Jumat, 01 Februari 2008

Orang-orang Asing

Mbah Simar menunduk, tangannya dingin, diletakkan begitu saja dipundakku, menunggu apa yang akan dikatakan oleh Romo. Hening. Tangan Romo mengelus kepalaku, lalu menatap Mbah Simar. “Pergilah, jaga dia baik-baik. Kelak kita akan berkumpul lagi.”

Aku tak ingin berkata-kata, sekalipun aku tahu, ini adalah sebuah perpisahan dengan orang yang begitu kucintai. Mungkin tak akan pernah ada pertemuan lagi. Tapi, biarlah wajah sepi ini yang selalu tersimpan di hati Romo. Biar bulir air mata yang belah kering wajahku bercerita tentang segala cinta di kedalaman jiwaku, tentang kenangan bocah yang utuh mencintai Romonya sebagai ayah juga ibunya sekaligus.

Hari ini, hari ketika kutemui Romo di penjara, adalah hari terakhir aku di tanah tercinta, tanah yang menyimpan segala kisah dan perjuangan; hari setelah beberapa waktu lalu kami menerima uang penggantian tanah ’sepantasnya’ untuk bekal hidup di tanah yang tak kami tahu sama sekali. Hari setelah beberapa waktu lalu kami meminta doa dan maaf kepada saudara-saudara Romo yang sangat mendukung kepergian kami, dan sempat menanyakan adakah kelebihan uang penggantian tanah. Juga hari ketika kami bercucur airmata, tanpa diperkenankan menoleh kepada sesuatu yang pernah kami miliki. Hari yang menjadikan kami sebagai orang-orang asing dimanapun kami berada.

Sesungguhnya, kami ingin meminta bantuan pada saudara-saudara Romo agar dicarikan tanah dekat-dekat mereka, agar tak usah ikut transmigrasi. Tapi, alih-alih mendapat bantuan, malah mendapat sumpah serapah, karena dianggap warga negara yang tak tahu diuntung. Masih kata mereka, di luar Jawa, kami akan mendapat tanah yang luas, akan lebih sejahtera. Ya, mereka semua pegawai negeri, pendukung mati-matian program pemerintah.

* * *

Pilihan Romo untuk berkesenian secara total dan berbagi kepada orang-orang yang tak ‘berkelas’ adalah awal dari kecaman keluarga besar Romo yang berstatus ningrat. Saudara-saudara Romo berusaha menutup semua akses Romo dari apapun milik keluarga. Eyang, yang aku tahu, masih sedikit menyisakan kasihnya. Tanah dan rumah yang kami tempati diperkenankan menjadi milik kami. Itu saja, tak ada yang lain.

Dalam situasi seperti apapun Romo sangat tenang, bahkan saat-saat mengenang sebuah luka. Sekali-sekali, demi mengajariku tentang cinta dan kasih, Romo menceritakan begitu menderitanya Ibu ketika melahirkanku.

“Sebelum meninggal, Ibumu menggodaku, kalau aku tak belajar mengatur emosiku, ibumu mengancam mau jadi hantu”, Romo tersenyum kecil. Ya, tapi disudut matanya menggenang air mata yang siap tertumpah.

Mbah simar dan istrinya. Aku memanggilnya simbok. Dia yang mengasuhku dan mengurusi kebutuhan keseharian kami. Padepokan seni milik Romo cukup banyak anggotanya. Ada buruh, petani, pengangguran, siapapun, asalkan berniat untuk belajar kesenian bersama. Romo mengajari banyak tarian, tembang-tembang Jawa, juga bermain ketoprak.

Sepertinya semua sudah mafhum dengan sikulus kehidupan kesenian tradisional. Jika beruntung akan mengalami keemasan, meski hany sebentar saja. Sebagai tanda bahwa Tuhan menghargai usaha-usaha kaum tertindas. Setelah itu perlahan tapi pasti menuju kebangkrutan. Dan yang dapat bertahan hidup hanyalah kesenian-kesenian yang berorientasi jiwa, bukan profit. Perhitungan pahala, bukan uang. Dengan berkesenian, bukan harapan untuk kenyang, tapi ketenangan jiwa dan bertambahnya iman. Romo mencoba menanamkan hal itu. Tapi malang, stigma sebagai penyebar aliran sesat yang ia dapatkan. Lalu bisa apa aku, bocah ingusan ini.

* * *

Berada di mana dan apa nama sebuah tempat, menjadi tak penting bagi kami, sebab kami adalah orang-orang asing dimanapun kami berada. Hanya beberapa yang kuingat dari salah seorang pengawal rombongan kami. Mereka berbadan tegap, kekar dan berseragam. “Kalian tak usah khawatir, ini tempat aman. Belum ada yang memiliki”.

