak pembangunan itu di hadapan Amerika Serikat sebagai negara tempat bigboss Freeport bersarang di New Orleans. Gila. Kegilaan ini ditambah lagi dengan pengecutnya pemerintahan SBY-JK yang memberikan (gratis) eksplorasi ladang gas alam di blok Natuna kepada Exxon Mobile, dimana pada Desember 2006, ketika George Bush(hett) mau berkunjung ke istana Bogor, sehari sebelum itu SBY sebagai 'anak manis' terbang tergopoh-gopoh ke Natuna untuk mempertegas kontrak gratis pengelolaan blok kekayaan pasal 33 UUD 1945 kepada pihak Exxon Mobile. Alhasil, posisi saham pemerintah di sana hanya nol persen, artinya 100% hasil eksplorasi gas alam yang melimpah itu seluruhnya terhisap percuma bagi kaum TNCs kapitalis asing Amerika Serikat, sedangkan bangsa ini hanya kebagian limbah saja. Sekali lagi, GILA...!!! Ini belum terhitung kebobrokan pemerintah saat Exxon Mobile mengeliminir posisi Pertamina dalam mengeksplorasi ladang minyak di blok Cepu, dekat Blora (Jawa Tengah) dan Bojonegoro (Jawa Timur). Dengan dalih inefisiensi manajemen internal, Pertamina tidak diperbolehkan mengebor minyak, namun Exxon Mobil-lah yang harus diistimewakan. Akhirnya konspirasi minyak ini ujung-ujungnya adalah privatisasi, liberalisasi menuju agenda globalisasi neoliberal menjiplak anjing-anjing WTO, IMF, World Bank dan USA dan kawan-kawannya. Negeri ini telah digadaikan oleh pemimpin-pemimpinnya yang ternyata mereka adalah komprador modal alias cecunguk Amerika Serikat. Pecundang dan pengecut sekalian. Melawan Amerika Serikat saja takut. Ketakutan pemerintahan SBY-JK terhadap penguasa negeri Paman Sam itu terlihat saat George Bush(het) mampir sebentar di Bogor. Betapa sibuknya pemerintah sampai menyiapkan hellipad dan pembenahan istana yang biayanya miliaran rupiah. Tak pernah dalam sejarah kepemimpinan bangsa ini yang bermental budak seperti kali ini. Sangat memalukan. Kita sebagai kaum muda harus marah, oleh karena presiden adalah jabatan simbolik politis dari nation kita. Perilakunya adalah representasi kita semua. Sikap blo'onnya akan memalukan kita semua. Harga diri bangsa kita tercederai di tangan seorang presiden yang bermental cecunguk. Cecunguk itu istilah para tapol Buru di tahun 70-an bagi mereka yang suka menjilat penguasa.

Kemelaratan secara meluas di negeri ini haruslah dipungkasi sesegera oleh putra bangsa sendiri dengan jalan mengambil kembali (nasionalisasi) hak milik, hak kelola dan hak distribusi profit atas seluruh industri mineral (minyak, gas alam, tembaga, nikel dll), kehutanan dan indutri eksplorasi sumberdaya alam lainnya yang tersebar 'liar' di negeri ini, dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah harus bercermin kepada Evo Morales yang ketika terpilih menjadi presiden Bolivia pada 2006 lalu, kurang dari sembilan bulan telah terjadi perubahan-perubahan cukup besar yang signifikan bagi transformasi kesejahteraan yang timpang dalam waktu lama serta distribusi keadilan bagi rakyat Bolivia yang mayoritas suku asli Indian. Selang beberapa pekan setelah Morales dilantik, presiden yang semasa mudanya sampai detik-detik mau dilantik itu adalah seorang aktivis sosial pembela hak-hak petani koka yang menjadi tanaman tradisional sejak dahulu nenek moyang bangsa Indian, jauh sebelum kedatangan kolonialis Spanyol pada abd ke-16, seluruh industri tambang yang mengeklsplorasi mineral-mineral berharga di negeri yang masuk kategori termiskin di Amerika Latin itu langsung dinasionalisasikan dengan tegas dan memberikan ancaman pengusiran kepada kapitalis-kapitalis asing itu apabila menolak. Sukses Morales mengambil alih industri tambang milik Bolivia itu dan ditambah dengan kebijakan-kebijakan populis lainnya seperti alokasi setengah gaji presiden untuk sektor pendidikan dan kesehatan yang diikuti oleh para menteri kabinet dan anggota parlemen serta Land Reform, membawa Bolivia ke tampuk perbaikan nasib rakyat. Morales tidak sekedar berretorika. Dia berpihak langsung kepada rakyatnya yang telah lama dirundung penghisapan perusahan-perusahan transnasional dan akumulasi lahan pertanian di tangan beberapa elite penguasa dan kelas kapitalis. Moralis tak tanggung-tanggung menantang Amerika Serikat dengan penguatan politik berintegrasi memperkuat blok perlawanan bersama beberapa negara sosialis di Amerika Latin. Sikap Morales ini sangat terbalik dengan presiden kita yang masih saja takut kepada Amerika Serikat padahal seorang jenderal tentara. Parlemen Bolivia 180 derajat di atas parlemen kita yang beberapa waktu lalu meminta kenaikan tunjangan kinerja Rp. 10 juta di saat harga BBM melambung tinggi di tahun 2005.