Ritus yang kemudian mengisi hari-hari kami adalah membaca dan mempelajari tanda-tanda kehidupan. Memohon pada penguasa jagad raya agar diberikan perlindungan. Mengubur kisah-kisah lalu yang bahkan menoleh padanya saja terlarang bagi kami. Melakukan yang bisa menumbuhkan cinta dan memulai kisah yang semoga tak membuat kami menjadi orang-orang asing. Dan aku adalah satu dari sekian yang ingin mempunyai kisah baru, meski sama sekali tak akan melupakan kisah lama, kisah yang menyimpan tokoh berarti dalam kehidupanku, yang tak henti-hentinya mengajariku bagaimana semestinya hidup, bagaimana semestinya tak menyalahkan situasi, bagaimana mencintai keindahan. Ya, keindahan.

Aku pengagum keindahan. Aku gila padanya. Hanya itu. Semoga saja bisa menghiburku di tanah yang menjadikanku sebagai orang asing. Bersama Romo, dulu, aku mencintai keindahan. Romo, terimakasih. Dirimu adalah keindahan yang selalu kusimpan di ruang-ruang jiwaku.

Air, tanah, langit, bagian-bagiannya selalu kukagumi. Aku selalu mencarinya, mengejarnya. Air, pertemuannya antara tawar dan asin adalah tempat yang banyak menyita waktuku.

Bulan yang begitu kasmaran dengan matahari. tergesa muncul ketika senja belum utuh. Sedang matahari terus menggodanya dengan kemerahannya yang tak menyilaukan.

Ya, jelang malam yang selalu kuingat. Dari jauh, tanah yang menghijau dengan sesuatu yang tumbuh diatasnya adalah kedirian yang bukan main-main. Sebab hujan seperti apapun tak menggetarkannya. Erat sekali akar-akar tadi berpelukan dengan tanah, yang tak akan habis kekuatannya, kecuali jika salah satu mati. Aku mengejar keindahan dan tak akan pernah berhenti.

Aku membaui, menyentuh dan merasa setiap jengkal kehidupan baru pada pagi, sore dan malamnya. Sepotong luka, sepotong nyeri dan remah-remah darah menjadi elegi yang kian lama menggetarkan jiwa; menjadi sepasang mata yang kian tajam menusuk-nusuk kebisuanku. Sepasang mata dari sosok bercahaya sesekali berkelebat dari celah dedaunan, yang dari waktu ke waktu memendam kebencian, amarah tiada tara.

Romo, siapa sesungguhnya dia? Kenapa dia selalu mengada dalam keberadaanku? Bagaimana aku bisa berbicara dengan sosok bermata tajam itu? Samakah dia seperti kami, orang-orang asing di belantara Sumatera ini?

Tak usah gusar,nak, hati nurani tak pernah berdusta. Diam bukan berarti tak bicara, untuk didengar tak harus berteriak. Ceritakan apa yang ingin kau ceritakan pada pemilik mata itu. Kejujuran dan keikhlasanmu, semoga menjadi mata air yang meredam api membara di hatinya.

Terimakasih, Romo, aku akan mencobanya. Aku memejamkan mata, manunggal pada keheningan jagad raya:

Saat ini, dan sejak kami terusir dari tanah milik kami.

Kami hanyalah orang-orang asing yang mengubur masa lalu dan begitu berhati-hati dengan masa yang akan datang. Kami sangat takut menyakiti, sebab begitu paham rasa sakit. Katakanlah, bahwa kau bukan bagian yang menakutkan, yang tak sengaja tersakiti oleh kami.

* * *

Sungguh, setiap kali kupaksakan rasa dendam yang berdentam-dentam di sepasang mataku untuk kalian selalu tak bertahan lama. Aku rasakan hawa lain yang membuat aku tak tahan, sehingga aku berlalu sambil terkikis sedikit demi sedikit kebencian itu. Aku berhemat, ini adalah alamat bahwa kalian bukan orang-orang yang membumihanguskan tanah dan orang-orang tercintaku. Bibit kebencian yang mereka semai di antara kita bukan apa-apa bagi nurani yang tak pernah berdusta. Merekalah orang-orang asing yang tersesat, bukan kita.

***

Purwokerto, September 2005

Bagimu sepasang mata di belantara Sumatera
Imam Antasalam
gerak kakiku darat
air darahku hangat
bisik udara dingin
tubuh terangkat segalanya berat
Romo, terimakasih. Dirimu adalah keindahan yang selalu kusimpan di ruang-ruang jiwaku

0 komentar:

 
Template by : Boedy Template | copyright@2011 | Design by : Boedy Acoy