Kembali ke pak Harto dan Pulau Buru. Oleh karena prioritas kestabilan politik dan keamanan, maka seperti diulas oleh DR. Asvi Marwan Adam bahwa tapol yang mendapat giliran Pulau Buru adalah tapol tipe B, dimana tipe ini dibelenggu tanpa pengadilan, karena asumsi penguasa ORBA yang ketika itu kendali urusan proyek Pancasilaisasi pulau Buru diserahkan atas kendali Jaksa Agung saat itu, tapol-tapol tipe B adalah mereka yang bukan gembong utama dan pokoknya yang terindikasi Gestapu, Gestok atau PKI. Mereka tidak diadili, namun akan direhabilitasi menjadi insan-insan Pancasilais. Pulau Buru tempatnya. Tapol tipe A dihukum mati, seperti DN. Aidit, Njoto dan lain-lain. Dengan mem-Burukan ribuan tapol 'merah', potensi instabilitas dalam negeri dapat dikikis, prasyarat masuknya investasi asing untuk proyek besar pembangunanisasi dan jawanisasi ala burung garuda. Era 1970-an adalah etape penancapan pondasi pembangunan dengan agenda periodik REPELITA yang diusung di bawah platform trilogi pembangunan. Kebijakan pembangunan ala Soeharto membuka keran investasi asing besar-besaran dengan mengintegrasikan dengan desain paradigma modal. Akhirnya selama Repelita itu banyak dana dikucurkan sebagai bantuan pembangunan yang kemudian hanya menjadi objek korupsi penguasa, keluarga, kroni, konco dan coro-cecunguk ORBA. Trickle Down Effect sebagai strategi pembangunan ternyata gagal memulihkan kemsikinan jutaan rakya. Lebih banyak dari kebijakan pemerintah adalah mengikuti logika pasar bebas dengan salah satunya meratifikasi konsensus Washington pada 1980 tentang liberalisasi keuangan, perdagangan, deregulasi perdagangan dan impor dan lain-lain. Ada segelintir elite di negeri ini yang kekayaannya menggunung, sementara jutaan rakyat tertindih beban kemiskinan. Banyak problem menimpa rakyat, mulai dari kemiskinan, pengangguran, sekolah mahal, biaya berobat mahal, harga BBM mahal, kegagalan panen, efek negatif pupuk, insektisida dan herbisida sintesisi, degradasi ekologis akibat efek global warming , illegal logging, kekeringan, banjir, busung lapar, keracunan limbah pabrik, tergusur akibat pembangunan mall, properti kaum pemodal dan berjuta masalah lainnya. Ini semua adalah tetesan emisi kebijakan jahiliyah dari pemerintah negeri ini yang tidak memihak kepada rakyatnya. Kembali lagi ke Pulau Buru. Ribuan tapol dikangkangi dimensi kemanusiaannya pada dekade 1970-an. Mereka diposisikan bukan sebagai manusia, namun sebagai masing-masing nomor kode yang tercetak di baju dan celana. Waktu berlalu sambil bersaksi atas tontonan perbudakan yang menyata. Akhirnya atas desakan internasional (menurut Asvi M) dan pergeseran konstelasi politik nasional saat itu, tapol-tapol ini dipulaujawakan pada penghujung 1970-an namun dengan luka yang teramat dalam. Mereka masih mendapat stigma eks-PKI. KTP mereka ada kode ET (eks tapol). Haru biru dan sadisme tak terperi yang dialami ribuan tapol rakyat Indonesia yang sempat dulu berafiliasi kepada salah satu partai politik yang sah, PKI, kini berlalu menyisakan kisah duka yang sungguh ironi dengan visi kemanusiaan pembukaan UUD 1945. Ratusan tapol telah tekubur di pulau itu sebagai korban penganiayaan dan pembunuhan yang direstui penguasa. Pada akhirnya jualah sejarah akan selalu menyulam kanvasnya dengan darah para martir dan syuhada. Hormatku buat segenap kerabat tapol yang berduka di tepian sejarah.

# posted by Rus'an Latuconsina

0 komentar:

 
Template by : Boedy Template | copyright@2011 | Design by : Boedy Acoy